Opini

Anies, Pilpres, dan Restu Aceh

Pemugaran makam Sultan Aceh terakhir, Sultan Alaidin Muhamamd Daud Syah, selesai dilakukan

Editor: bakri
For Serambinews.com
Muhammad Alkaf 

Oleh Muhammad Alkaf

Esais

Pemugaran makam Sultan Aceh terakhir, Sultan Alaidin Muhamamd Daud Syah, selesai dilakukan.

Untuk menyambut itu, dua kerabat Sultan yang paling dikenal di publik, Tuanku Muhammad dan Tuanku Warul Walidin membagikan kesannya yang mendalam.

Tuanku Muhammad, yang kini menjadi anggota legisatif Kota Banda Aceh, menulis di laman Facebooknya, bahwa “Kegiatan hari (ini) bukanlah hanya memugar makam, tapi memugar peradaban.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan berziarah ke makam Sultan terakhir Aceh, Sultan Muhammad Alaidin Daud Syah di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (13/12/2021).
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan berziarah ke makam Sultan terakhir Aceh, Sultan Muhammad Alaidin Daud Syah di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (13/12/2021). (Dok Instagram @aniesbaswedan dan Wikipedia)

” Selang beberapa hari, Warul Walidin menulis dengan lebih panjang mengenai peristiwa bersejarah di Kota Jakarta dalam rubrik Citizen Reporter di Harian Serambi Indonesia (15 Desember 2021).

Baginya, Anies melakukan apa yang tidak dilakukan oleh para pendahulunya.

Warul menulis dengan perasaan sendu, “Dari 17 Gubernur yang telah memerintah DKI Jakarta dari era pertama Gubernur Soewirjo hingga terakhir Gubernur Djarot Saiful Hidayat memimpin DKI, tak satu pun tergerak untuk memperhatikan apalagi memugar makam Sultan Aceh terakhir ini.

” Selain menulis laporan di media ini, Warul juga memasang baliho besar di tengah Kota Banda Aceh.

Pesan yang disampaikan melalui baliho itu tidak kalah kuatnya dengan tulisannya itu.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada Anies Baswedan atas apa yang telah dilakukannya, Warul menutup dengan frasa, yang menyasar kesadaran kolektif orang Aceh mengenai masa lalunya, “Semoga menjadi momentum kembalinya kejayaan Aceh.

” Apa yang kita saksikan beberapa hari belakangan ini merupakan kontestasi narasi tentang siapa yang lebih berhak atas golongan lain di Aceh.

Kontestasi ini berlangsung ketat terutama pasca MoU Helsinki di dalam medium demokrasi lokal, baik itu dalam wajah politik elektoral, agama, identitas, dan kesejarahan.

Makam Sultan Muhammad Alaidin Daud Syah di TPU Kemiri Rawamangun dalam waktu dekat akan dipugar oleh Pemprov DKI Jakarta. Para Tokoh Aceh sudah bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan
Makam Sultan Muhammad Alaidin Daud Syah di TPU Kemiri Rawamangun dalam waktu dekat akan dipugar oleh Pemprov DKI Jakarta. Para Tokoh Aceh sudah bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan (FOR SERAMBINEWS.COM)

Dalam hal tersebut pula, keluarga Sultan Aceh merupakan kelompok yang telah lama tersingkir dari kontestasi itu.

Namun, dengan memanfaatkan ruang demokrasi tersebut, kerabat Sultan mencoba menerobos ke atas dengan memanfaatkan sentimen simbolik, salah satunya melalui pembentukan organisasi yang bernama Kaum Alaidin Kesulthanan Aceh Darussalam.

Upaya ini merupakan cara dari pihak kerabat Sultan melakukan pembacaan ulang terhadap zaman yang telah berubah.

Namun, pertanyaannya yang patut diketengahkan sekarang adalah bagaimana posisi Sultan Aceh di dalam struktur budaya masyarakat Aceh itu? Apakah ingatan kolektif orang Aceh masih memberikan tempat kepada Kesultanan.

Atau, karena sejak awal Aceh mendukung gagasan mengenai Republik, memori tentang Kesultanan sudah terkubur di bawah alam berpikir demokrasi kerakyatan.

Sultan, perang, dan penyingkiran

Sebelum kedatangan Belanda, struktur sosial masyarakat aceh ditopang oleh tiga kekuatan: Sultan, Uleebalang, dan Ulama.

Struktur itu hidup rukun sampai kemudian kekuatan kolonial membongkarnya.

Sultan sebagai pihak yang paling dirugikan ketika Belanda melakukan invasi.

Belanda menghancurkan tidak hanya harta bendanya, namun juga melucuti tanpa ampun kekuasaannya yang telah berumur ratusan tahun.

Gubernur DKI Jakarta, Aneis Baswedan menerima Kupiah Meukeutop dan Siwah Meuneungi Sultan dari perwakilan keluarga Sultan setelah berziarah ke makam Sultan terakhir Aceh, Sultan Muhammad Alaidin Daud Syah di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (13/12/2021).
Gubernur DKI Jakarta, Aneis Baswedan menerima Kupiah Meukeutop dan Siwah Meuneungi Sultan dari perwakilan keluarga Sultan setelah berziarah ke makam Sultan terakhir Aceh, Sultan Muhammad Alaidin Daud Syah di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (13/12/2021). (Dok Instagram @TamanHutanDKI)

Sedangkan kaum uleebalang melakukan negoisasi dengan pihak Belanda sehingga golongan tersebut mendapatkan privilege selama masa pendudukan.

Hal ini yang memberi pengertian kepada kita mengapa uleebalang kemudian tersingkir di masa revolusi sosial, karena dianggap sebagai kaki tangan pemerintah kolonial, sekaligus naiknya golongan ulama yang sejak lama melakukan oposisi dengan Belanda.

Walaupun Sultan sudah tersingkir, wacana untuk mengembalikan posisi mereka dengan melakukan restorasi kesultan Aceh mulai dibicarakan di Aceh akhir tahun 1930-an.

Upaya itu gagal karena golongan bangsawan menolak usulan itu mengingat hal demikian akan melemahkan posisi mereka karena harus membagi kekuasaan dengan Sultan (Reid, 2012; Sjamsuddin, 1999) .

Narasi Kesultanan semakin hilang dan tak berjejak terutama ketika dentuman revolusi sosial meletus, Darul Islam bergejolak, dan Gerakan Aceh Merdeka hadir.

Ketiga peristiwa itu menjadi narasi utama dalam penulisan sejarah Aceh kontemporer.

Sultan Aceh tidak mendapatkan tempat yang signifikan, kecuali pada satu hal: bahwa Sultan melawan sampai akhir.

Tidak menyerah.

Akibat sikap kerasnya itu, dia dan keluarganya dibuang ke luar dari negerinya, sampai wafat di Jakarta.

Seperti Cut Nya’ Dhien yang menjadi milik warga Sumedang, pun begitu dengan Sultan Aceh terakhir.

Dia wafat di Jakarta di tahun 1939.

Kematiannya diberitakan di salah satu koran dengan judul yang datar saja, tanpa menimbulkan implikasi apapun setelahnya.

Tidak ada gejolak politik sama sekali.

Jarak yang membentang lama itu membuat masyarakat Aceh memilih hidup tanpa Kesultanan.

Pemberitaan dengan judul demikian sekaligus memiliki makna semiotik bahwa Sultan tidak pernah lagi ada di Aceh sebagai pemimpin.

Hal itu terlihat dengan jelas ketika ulama memberi pernyataan setia pada proklamasi yang menjadi penanda ketiadaan Sultan.

Hal ini dipertegas dengan Memorandum PUSA 1950 yang menyebutkan garis perlawanan Teungku Chi’ di Tiro sebagai keabsahan ulama sebagai pemimpin Aceh, yang Oleh Hasan Tiro, narasi itu diambilnya sebagai pernyataan kalau kepemimpinan absah Teungku Chi’ di Tiro itu sebagai argumennya untuk mendapuk diri sebagai Wali Negara dalam narasi Gerakan Aceh Merdeka (Ali et al., 2008) .

Walaupun Sultan Aceh terakhir dalam peta politik, tetapi dia ditulis sebagai orang yang tidak pernah menyerahkan tanah kelahirannya kepada Belanda–oleh satu kisah di hadapan para pembesar militer Belanda, Sultan merobek-robek surat pernyataan untuk penyerahan kedaulatan.

Sultan Aceh terakhir ditulis dengan patriotik.

Walau sejarah juga mencatat, setelah tiga tahun setelah upacara “penyerahan yang tidak dilakukannya” Sultan masih berada di Banda Aceh selama tiga tahun, sampai kemudian dia dibuang ke Ambon karena ditenggarai ikut memprovokasi pemberontakan Kutaraja 1907.

Pemberontakan itu menunjukkan Sultan menolak untuk tunduk.

Dia percaya bangsa kulit putih bisa dikalahkan sebagaimana Jepang menunjukkan hal itu dua tahun sebelum meletusnya pemberontakan.

Kini, ingatan kolektif mengenai Sultan yang tak pernah menyerah itu makna simboliknya ada di makamnya di Rawamangun yang sudah dipugar oleh Anies Baswedan, Gubernur Jakarta.

Dalam sambutan yang dapat kita baca di lini masa Facebooknya, Anies menulis,“ Di dalam makam ini bersemayam tokoh yang luar biasa.

Beliau teguh memegang prinsip.

Inilah pejuang yang membangkitkan gelombang kebangkitan.

Namanya terpatri dengan tinta emas sejarah bangsa.

Mencari restu Aceh

Dalam konteks Pilpres yang sebentar lagi tiba, Anies seperti mendapat anugerah politik karena di wilayah yang dia pimpin terbujur sosok simbol tertinggi dalam sejarah panjang Aceh.

Kemewahan tersebut yang tidak didapatkan oleh Ganjar Pranowo yang juga memainkan politik simbol kepada pahlawan Aceh lainnya Pocut Meurah Intan yang dimakamkan di Semarang.

Tentu saja, atensi yang didapat oleh Ganjar–yang dalam beberapa survei merupakan kompetitor bagi Anies untuk Pilpres mendatang–tidak sebesar yang didapati oleh Anies Baswedan.

Lalu, apa yang didapat oleh Anies dengan mensponsori pemugaran makam Sultan Aceh itu dalam agenda politiknya di kemudian hari.

Kita bisa mereka-reka bahwa ini sebagai bentuk Anies meminta restu dari Aceh, sebagaimana sukarno melakukannya tempo dulu.

Sukarno berhasil mendapatkan restu Aceh itu.

Sejarah menuliskan hal tersebut dengan detail.

Lalu, apakah Anies akan mendapatkan nasib baik yang serupa? Jawaban yang dapat kita berikan: zaman telah berubah.

Baca juga: Elektabilitas Prabowo-Ganjar Bersaing Ketat, Anies Tempel Terus

Baca juga: Pugar Makam Sultan Aceh,Terima Kasih Pak Anies

Baca juga: Gubernur Anies dan Ungkapan Terima Kasihnya untuk Masyarakat Aceh

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved