Jurnalisme warga
Pugar Makam Sultan Aceh,Terima Kasih Pak Anies
Di mana pada masa Portugis menguasai Sunda Kelapa pada tahun 1527 adalah sosok seorang ulama dan bangsawan

OLEH TUANKU WARUL WALIDDIN, Cicit Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah, melaporkan dari Jakarta
HUBUNGAN Aceh dan Jakarta yang tertambat begitu erat dan penuh emosional telah terjadi sejak ratusan tahun silam.
Di mana pada masa Portugis menguasai Sunda Kelapa pada tahun 1527 adalah sosok seorang ulama dan bangsawan yang merupakan putra Aceh, tepatnya dari wilayah Samudera Pasai, Aceh Utara
Bernama Fatahillah mampu menaklukkan wilayah Sunda Kelapa dan mengubah namanya menjadi Kota Kemenangan atau “Fathan Mubina” yang kemudian dalam bahasa Sanskerta dikenal dengan sebutan Jayakarta yang hari ini kita sebut Jakarta dengan ikon Museum Fatahillahnya.
Dari aksi heroik seorang Fatahillah yang gagah perkasa tersebut disandanglah beliau dengan sebutan Bapak Pendiri Kota Jakarta yang mana 22 Juni diyakini dan selalu diperingati sebagai hari ulang tahun Kota Jakarta.
Tanggal tersebut merujuk pada hari ketika pasukan gabungan Demak-Cirebon yang dipimpin oleh Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, 22 Juni 1527, lebih kurang 494 tahun lalu.
Sejak saat itu, nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta. Dalam hal lain di masa Sultan Alaiddin Mansyursyah memimpin Kerajaan Aceh sejak tahun 1857 hingga 1870, beliau selalu berupaya dan bercita-cita ingin mengusir pendudukan Belanda di Batavia.
Ini dibuktikan dengan ditemukannya surat permohonan bantuan kapal perang kepada Sultan Abdul Majid Khan Sultan Turki di Istanbul bertarikh 1265 Hijriah atau sekitar 1849 Masehi saat itu agar mengirim bantuan bala tentara dan kapal perang agar dapat merebut Batavia (kini Jakarta) dari cengkeraman Belanda.
Namun, cita-cita tersebut gagal terwujud akibat kondisi politik di Turki saat itu yang sedang kacau dengan banyaknya pemberontakan di kawasan Turki yang dimotori kaum salibis (crueseder) dengan memecah belah kawasan Islam di bawah Kekhalifahan Turki Usmani.
Sehingga, kekhalifahan tersebut menjadi hancur berkeping-keping yang juga berdampak bagi Kesultanan Aceh Darussalam dan kesultanan Islam lainnya di nusantra.
Adalah momentum yang sangat bersejarah bagi generasi Aceh Darussalam, di mana seorang sultan terakhirnya, yaitu Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah (cucu dari Sultan Alaiddin Mansyursyah) yang sangat berjasa bagi lahirnya republik dengan mempertahankan keyakinan dan keteguhan hatinya
Agar tidak mau menandatangani surat penyerahan kedaulatan Kerajaan Aceh kepada Belanda meskipun telah ditawan dan diasingkan ke wilayah timur nusantara (Ambon) dan berakhir dengan mangkatnya beliau 82 tahun silam, tepatnya 9 Februari 1939 di Jakarta
Sehingga sikap beliau menjadi modal lahirnya Republik Indonesia dengan menjadi satu-satunya wilayah di nusantara yang tidak mau menyatakan diri takluk di bawah Belanda.
Dari 17 gubernur yang telah memerintah DKI Jakarta dari era pertama Gubernur Soewirjo hingga terakhir Gubernur Djarot Saiful Hidayat memimpin DKI
Tak satu pun yang tergerak untuk memperhatikan apalagi memugar makam Sultan Aceh terakhir ini.
Ada banyak tokoh Aceh di Jakarta selama masa itu yang silih berganti menjadi tokoh penting dan berpengaruh di tingkat nasional baik sekelas menteri maupun pejabat tinggi level nasional lainnya.
Namun, belum ada yant tergerak menginisiasi atau memperjuangkan untuk memugar sewajarnya makam Sultan Aceh selayaknya situs penting yang menghubungkan Aceh dan Jakarta selama ini yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Hingga kini tiba masanya di tangan Gubernur Anies Baswedan akhirnya penghormatan bagi jasa-jasa Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah Dzilullahufil’alam dapat direalisasi tanpa ada kendala yang berarti.
Sudut pandang Gubernur Anies Baswedan yang menganggap situs makam Sultan Aceh terakhir ini sebagai aset bernilai sejarah dalam wilayah hukum administrasi DKI Jakarta adalah hal yang sangat tepat
.Di mana nilai sejarah yang terukir di dalam kisah perjalanan seorang Sultan Aceh periode Terakhir masa Kesultanan Aceh
Sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat di runia pada masanya hingga berakhir di Batavia adalah menjadi catatan penting bagaimana liciknya sebuah pendudukan Kolonial Belanda yang memaksa memisahkan sultan dengan rakyatnya dan tanah leluhurnya.
Baca juga: Ziarah ke Makam Sultan Muhammad Alaidin Daud Syah, Anies Baswedan Terima Kupiah Meukeutop dan Siwah
Baca juga: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan Ziarah dan Meresmikan Pembugaran Makam Sultan Terakhir Aceh
Kisah ini juga akan dibuat dalam bentuk informasi digital yang ditempatkan di area makam, sehingga pengunjung dapat mengakses data sejarah sultan dan perjuangannya.
Aset penting ini kini menjadi milik Pemerintah DKI Jakarta. Sebagai orang Aceh, sepatutnya kita bersyukur atas apa yang telah menjadi kehendak Allah ini.
Bahwa tanah Jakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia hari ini telah ditakdirkan untuk menyatu dan memeluk harumnya jasad seorang pahlawan Aceh, yaitu Sultan Aceh yang terakhir, Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah Dzilullahufil’alam.
Baca juga: VIDEO - Gubernur DKI Jakarta Anies Pugar Makam Sultan Aceh, Telan Biaya Rp 2,1 Miliar
Baca juga: Gubernur Anies dan Ungkapan Terima Kasihnya untuk Masyarakat Aceh
Baca juga: Ini Alasan Anies Baswedan Gelontorkan Rp 2,1 Miliar untuk Pemugaran Makam Sultan Terakhir Aceh
Akhirnya, terima kasih, Pak Anies atas penghormatannya terhadap Sultan Aceh yang terakhir dengan cara memugar makamnya.