Kupi Beungoh

Bu Ana dan Mimpi-Mimpi Lintang dari Sarah Raja

Sosok Bu Muslimah yang diceritakan Andrea Hirata dalam novelnya Laskar pelangi cukup menarik perhatian

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
dr. Ridhalul Ikhsan, Sp.PD, Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Aceh Utara 

(Sebuah Refleksi Memori Laskar Pelangi)

Oleh: dr. Ridhalul Ikhsan, Sp.PD *)

Sosok Bu Muslimah yang diceritakan Andrea Hirata dalam novelnya Laskar pelangi cukup menarik perhatian.

Beliau digambarkan sebagai seorang guru yang ikhlas dan sederhana saat mengajar murid-muridnya di sebuah sekolah yang hampir roboh, yaitu SD Muhammadiyah, Desa Gantong, Kabupaten Belitung Timur.

Satu hal yang sangat menyentuh, saat Bu Muslimah berhasil mendidik Harun, seorang anak penderita Down Syndrome.

Narasi Harun dalam Tetralogi Laskar Pelangi, disebutkan sebagai siswa kesepuluh– penyelamat SD Muhammadiyah. Dengan hadirnya Harun, SD tersebut tidak jadi ditutup dan dapat kembali melanjutkan proses belajar dan mengajar.

Kesembilan anak Laskar Pelangi lainnya pun ikut belajar, berinteraksi dan bermain bersama Harun dengan penuh ceria.   

Sarah Raja

Pada tanggal 12 Februari yang lalu - dalam Aksi Peduli Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).

Tim kami yang terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cab. Aceh Utara, PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM) dan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Cab. Lhokseumawe berkesempatan berkunjung ke Dusun Sarah Raja, Desa Leubok Pusaka, Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara.

Untuk mencapai ke lokasi tersebut tim menggunakan dua moda transportasi yaitu mobil Double Cabin dan Minibus.

Ditengah perjalanan (Buket Linteung), salah satu tim harus berganti kendaraan (Minibus) dengan mobil bak terbuka (Pick Up). Hal ini dikarenakan kondisi jalan yang didominasi dengan batu kasar (Gravel-Offroad).

Seluruh tim dihadapkan dengan medan yang cukup berat. Total perjalanan darat memakan waktu 3.5 jam dari Kota Lhokseumawe menuju Dusun Bidari.

Baca juga: KEKERASAN juga Bulliying di Pesantren dan Sekolah Asrama, Merusak Citra Islam

Sesampai di dusun Bidari, kedua moda transportasi harus berganti. Kali ini tim harus menggunakan tiga perahu kayu dengan mesin berkekuatan 24 tenaga kuda untuk membelah arus sungai Arakundo.

Ini adalah tantangan sesungguhnya yang harus dihadapi oleh seluruh tim.

Suara mesin perahu menjerit cukup keras untuk melawan derasnya arus sungai. Tapi, kebisingan tersebut segera sirna, disaat kami bertemu dengan tebing nan tinggi disisi kanan sungai, lengkap dengan pohon hijau dan monyet yang kegirangan.

Hal ini membawa suasana seperti dalam film laga perang Amerika-Vietnam yang sering kita saksikan di tahun 90-an dulu.

Tanpa rasa jenuh saat sedang asik melihat kiri dan kanan, tiba-tiba perahu kami bermanuver tajam ke kanan dan kecepatannya melambat.

Tenyata kami dibawa masuk kedalam anak sungai yang sangat rimbun. Diameter sungai nya tidak kurang dari lima meter, dimana ujung ranting pepohonan dikiri dan kanan sungai saling bersentuhan.

Keduanya membentuk kanopi yang hampir tertutup sempurna. Inilah anak sungai tanda kami telah memasuki Sarah Raja. Perjalanan melalui sungai ini ditempuh dalam waktu satu jam lamanya.

Bu Ana dan Mimpi Lintang

Setelah “mendarat” di dermaga yang dibangun oleh masyarakat secara swadaya− kami mengepak barang dan berjalan kaki kurang lebih 500 m, menuju desa perumahan masyarakat.

Di sana, kami disambut dengan penuh kehangatan dan suasana kekeluargaan segera terbangun.

Selanjutnya kami di pandu menuju sebuah Meunasah. Tidak lama berselang, acara seremonial penyambutan pun dimulai.

Pada kesempatan tersebut kami diperkenalkan dengan seorang warga Desa yang bernama Ibu Ana Cahyati.

Beliau seorang guru yang berusia 16 tahun, sangat cakap dan ramah.

Dalam kata sambutannya Kepala Dusun memaparkan sumbangsih yang begitu besar akan hadirnya Bu Ana di tengah-tengah warga. Bu Ana merupakan seorang pendidik bagi 14 anak di Dusun Sarah Raja, yang terdiri dari 10 putri dan 4 putra.

Baca juga: Kenapa China tak Bantu Rusia Invasi Ukraina dan Xi Jinping Memilih Diam? Ini Ulasan Prof Humam Hamid

Dalam kesehariannya, Bu Ana mengajar dengan penuh keterbatasan (seadanya). Dimulai pada pukul 08.00 – 10.30  dengan materi membaca dan menulis huruf Latin, Matematika dasar dan lainnya.

Sedangkan pada sore harinya pukul 16.00 diisi dengan Ilmu Pengetahuan Agama, pengenalan huruf Hijaiyah, baca Iqra’ dan Alquran.

Penulis sendiri sempat terkesima saat mendengar hafalan Surah Al-Fatihah yang dibacakan oleh dua orang Siswi. Bacaannya sangat fasih, tepat akan Tajwid dan Makhrajnya.

Disamping mempunyai semangat tinggi, Bu Ana juga mempunyai sejuta akal cerdik yang membuat takjub. Diantaranya beliau menyulap salah satu rumah untuk dijadikan “Sekolah” tempat beliau mengajar.

Dimana ruang tamu bangunan tersebut dibagi menjadi dua bilik. Bilik pertama dijadikan sebagai ruang mengajar untuk anak-anak setingkat TK dan ruang kedua diperuntukkan untuk anak setingkat SD.

Sedangkan meja belajarnya terbuat dari tiga papan yang dipaku-menyatu berbentuk U, dengan panjang 4 meter. Mirip tempat “Makan Bebek”, hanya saja posisinya dibalik kebawah.

Tentang Anak-anak, kehausan akan ilmu pengetahuan terpancar dari ketekunan dalam melahap setiap materi yang diberikan oleh Bu Ana.

Hal ini mengingatkan kita kepada sosok Lintang (Laskar Pelangi), seorang murid jenius, yang bercita – cita ingin menjadi seorang ahli Matematika.

Baca juga: Selangkah Lagi! RSUZA Jadi Rumah Sakit Penyelenggara Transplantasi Ginjal

Bu Muslimah sendiri begitu terkesima akan kemampuan yang dimiliki Lintang.

Dia mampu memecahkan soal – soal Matematika, hanya dengan menutup mata (menghitung dalam imajinasi) tanpa perlu menghitungnya secara manual.

Disamping kegeniusan yang dimilikinya, Lintang merupakan seorang anak yang bersungguh - sungguh dalam menuntut ilmu.

Ia harus mendayung berpuluh-puluh kilometer sepeda orang dewasa menuju sekolah setiap harinya. Andrea dalam narasi awal novelnya menjelaskan.

“Anak ini berbau seperti karet terbakar. Bau hangus yang kucium tadi ternyata bau sandal Cunghai, yakni sandal yang dibuat dari ban mobil, yang aus karena ia terlalu jauh mengayuh sepeda”.

Pernah juga suatu pagi, Lintang harus berpapasan dengan Buaya yang sedang “tertidur” di tengah jalan.

Walau menyadari resiko yang besar di depan mata, hati nya tetap teguh untuk tidak bolos sekolah, meskipun harus tiba saat kelas akan berakhir.

Kisah perjuangan Bu Ana untuk mencerdaskan anak didiknya, juga mirip sekali dengan kisah Bu Muslimah yang dijelaskan oleh Andrea.

Dua orang guru yang terus berjuang dengan menutup mata, terus melemparkan senyuman riang dan mencoba bertahan melawan keadaan yang begitu sulit.

Baca juga: Prof Marwan Resmi Jadi Rektor USK, Gubernur Ucap Selamat

Hanya demi menanamkan secercah mimpi dan harapan kedalam jiwa anak-anak mereka. Bahwa masa depan adalah milik mereka, Sang Pemimpi.

Sebagai penutup, penulis ingin menjelaskan. Bahwa Bu Ana hanya menamatkan Pendidikan Menengah Pertama (SMP).

Beliau tidak dapat melanjutkan pendidikan ke Tingkat Menengah Atas (SMA), karena medan tempuh yang sulit dan pengorbanannya untuk anak-anak− agar mereka mendapatkan pendidikan yang layak, dengan tanpa kehilangan dirinya.   

Akhir kata penulis ingin melemparkan sebuah pertanyaan kepada pembaca setia. Bila Lintang harus melupakan mimpinya karena kehilangan keluarga.

Lalu bagaimanakah dengan Bu Ana dan lintang – lintang yang ada di Sarah Raja, akankah peradaban melupakan mereka?

Bila ada kesempatan, bertandanglah ke Sarah Raja. Penulis yakin, hati anda akan terluka.

 *email: ridhalulikhsan@gmail.com

*) PENULIS adalah Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Aceh Utara

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved