Ramadhan 2022

Keguguran Saat Berpuasa, Apakah Puasa Batal atau Tetap Dilanjutkan? Berikut Penjelasan Buya Yahya

Pada saat seseorang dalam keadaan hamil lalu berpuasa di bulan Ramadhan. Tetapi tiba-tiba ia keguguran, bagaimanakah status puasanya?

Penulis: Firdha Ustin | Editor: Mursal Ismail
INSTAGRAM @buyayahya_albahjah
Keguguran saat berpuasa, apakah puasanya batal atau tetap dilanjutkan? Simak penjelasan Buya Yahya berikut ini. 

Pada saat seseorang dalam keadaan hamil lalu berpuasa di bulan Ramadhan. Tetapi tiba-tiba ia keguguran, bagaimanakah status puasanya?

SERAMBINEWS.COM - Keguguran saat berpuasa, apakah puasanya batal atau tetap dilanjutkan? Simak penjelasan Buya Yahya berikut ini.

Pada saat seseorang dalam keadaan hamil berpuasa di bulan Ramadhan. Tetapi tiba-tiba ia keguguran, bagaimanakah status puasanya? Apakah puasanya batal atau tetap dilanjutkan?

Umat Islam kini telah memasuki akhir bulan Rajab yang menandakan bahwa puasa Ramadhan sebentar lagi akan tiba.

Sebelum memasuki puasa di bulan Ramadhan, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui beberapa hal-hal yang dapat menyebabkan batalnya ibadah puasa.

Salah satunya keguguran saat sedang berpuasa.

Pada bulan Ramadhan, berpuasa adalah kewajiban bagi umat Islam selama satu bulan penuh.

Allah SWT mewajibkan puasa bagi orang yang mampu melakukannya.

Baca juga: Jelang Puasa, Ini Hukum Bersetubuh di Siang Hari Ramadhan Menurut Buya Yahya, Suami Istri Wajib Tahu

Lantas, bagaimana jika seorang ibu hamil yang sedang berpuasa lalu tiba-tiba ia keguguran, apakah puasanya batal atau tetap dilanjutkan?

Terkait hal ini, Buya Yahya yang juga sebagai pengasuh LPD Al-Bahjah memberikan penjelasan terkait hukum puasa bagi ibu hamil yang tiba-tiba ia mengalami keguguran.

Kata Buya, ibu hamil yang apabila ia sedang berpuasa lalu ia keguguran, maka status puasanya adalah batal.

Begitu pula bagi wanita yang melahirkan disaat ia sedang berpuasa, maka puasanya juga batal.

Hal tersebut disampaikan Buya Yahya dalam buku Fiqih Praktis Puasa yang membahas 9 Hal yang Membatalkan Puasa dan 9 Orang yang Boleh tidak Berpuasa.

"Misal seorang ibu hamil sedang berpuasa tiba-tiba melahirkan di siang hari saat berpuasa, maka puasanya menjadi batal," kata Buya.

Baca juga: Jelang Puasa, Ini Hukum Bersetubuh di Siang Hari Ramadhan Menurut Buya Yahya, Suami Istri Wajib Tahu

"Melahirkan adalah membatalkan puasa, baik itu mengeluarkan bayi atau mengeluarkan bakal bayi yang biasa disebut dengan keguguran," demikian penjelasan Buya Yahya dalam buku tersebut.

Jelang Ramadhan 2022, Ini 9 Orang yang Boleh Tidak Berpusa, Siapa Saja? Simak Penjelasan Buya Yahya

Sembilan orang ini diperbolehkan tidak berpuasa, siapa saja? Simak penjelasan Buya Yahya berikut.

Tak lama lagi umat Muslim akan menyambut bulan suci Ramadhan yang diperkirakan akan jatuh pada akhir Maret 2022.

Pada bulan Ramadhan, berpuasa adalah kewajiban bagi umat Islam selama satu bulan penuh.

Allah SWT mewajibkan puasa bagi orang yang mampu melakukannya.

Namun ternyata, ada sembilan kategori orang yang tidak diwajibkan berpuasa lho.

Dilansir Serambinews.com dari laman resmi buyayahya.org, Selasa (15/3/2022), menurut Buya Yahya setidaknya ada sembilan kategori orang yang diperbolehkan tidak berpuasa, siapa saja?

Baca juga: Jangan Sembarangan Minum Obat Penunda Haid saat Ramadhan, Ini Pandangan Islam Menurut Buya Yahya

1. Orang Gila

Orang gila tidak wajib berpuasa. Seandainya berpuasa maka puasanya pun tidak sah.

Dalam hal ini, ulama membagi orang gila menjadi dua macam, yaitu:

Pertama, orang gila dengan disengaja. Orang gila yang disengaja, jika berpuasa maka puasanya tidak sah dan wajib mengqadha.

Sebab sebenarnya ia wajib berpuasa, kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya gila.

Kesengajaan inilah yang membuatnya wajib mengqadha puasanya setelah sehat akalnya.

Kedua, orang gila yang tidak disengaja.

Orang gila yang tidak disengaja tidak wajib berpuasa.

Seandainya berpuasa maka puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak berkewajiban mengqadha, karena gilanya bukan disengaja.

2. Anak kecil

Maksudnya, di antara orang yang boleh tidak berpuasa adalah anak yang belum baligh. Tanda baligh ada tiga, yaitu:

Pertama yang keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun Hijriah.

Kedua, keluar darah haid pada usia 9 tahun Hijriah (bagi anak perempuan).

Ketiga, jika tidak keluar mani dan tidak haid, maka ditunggu hingga umur 15 tahun.

Jika sudah genap 15 tahun, maka ia disebut dengan telah baligh dengan usia, yaitu genap usia 15 tahun Hijriah.

3. Sakit

Orang sakit boleh meninggalkan puasa.

Adapun ketentuan bagi orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah:

Sakit parah yang memberatkan untuk berpuasa yang berakibat semakin parahnya penyakit atau lambatnya kesembuhan.

Adapun yang bisa menentukan sakit seperti ini adalah dokter Muslim yang terpercaya dan berdasarakan pengalamannya sendiri.

Dalam hal ini, tidak terbatas kepada orang sakit saja.

Akan tetapi, siapa pun yang sedang berpuasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk berpuasa dengan kondisi yang membahayakan terhadap dirinya maka saat itu pun dia boleh membatalkan puasanya.

Akan tetapi, ia hanya boleh makan dan minum seperlunya, kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang berpuasa.

Berbeda dengan orang sakit, ia boleh berbuka dan boleh makan sepuasnya untuk memulihkan kesehatannya.

4. Orang Tua

Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan puasa diperkenankan untuk meninggalkan puasa.

Dalam hal ini, tidak ada batasan umur.

Akan tetapi, asalkan betul-betul puasa memberatkan baginya hingga sampai membahayakan maka ia boleh berbuka puasa.

5. Bepergian (Musafir)

Semua orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa dengan ketentuan sebagai berikut ini:

Tempat yang dituju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.

Di pagi (saat Shubuh) hari yang ia ingin tidak berpuasa, ia harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan).

Misalnya kata Buya Yahya :

Seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Jarak antara Cirebon – Semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km).

Ia meninggalkan Cirebon pukul 2 malam (Sabtu dini hari). Shubuh hari itu adalah pukul 4 pagi. Pada pukul 4 pagi (saat Shubuh) ia sudah keluar dari Cirebon dan masuk Brebes.

Maka, di pagi hari Sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa.

Berbeda jika berangkatnya ke Semarang setelah masuk waktu Shubuh, Sabtu pagi setelah masuk waktu Shubuh masih di Cirebon.

Maka, di pagi hari itu ia tidak boleh meninggalkan puasa karena sudah masuk Shubuh ia masih ada di rumah.

Akan tetapi ia boleh meninggalkan puasa di hari Ahadnya, karena di Shubuh hari Ahad ia berada di luar wilayahnya.

Ada beberapa catatan khusus bagi yang melakukan berpergian saat puasa.

Seseorang dalam bepergian akan dihukumi mukim (bukan musafir lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari.

Misalnya, orang yang pergi ke Semarang yang tersebut dalam contoh, saat ia sampai di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di Semarang juga tetap boleh berbuka, asalkan ia tidak bermaksud tinggal di Semarang lebih dari 4 hari.

Jika ia berniat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari maka semenjak ia sampai di Semarang, ia sudah disebut mukim dan tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh mengqashar shalat.

Untuk dihukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari seperti kesalahpahaman yang terjadi pada sebagian orang.

Akan tetapi, kapan ia sampai tempat tujuan yang ia niat akan tinggal lebih dari 4 hari, ia sudah disebut mukim.

Yang dihitung empat hari di sini adalah empat hari utuh, tidak dihitung hari masuk dan hari keluar, misal hari rabu siang dia sudah sampai di Semarang maka boleh dihitung hari pertama adalah malam Kamis, hari kedua adalah malam Jumat, hari ketiga adalah malam Sabtu, hari keempat adalah malam Ahad, dan dia keluar hari Senin maka hari Rabu saat ia datang dan hari Senin saat dia keluar tidak dihitung.

Begitu juga jika ada orang datang hari Sabtu siang, kemudian keluar hari Sabtu siang pekan berikutnya maka dua hari Sabtu tersebut tidak dianggap, sebab itu adalah hari keluar dan hari masuk yang tidak dihitung.

6. Hamil

Orang hamil diperbolehkan tidak berpuasa.

Adapun kategori orang hamil tersebut seperti orang hamil yang khawatir akan kondisi dirinya atau janin (bayinya).

7. Menyusui

Wanita yang tengah menyusui diperbolehkan tidak berpuasa apabila ia khawatir akan kondisi dirinya atau kondisi bayi yang masih di bawah umur dua tahun Hijriyah.

Bayi di sini tidak harus bayinya sendiri, tetapi bisa juga bayi orang lain.

8. Haid

Wanita yang sedang haid tidak wajib berpuasa, bahkan jika berpuasa, puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.

9. Nifas

Terakhir adalah wanita yang sedang nifas tidak wajib berpuasa.

Jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya. (Serambinews.com/Firdha Ustin)

Baca juga berita lainnya

Baca juga: Aminullah: Saya Bahagia Apa yang Saya Buat Bermanfaat

Baca juga: BREAKING NEWS - Sepmor Vario Tabrakan dengan Bus Pemkab Aceh Utara, 2 Perempuan Meninggal di Tempat

Baca juga: Tak Punya BPJS untuk Operasi, Pria Ini Meninggal Saat Perekaman e-KTP, Datang Sudah Sempoyongan

Baca juga: Begini Bacaan Niat Puasa untuk Mengganti Utang Ramadhan atau Puasa Qadha

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved