Pertanian Organik
Merajut Asa Pertanian Organik di Aceh
Permintaan sayuran organik cukup baik. Termasuk dengan peluang pasarnya yang prospektif.
Penulis: Mawaddatul Husna | Editor: Ansari Hasyim
Belum Didukung Harga Pasar
Di tengah potensi pasar yang ada, sejumlah petani tradisional di Provinsi Aceh mulai beralih ke organik, meski belum sepenuhnya meninggalkan bahan-bahan kimia. Seorang petani cabai di Gampong Lamlhom, Aceh Besar, Aslim Zahri (26), mengatakan, sejak awal 2019 ia menggunakan campuran pupuk organik dan pupuk kimia untuk lahan cabai seluas 8.000 meter.
Pupuk organik, kata Aslim, ia gunakan saat menumbuhkan benih dalam polybag hingga berusia satu bulan. Sembari menunggu benih, Aslim dan para pekerjanya membajak tanah. Tanah yang telah dibajak kemudian diberi pupuk kimia sebanyak 50 kg untuk keseluruhan tanah yang akan ditanami cabai, seperti NPK Phonska, SP 36 dan ZA. Lalu dicampur dengan kotoran sapi, sekam, dan kotoran ayam untuk tiap lobang bedengan sebanyak satu genggam tangan orang dewasa.
“Tanah didiamkan supaya masak sekitar 2 minggu lebih atau satu bulan sebelum ditanam cabai,” kata Aslim.
Aslim menjelaskan, dia belum sepenuhnya menggunakan pupuk organik karena proses penyesuaian dengan tanah membutuhkan waktu lebih lama. Selain itu, jumlah kotoran sapi dan ayam yang tersedia tidak selalu mencukupi kebutuhan seluruh lahan.
Saat ini, Aslim mengandalkan kotoran sapi dari sejumlah peternak. Ia kerap mendatangi tempat ternak di sejumlah kampung untuk mendapatkan kotoran sapi. Tapi, rata-rata mereka hanya memiliki satu atau dua ekor sapi. Kotoran yang dikumpulkan tersebut, tidak bisa memenuhi permintaan petani yang memiliki lahan luas.
Karena sulit mencari kotoran sapi dalam jumlah cukup, Aslim pun mencampurnya dengan kotoran ayam dan sekam yang lebih mudah didapat. “Kebetulan di Lhamlhom ini ada warga yang beternak ayam dalam jumlah yang besar sehingga bisa memenuhi permintaan kami,” sebut Aslim.
Sekali tanam, Aslim mengeluarkan biaya sebesar Rp 2,5 juta, mulai untuk benih, pupuk kandang dan pupuk kimia. Meski masih campuran, menurut Aslim, kualitas tanaman dan hasil panen lebih baik dibandingkan jika hanya menggunakan pupuk kimia saja. “Tanaman lebih tahan terhadap penyakit. Kondisi batang pohon sama buahnya juga bagus,” kata dia.
Sementara untuk panen harian yang diperoleh sekitar 70-80 kg cabai, dengan masa panen selang tiga hari sekali. Cabai-cabai ini dia pasok ke pasar disekitar Lhamlhom, dan Peunayong dengan harga rata-rata Rp 25.000/kg. Dengan harga hasil panen tersebut, Aslim mengatakan hanya cukup untuk modal dan upah para pekerja. “Artinya cukuplah untuk menutupi biaya produksi. Karena harga itu tergantung dari harga pasar, apabila cabai di pasarannya banyak maka harganya bisa lebih murah. Apalagi sekarang sudah banyak juga cabai lokal,” sebutnya.
Hal lainnya juga disampaikan oleh Sekretaris Kelompok Sepakat Cang Bakoeng Kuta Cot Glie, Aceh Besar, Amiruddin. “Hasil cabainya alhamdulilah bagus. Namun ruginya kita bermain di organik. Saat hasil produksi kita bawa ke Pasar Lambaro itu, sama saja hasilnya dengan yang nonorganik. Sementara modal untuk organik itu lebih besar,” katanya mengeluh.
Amiruddin mencontohkan pengalamannya. Saat tanam cabai tiba, ia merogoh biaya produksi sebesar Rp 72 juta untuk menanam di atas lahan seluas 1 ha, dengan keuntungan mencapai Rp 200 juta. Saat itu ia menggunakan 90 persen pupuk kandang, sisanya 10 persen pupuk kimia. Harga jual saat itu sekitar 2018 ke tengkulak di Pasar Lambaro sebesar Rp 20.000/kg.
“Jadi bisa dapat keuntungan sekitar Rp 200 juta. Namun dua tahun terakhir ini, harga cabai Rp 12.000/kg sehingga jangankan untuk untung, modal saja tidak cukup,” sebutnya.
Harga jual produk organik petani bisa lebih mahal, tapi kata Amiruddin, mereka harus mengantongi sertifikat organik yang diterbitkan Lembaga Sertifikasi Organik. Tapi kendalanya, biaya sertifikasi mandiri mencapai Rp 40 juta –bukan angka yang kecil bagi petani tradisional seperti dirinya.
Ia mencoba mengurus sertifikasi bersubsidi dari pemerintah. Tapi ia terbentur rumitnya persyaratan. “Akhirnya nggak selesai-selesai sertifikat organik tersebut,” katanya. Ia pun berharap pemerintah bisa menjawab berbagai kendala itu agar petani bisa sepenuhnya beralih ke pupuk organik sekaligus mendapatkan kepastian harga yang lebih baik. “Artinya harus ada sinergi apabila ingin menggerakkan pertanian organik di Aceh,” dia berharap.
Petani cabai lainnya di Bener Meriah, Minni (49) menyampaikan juga menerapkan pertanian semi organik. Sebab tanah di kebun seluas 1.600 meter itu sudah tercampur dengan sampah-sampah daun atau sampah kopi sebagai pupuk organik yang dibawa ke kebun tersebut.