Hari Wetland Sedunia
Peringati Hari Wetland Sedunia, AWF Ajak Semua Pihak Selamatkan Mangrove Aceh
Luas hutan mangrove di pesisir timur Aceh terus berkurang, yang sebagian besar disebabkan penebangan liar untuk bahan baku arang.
Penulis: Taufik Hidayat | Editor: Taufik Hidayat
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Memeringati Hari Wetland (Lahan Basah) Sedunia pada 2 Februari 2022, Aceh Wetland Foundation (AWF) mengajak semua pihak untuk menyelamatkan hutan mangrove di Aceh.
“Karena Mangrove adalah salah satu habitat lahan basah paling penting di muka bumi. Sehingga, habitat ini menjadi satu-satunya prioritas kampanye perlindungan yang dilakukan Aceh Wetland Foundation (AWF),” kata Yusmadi Yusuf, pegiat lingkungan dari AWF, Selasa (2/2/2022).
Yusmadi mengatakan, tahun ini, peringatan Hari Lahan Basah Sedunia tahun ini mengusung tema 'Wetlands Action for People and Nature' atau Aksi Lahan Basah untuk Manusia dan Alam. Pesan yang ingin disuarakan kepada khalayak adalah Value Manage Restore Love Wetlands.
Value adalah menghargai lahan basah atas berbagai manfaat terhadap kehidupan manusia dan kesehatan planet. Manage yaitu mengelola dengan bijak dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Restore merupakan pemulihan atas lahan basah yang terdegradasi.
“AWF sebagai lembaga yang fokus pada perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan mangrove di Aceh mengajak semua pihak, khususnya key stakeholder untuk bersuara melawan segala bentuk kejahatan lingkungan, khususnya di kawasan hutan mangrove,” ungkapnya.
Baca juga: Satwa Liar Rawa Gambut Paya Nie Kian Terancam, AWF Cari Formula Pengelolaan Berbasis Adat
Biodiversity dan Data Penyusutan Hutan Mangrove
Yusmadi mengungkapkan, pantai timur Aceh merupakan daerah yang memiliki hutan mangrove terluas di provinsi ini. Persebarannya mulai dari Kabupaten Aceh Tamiang, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Utara, Lhokseumawe, hingga Bireuen.
Berdasarkan data yang diinput AWF, luas mangrove di Aceh Tamiang mencapai 15.447,91 hektare, Kota Langsa 5.253,15 hektare, Aceh Timur 18.080,45 hektare, Aceh Utara 959,11 hektar, Lhokseumawe 88,34 hektare, dan Bireuen 25,57 hektare.
Tingkat kekritisan lahan mangrove di wilayah Kabupaten Aceh Timur diklasifikasikan menjadi rusak berat seluas 36.064 ha, rusak sedang seluas 28.729 ha dan yang tidak rusak hanya 7.548 ha.
Di pesisir timur, hutan mangrove terdiri dari tiga famili yaitu Rhizophoraceae, Sonneratiaceae dan Euphorbiaceae dan 7 jenis pohon: Bruguiera gimnorrhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, dan Sonneratia ovata.
Hutan mangrove ini terus menyusut akibat dijadikan lahan perkebunan, tambak, permukiman dan penebangan liar. Luas hutan mangrove di pesisir timur Aceh terus berkurang, sebagian besar disebabkan penebangan liar untuk bahan baku arang.
Selain itu, persoalan banjir di Aceh saat ini disebabkan rusaknya kawasan hutan dan hilangnya area tangkapan air di sepanjang DAS. Karena itu lahan-lahan gambut di sepanjang DAS juga harus dikembalikan fungsinya sebagai kawasan resapan untuk mencegah banjir berulang.
Baca juga: Pokja Perempuan Binaan AWF Terima Bantuan TJSL Pengembangan Produk Mangrove dari PLN UP3 Langsa
Tidak Tertibnya Tata Kelola Hutan
Tata kelola hutan mangrove di Aceh saat ini juga masih sangat amburadul. Banyak aksi penebangan liar tanpa melalui tata kelola pemanfaatan kawasan hutan yang sesuai dengan mekanisme perhutanan sosial yang tercatat di Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH).
Di Aceh Timur, ada dua koperasi pemilik konsesi di hutan mangrove masing-masing Koperasi Bina Meupakat, dan Flora Potensi. Koperasi di Aceh Timur ini diketahui sudah pernah mendapat surat teguran dari KPH 3 UPTD Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh. Masalahnya adalah, kedua koperasi itu tidak memenuhi kewajiban mereka seperti menanam bakau lebih dulu sebelum dipotong, cursing (pencatatan kayu yang bisa ditebang), dan pembinaan hingga penjualan arang.