Internasional
Perang Drone Berkobar, AS Jatuhkan Sanksi Baru Terhadap Perusahaan China, Penyadapan Data Meluas
Perang drone atau pesawat tak berawak bersenjata canggih terus berkobar di berbagai belahan dunia. Salah satunya, perseteruan Amerika Serikat dan
SERAMBINEWS.COM, WASHINGTON - Perang drone atau pesawat tak berawak bersenjata canggih terus berkobar di berbagai belahan dunia.
Salah satunya, perseteruan Amerika Serikat dan China dalam persenjataan canggih itu.
Hal itu menunjukkan betapa seriusnya AS dalam mengurangi ketergantungannya pada teknologi China, kata Bruce Einhorn dan Todd Shields di Bloomberg.
Teknologi DJI China merupakan produsen kendaraan udara tak berawak top dunia dan mengendalikan lebih dari setengah pasar drone AS.
Tetapi Departemen Keuangan AS menambahkan DJI dan tujuh perusahaan teknologi China lainnya ke daftar hitam, seperti dilansir The Week, Minggu (26/12/2021).
Meskipun DJI perusahaan swasta, tetapi telah menjadi ancaman keamanan nasional yang jauh lebih luas.
Dimana, China mampu mendapatkan data sensitif jutaan orang Amerika Serikat.
Disebutkan, mulai dari mobil, matras yoga, hingga toilet mengirimkan data ke China.
Bruce menyatakan itu dipandang sebagai kunci mendominasi teknologi seperti Kecerdasan buatan.
Baca juga: Balas Embargo Senjata, PM Kamboja Perintahkan Untuk Hancurkan Senjata Buatan AS
Sekaligus mengeksploitasi kelemahan musuh strategis.
Tapi, katanya, itu relatif mudah untuk membuat telekomunikasi Cina menghilang dari AS, karena baru saja membuat terobosan pertamanya.
DJI adalah cerita yang berbeda.
"Lebih dari 900 badan keamanan publik AS menggunakan produknya," jelas Bruce.
Termasuk Departemen Kepolisian New York, sehingga membuat larangan komersial menjadi tidak realistis.
Tekanan untuk melepaskan diri, bagaimanapun, datang dari kedua negara, lapor Financial Times dalam sebuah editorial.
China menekan DJI untuk melakukan delisting tak lama setelah meluncurkan daftar perusahaan China terbesar sejak Alibaba pada 2014.
Sehingga, memungkinkan penguraian dari raksasa properti Evergrande, yang gagal membayar utang yang dipegang oleh investor asing.
Langkah-langkah itu tampaknya menjadi bagian dari benteng melawan kekuatan asing yang tidak dipercaya, ujar Bruce.
"Baiklah, mari kita tutup pintu kita ke Cina juga," kata Henry Olsen dalam Washington Post.
Bahkan, jika itu merugikan keuntungan perusahaan dalam jangka pendek.
Baca juga: Israel Minta Kerjasama dengan Mitra Arab, Hancurkan Dua Pangkalan Drone Iran
Perusahaan-perusahaan AS mulai menyensor sendiri apa pun yang mungkin menyinggung Partai Komunis China.
Baru-baru ini dilaporkan, Apple diam-diam menyetujui kesepakatan $ 275 miliar pada 2016 untuk membeli lebih banyak komponen buatan China.
Dengan imbalan pengurangan tekanan regulasi China.
"Itu dan ratusan keputusan perusahaan lainnya telah membantu China merancang sistem senjata lebih canggih daripada milik kita sendiri," ujar Olsen.
"Kecanduan kita pada barang-barang murah China sudah membahayakan keamanan nasional kita," tambahnya.
"China bukan pasar yang stabil untuk perusahaan AS," kata Desmond Lachlan ke The Hills.
"Tindakan keras terhadap sektor teknologi tinggi baru-baru ini oleh Presiden Xi Jinping dalam mengejar kemakmuran bersama mengancam pertumbuhan masa depan China," jelasnya.
Sementara itu, sektor properti negara sedang meledak.
"Kita harus bertanya-tanya apakah ekonomi China mungkin terbukti memiliki kaki lempung," tambahnya.
"AS masih harus takut dengan keuntungan teknologi China," kata Graham Allison dan Eric Schmidt, mantan CEO Google di Jurnal Wall Street l.
Para ahli itu mengatakan itu bisa segera menjadi pemimpin global dalam kecerdasan buatan, semikonduktor, nirkabel 5G, komputasi kuantum, bioteknologi, dan energi hijau.
Baca juga: Uni Emirat Arab Tunda Pembelian Jet Tempur Canggih dan Drone Amerika Serikat Senilai Rp 329 Triliun
Ditambahkan, AS memegang kekuasaan dalam aeronautika, kedokteran, dan nanoteknologi.
Tetapi China juga muncul sebagai pesaing serius di bidang ini.
Para pembuat undang-undang baru saja mulai menyadari kenyataan ini.(*)