Pertanian Organik

Merajut Asa Pertanian Organik di Aceh

Permintaan sayuran organik cukup baik. Termasuk dengan peluang pasarnya yang prospektif.

Penulis: Mawaddatul Husna | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/Foto Instagram kamiKITA Community Center
Hasil pertanian tomat yang ditanam di kamiKITA Community Center, di Gampong Mulia, Banda Aceh. 

“Dikebun sudah bercampur komposnya. Palingan dua bulan lagi dipancing dengan pupuk buatan untuk daun dan buahnya,” sebutnya. Penggunaan pupuknya lebih banyak menggunakan kompos dibanding pupuk buatan. Perbandingannya itu 70 persen organik dan 30 persen pupuk buatan.

“Belum ada yang murni menggunakan pupuk organik. Rata-rata yang untuk dijual menggunakan tambahan pupuk pabrik. Tergantung dari struktur tanahnya juga, kalau daunnya banyak tapi buahnya sedikit, maka dipancinglah dengan pupuk buah yaitu pupuk pabrik,” paparnya.

Untuk sekali produksi, ia menyebutkan hanya mengeluarkan modal sekitar Rp 200.000 untuk khusus membeli pupuk urea. Sekali tanam keuntungan yang diperoleh kira-kira kurang dari Rp 10 juta dengan waktu panen dua kali dalam satu bulan. “Kalau harga jualnya tergantung harga di pasaran pada hari itu. Kita jual ke tengkulak yang ada di Bener Meriah,” sebutnya.

Dosen Jurusan Agribisnis dan Kehutanan Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Dr Monalisa SP MSi menjelaskan, mengubah budaya petani dan konsumen ke organik, tak semudah membalikkan telapak tangan.

Kendala paling besar justru di tingkat konsumen yang belum sepenuhnya menyadari manfaat mengkonsumsi pangan organik. Konsumen pangan organik biasanya memiliki riwayat penyakit berbahaya yang kondisinya dapat memburuk jika mengkonsumsi produk nonorganik.

“Mengkonsumsi pangan yang terpapar bahan kimia dalam dosis tinggi dan terus-menerus memang dapat mempengaruhi sel-sel, jaringan, dan organ tubuh manusia. Bahkan bisa terbawa sampai ke janin ketika seorang ibu mengandung,” kata Monalisa.

Sedangkan dari aspek lingkungan, bahan-bahan kimia dapat mengurangi tingkat kesuburan tanah. Lebih luas, petani dapat meninggalkan lahan pertanian yang kurang subur dan mendorong terjadinya pembukaan tanah pertanian baru.

Di sisi lain, kata dia, ketersediaan pupuk organik juga terbatas sehingga petani tidak punya banyak pilihan. “Nah, disinilah peran, maksudnya petani maju, petani inovatif dan Pemerintah melalui penyuluh harus merangkul petani untuk memproduksi pupuk organik sendiri,” kata Dr Monalisa.

Kembangkan Budidaya Padi Organik

Pada tahun 2022, Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh akan membina tiga kabupaten di Aceh untuk budidaya padi organik, yaitu Aceh Barat Daya (Abdya), Pidie, dan termasuk Aceh Tamiang.

Sebelumnya sudah ada dua kabupaten di Aceh yang berhasil mengembangkan budidaya padi organik. Yaitu Aceh Tamiang pada 2021 dengan luas lebih kurang 25 hektare yang merupakan swadaya masyarakat.

Selanjutnya Aceh Tengah lebih kurang 40,9 hektare yang pure dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh yang membantu memberikan bantuan benih sejak 2020 hingga 2021 sudah menghasilkann produk dengan sertifikasi organik.

“Tahun ini kita ada binaan ke Abdya, karena para petani antusias, mereka menginginkan padi dengan varietas lokal. Termasuk juga kabupaten Pidie dan Aceh Tamiang,” kata Kabid Tanaman Pangan Distanbun Aceh, Safrizal yang didampingi Kasi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (P2HTP), Sri Mulyani kepada Serambi, Selasa (18/1/2022).

Dikatakan untuk Abdya dan Pidie belum ditentukan luas lahan yang akan dikembangkan budidaya padi organik, kemungkinan masing-masing dibawah 50 hektare. Sedangkan Aceh Tamiang, mereka menyediakan lahan seluas 100 hektare.

Ia melanjutkan, keberhasilan padi organik ini nantinya tergantung dari pengawasan, keinginan petani. Artinya kemampuan dan keseriusan petani dalam mengembangkan budidaya padi organik.

Hal yang menjadi tantangan dan kendala di pertanian organik ini, dikatakan Safrizal, mengubah perilaku petani dari menggunakan bahan nonorganik ke organik. Namun, pada beberapa daerah sudah berjalan dengan sendirinya. Artinya mereka sudah punya budaya dari awal untuk mengembangkan organik, dan juga didukung oleh topografi dan kondisi lingkungan di tempat tersebut, sehingga memang layak sekali dikembangkan organik.

“Kemudian sumber airnya juga. Jadi sumber air untuk mengairi sawah itu tidak terkontaminasi dengan sawah-sawah yang menggunakan pupuk nonorganik. Untuk menjadi kawasan organik itu sendiri butuh waktu beberapa tahun kalau kita buat dari awal. Selanjutnya ada proses assessment dari lembaga untuk melihat layak tidak dilihat dari sisi iklimnya, kondisi lahannya. Bahkan pola pikir petani juga dilihat,” paparnya.

Safrizal menambahkan, secara kebijakan pertanian organik menjadi tren saat ini untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia. “Kita melihat penggunaan pupuk sudah massif sehingga berdampak dalam jangka panjang untuk kesehatan. Oleh karena itu Pemerintah beralih ke organik. Selain sehat juga mengurangi ketergantungan kepada pupuk kimia. Selain bahan bakunya sudah langka juga harus impor dan harganya mahal,” sebutnya.

Sementara organik sumbernya banyak, antaranya dilingkungan sekitar petani yang banyak pohon, tanaman, sisa-sisa dari tanaman, makanan, dan ternak. “Sehingga bagaimana petani itu kita edukasi mau mengolahnya dan mungkin nanti kita bantu sarana pengolahannya. Kita coba massifkan kepada petani sebelum ia melakukan pola tanam treatment-nya pupuk organik,” katanya.

Pihaknya juga akan mendorong agar memiliki izin edar untuk produk-produk organik ini, agar dapat dipasarkan secara massif. “Kalau segmen pasar organik, ini memang segmen pasar spesial. Seperti di Aceh Tamiang waktu itu kita diundang saat panen padi organik perdana. Kita tanya ke bupatinya, nanti hasil panennya mau dibawa kemana. Dan beliau mengatakan pihaknya sudah menjajaki dan ditetapkan semua PNS di Aceh Tamiang wajib membeli beras organik. Kemudian ritel-ritel disana juga diwajibkan menampung untuk dijual kepada konsumen yang memang sudah terbangun pola pikirnya untuk mengkonsumsi organik,” papar Safrizal.

Sama juga dengan di Takengon, Aceh Tengah, dikatakan Safrizal, bupati setempat mengatakan tidak mengizinkan jaringan mini market hadir di kabupaten tersebut, apabila tidak mau menjual beras organik, dan pihak mini market wajib untuk menampungnya.

Sedangkan ditingkat provinsi, pihaknya juga akan menjajaki ke ritel-ritel modern untuk memasarkan produk organik. Menurutnya, dengan kualitas yang tetap ditingkatkan, hasil produksi berasnya menarik, bersih, kemasannyapun menarik, serta didukung dengan uji lab, tersertifikasi mutu, maka untuk pemasarannya tidak akan sulit.

“Kalau itu semua dipenuhi, saya rasa tidak susah. Harga beras organik mungkin sampai Rp 20.000 per kilogram, tapi bagi orang yang paham pasti mau,” sebutnya.

Kabid Hortikultura Distanbun Aceh, Chairil Anwar menyampaikan hortikultura di Aceh pada 2020 memiliki luas panen seluas 12.667 ha, terdiri atas cabai besar 5.722 ha, kentang 1.015 ha, cabai rawit 4.459 ha, dan bawang merah 1.471 ha.

Untuk jumlah produksinya secara keseluruhan sebanyak 1.614.783 kuintal (kw). Terdiri atas kentang 120.065 kw, cabai besar 734.437 kw, bawang merah 112.465 kw, dan cabai rawit 647.816 kw.

Sementara pertanian organik, dikatakan, di Aceh baru memiliki 31,60 ha tanaman cabai di Aceh Tengah yang tersertifikasi organik dari Lembaga Sertifikat Organik LSO-009-IDN.

Tanaman cabai organik itu dibudidayakan oleh Kelompok Tani Urum Bahgie, tepatnya di Desa Genting Gerbang, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah. Kelompok tani ini sudah memperoleh sertifikat organik sejak 20 September 2021 yang berlaku hingga 20 September 2024.

“Dan setiap tahunnya mereka dipantau oleh lembaga terkait,” sebutnya.

Dikatakan, pada tahun ini Lembaga Sertifikasi Organik tersebut juga akan kembali mengeluarkan sertifikat organik setelah tanaman itu nanti diuji dan dinyatakan layak memperoleh sertifikat tersebut. Nantinya kabupaten/kota mengusulkan kelompok tani atau petani yang akan diuji oleh lembaga tersebut.

Perkuat Penggunaan Pupuk Organik

Dikutip dari website milik Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, disampaikan Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Ali Jamil melalui SK nya Nomor 45/KPTS/RC.210/B/10 2021, tertanggal 21 Oktober 2021, telah mengurangi kuota pupuk subsidi 2021 Aceh sebanyak 10.199 ton untuk empat jenis pupuk.

Keempat jenis kuota pupuk subsidi yang dikurangi adalah urea sebanyak 3.705 ton, SP-36 sebanyak 1.325 ton, ZA sebanyak 5.006 ton dan NPK sebanyak 163 ton. Sementara untuk pupuk cair organik ditambah 1.527 ton.

Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Cut Huzaimah melalui Kabid Sarana dan Prasarana Fakhrurrazi menyampaikan terkait pengurangan empat jenis kuota pupuk subsidi Aceh tersebut, pihaknya sangat terkejut ketika melihat SK Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan terkait pengurangan kuota empat jenis pupuk subsidi, yaitu urea, SP-36, ZA dan NPK. Sementara untuk pupuk cair organik ditambah.

Pupuk organik ditambah 1.527 ton, dari dari 7.939 ton menjadi 9.466 ton. Urea dikurangi 3.705 ton, dari 76.006 ton menjadi 72.301 ton, SP-36 dikurangi 1.325 ton dari 17.019 ton menjadi 15.694 ton, ZA dikurangi 5.006 ton, dari 12.437 ton menjadi 7.431 ton, dan NPK dikurangi 163 ton, dari 45.020 ton menjadi 44.857 ton.

Fahrurrazi menyatakan, kuota pupuk subsidi yang diberikan Kementan pada tahun 2021, baru memenuhi sekitar 35 -40 persen, dari kebutuhan RDKK kelompok tani di Aceh. Alasan dari pihak Kementan relokasi kuota pupuk subsidi antar daerah yang dilakukan Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian daerah yang stok pupuknya masih banyak, digeser atau direlokasi ke daerah yang daya serap pupuk subsidinya cukup tinggi.

Daya serap pupuk subsidi di Aceh, kata Fahrurrazi sebenarnya cukup tinggi. Buktinya sampai posisi 31 Oktober 2021, serapan untuk pupuk subsidi urea sudah mencapai 77,72 persen dari kuotanya 72.301 ton. Pupuk NPK lebih tinggi lagi sudah mencapai 87,02 persen dari kuotanya 44.857 ton, ZA juga tinggi mencapai 70,80 persen, dari kuotanya 7.431 ton.

Pupuk SP - 36 yang daya serapnya rendah baru 50,75 persen dari kuotanya 15.694 ton. Pupuk organik cair daya serapnya juga masih rendah baru sebesar 54,74 persen dari kuotanya 9.466 ton. Dari kelima jenis pupuk tersebut, daya serap tertingginya ada pada jenis pupuk NPK, kedua urea dan ketiga ZA.

Kabid Tanaman Pangan Distanbun Aceh, Safrizal, melihat sisa stok pupuk urea subsidi dan NPK subsidi yang ada sekitar 22 persen dan 17 persen dari kuotanya, setelah pengurangan sudah tentu, ketersediaan kedua jenis pupuk subsidi nanti, di kios pengecernya jauh dari kebutuhan petani.

"Kita harapkan, kekurangan kebutuhan pupuk subsidi kimia itu, sebagian bisa dialihkan ke pupuk buatan organik," ujarnya.

Dikatakannya, Distanbun Aceh bersama Penyuluh Pertanian di Pidie dan Dinas Pertanian setempat, telah melakukan pelatihan kepada anggota kelompok tani sebanyak 30 orang mengenai cara pembuatan pupuk organik dan menyuburkan lahan sawah dengan cairan decompuser MA 11.

Program pelatihan pembuatan pupuk organik dan pembasmi hama organik itu dilakukan, untuk mengubah pola pikir atau kebisaan anggota kelompok tani, yang selalu bergantung pada pupuk kimia (Urea, NPK, ZA, SP-36), atau non organik, kepada pemanfaatan pupuk organik yang alami dan bahan baku pembuatannya ada disekitar petani.

Memanfaatkan pupuk organik, kata Safrizal, tanah menjadi subur, produktivitas tanaman padi bisa naik dari 5,6 ton menjadi 10 ton/hektar. Hal ini sudah di uji di lahan sawah petani padi di Kuta Cot Glie, Aceh Besar hasil panen padinya mencapaia 10,6 ton/hektar. Dan pada lahan sawah SMK PP Saree, Aceh Besar, produktivitas lebih tinggi mencapai 12,4 ton/hektar.

“Solusi untuk mengurangi kekurangan kebutuhan pupuk kimia (nonorganik) di musim tanam padi rendeng, anggota kelompk tani padi perlu meningkatkan pemanfaatan pupuk organik dan decompuser MA 11, sebagai alat penyubur lahan sawah untuk menaikkan hasil produktivitas panen padinya dari 5,6 ton menjadi 10 – 12 ton/hektar,” kata Safrizal.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved