Jurnalisme warga
Maulid dan Sejuta Kisah Alumni Dayah Abu Lueng Ie
Pascagelar rapat November lalu, kini tiba momen spesial bagi alumni Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie (DULI) yang

Jamaah tampak antusias mengikuti ritual tawajuh, membaca wirid dan doa, yang dikomandoi mursyid tarekat, Abon Lueng Ie, putra Abu Lueng Ie yang juga alumnus MUDI Mesra Samalanga.
Saat tawajuh, mereka dibawa ke alam bawah sadar, mengenang kejahilan masa silam, mengingat dosa yang pernah dilakukan sejak hidup hingga detik ini.
Jamaah juga diminta merendahkan diri di hadapan Allah, menganggap diri sebagai makhluk hina yang tak patut masuk surga karena dosa menggunung, tapi menyadari tak mampu menahan azab neraka.
Hanya ampunan dan rahmat Allah yang mereka cari.
Kondisi itu, membuat jamaah berderai air mata, terkenang dosa yang akan ditimpali azab, baik di dunia, alam kubur, bahkan akhirat kelak.
Terlihat, air mata mereka tak kunjung lerai, isak tangis terdengar di balik surban yang menutup kepala, seakan ada penyesalan mendalam.
Bahkan, ada yang tak bisa menerima kesalahan dan maksiat yang mereka lalukan.
Namun, mereka sadar, waktu tak akan berulang.
Begitupun, Allah tetap sayang pada hamba-Nya, terbukti dengan terbukanya pintu tobat bagi mereka yang benar-benar menyesali dosa dan sungguh-sungguh bertobat, demi terbebas dari siksa alam kubur serta neraka.
Memang, kegiatan tawajuh dan suluk menjadi jati diri Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie.
Ketika orang menyebut Dayah Lueng Ie, maka mereka paham bahwa itu dayah suluk (tawajuh).
Dalam kurun waktu setahun, tidak kurang 60 hari dilaksanakan suluk dalam waktu terpisah.
Sepuluh hari sebelum Ramadhan, 30 hari Ramadhan, sepuluh hari jelang Iduladha, dan sepuluh hari jelang hari lahir Nabi Muhammad pada 12 Rabiul Awal.
Saya teringat pesan Abon Lueng Ie, saat membaca selawat, seperti Selawat Badar.
Jamaah diminta berdiri, alasannya, demi menghormati Rasulullah.