Opini
Benarkah JKA Sudah Usai?
SEJUMLAH penduduk Aceh telah menikmati jaminan kesehatan jauh sebelum jaminan kesehatan secara nasional diterapkan

OLEH HANIFAH HASNUR SPd SKM MKM, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Aceh
SEJUMLAH penduduk Aceh telah menikmati jaminan kesehatan jauh sebelum jaminan kesehatan secara nasional diterapkan.
Sejarah mencatat, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bertujuan untuk menjamin seluruh penduduk Indonesia dapat memiliki akses yang sama dalam kesehatan, diterapkan setelah Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) berjalan empat tahun lamanya.
Pelaksanaan Jaminan pemeliharaan kesehatan di daerah tidak hanya diberlakukan di Aceh, beberapa daerah lain pun telah menerapkan hal yang sama sebelumnya.
Namun Kementerian Kesehatan mencatat sekurangkurangnya sampai akhir tahun 2012 hanya 59 persen penduduk Indonesia yang terjamin melalui berbagai penerapan jaminan kesehatan yang ada di daerah, sisanya 41 % lagi masih terkatungkatung bahkan bisa dibilang tidak punya akses yang sama terhadap kesehatan.
Hal inilah yang kemudian menginisiasi, guna mencapai universal health coverage dimana seluruh masyarakat seharusnya mendapatkan haknya sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yaitu hak mengakses pelayanan kesehatan, maka pelaksanaan jaminan kesehatan di Indonesia pun akhirnya diintegrasikan dalam satu skema pembiayaan yaitu, skema Jaminan Kesehatan Nasional.
Hal ini tidak lain bertujuan guna membantu menghilangkan banyaknya variasi yang ada di daerah dalam pelaksanaan jaminan kesehatan.
Variasi ini antara lain dalam hal lembaga pengelola, kepesertaan, sumber pembiayaan dan paket manfaat yang diterima oleh masyarakat.
Sebut saja, dalam catatan sejarah, Provinsi Aceh adalah satu-satunya Provinsi yang masih “memberikan beberapa paket manfaat yang ditanggung JKA” di saat daerah lain tidak memiliki “paket manfaat tersebut” karena tidak sesuai dengan paket manfaat yang disepakati di dalam Jaminan Kesehatan Nasional.
Patutkah Jaminan Kesehatan Aceh Berakhir? Bila memang saat ini, terdengar desas-desus Jaminan Kesehatan Aceh akan berakhir dalam waktu dekat, hal ini mestinya bukanlah hal yang mengagetkan lagi.
Tahun 2020 dan tahun 2021, dua tahun berturut-turut media sempat memberitakan bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) kekurangan anggaran untuk pembayaran kapitasi Peserta Bantuan Iuran (PBI) yang jumlahnya mencapai 2,2 juta penduduk Aceh.
Di saat yang sama Pemerintah Pusat melalui Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) telah membayarkan kapitasi di awal pelaksanaan JKN sekitar 86,4 juta penduduk yang tergolong kurang mampu melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional, dan 2,1 jutanya adalah penduduk Aceh.
Baca juga: Jubir Pemerintah Aceh Kritik Pedas Mualem soal Polemik JKA, Sentil Rp 900 Miliar Dana Pokir Dewan
Baca juga: Mualem Minta Ketua DPRA Pertahankan JKA, Syech Fadhil: Panggil Direksi BPJS Kesehatan
Dari data ini, dapat dilihat bahwa selama ini bahkan pembiayaan PBI untuk masyarakat Aceh oleh pemerintah Aceh lebih banyak dari pembiayaan PBI oleh APBN.
Sistem pembiayaan untuk cakupan universal ini mirip seperti yang diterapkan di Kanada, dimana pelayanan oleh Medicare sebagai penyelenggara, sebagian didanai oleh pemerintah nasional, dan sebagian besarnya dibiayai oleh pemerintah provinsi.
Kini, pada tahun 20- 22,kembali terdengar bahwa berdasarkan hasil rasionalisasi antara Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) dengan Badan Anggaran (Banggar) DPRA menyebutkan bahwa pembiayaan untuk Jaminan Kesehatan Aceh akan dihentikan awal bulan depan, April 2022 ini.
Hal ini bukanlah tidak mendasar, sekurang- kurangnya penulis menyimpulkan, ada 3 hal yang mendasar berkaitan dengan berakhirnya pembiayaan Jaminan Kesehatan bersumber Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) ini.
Pertama, dari sisi pembiayaan keuangan APBA tidaklah lagi mencukupi.
Studi yang dilakukan oleh Suryani di tahun 2013 menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, pelaksanaan jaminan kesehatan di daerah sarat dengan janji politik, di beberapa daerah terbukti kemampuan fiskal daerah tidak cukup memadai untuk mendanai pendanaan jaminan kesehatan untuk masyarakat di daerahnya.
Sehingga sebagai konsekuensi, pada saat itu, beberapa rumah sakitdi daerah terbebani piutang Jamkesda yang sulit ditagih.
Dapat dipastikan, apabila ini diteruskan, maka lama kelamaan tentunya akan berdampak pada terganggunya cash flow rumah sakit-rumahsakit yang ada di daerah.
Kedua, data membuktikan, peserta yang selama ini dibayar oleh APBA ternyata didominasi oleh mereka yang mampu seperti mereka Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yang pada dasarnya mampu membayar sendiri namun tidak membayar iuran karena ditanggungkan oleh JKA selama ini.
Dan, ketiga guna melaksanakan amanat UU nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bahwa pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional sudah selayaknya terintegrasi dengan sistem pembayaran single-payer atau pembayar tunggal yaitu Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Maka, sudah patutlah Aceh sebagai bagian dari Indonesia, mendapatkan layanan kesehatan yang sama, layanan kesehatan sesuai dengan yang dibutuhkan (mendapatkan apa yang dibutuhkan bukan hanya apa yang mampu dibayarkan “get what they need” not “what they pay”).
Kemudian, untuk sekitar 2,1 juta lagi penduduk Aceh yang selama ini ditanggung oleh pemerintah Aceh melalui APBA, mungkin akan melewati seleksi ketat dimana secara administrasi harus mampu membuktikan bahwa mereka adalah golongan kurang mampu “yang tidak mampu meng-iur” atau membayar premi sendiri sehingga secara otomatis dapat masuk menjadi Peserta Penerima Bantuan Iuran yang akan dibayarkan oleh APBN, atau opsi lainnya berubah menjadi peserta mandiri yang membayar premi iuran sendiri.
Baca juga: JKA Dihentikan Mulai 1 April 2022, Warga Diimbau Daftarkan Diri ke BPJS Kesehatan
Dalam ilmu ekonomi kesehatan, istilah “ability to pay” atau “kemampuan membayar” terhadap iuran Jaminan Kesehatan Nasional telah berkali-kali diuji.
Termasuk di dalamnya pengkategorian “kemampuan membayar” untuk premi Rp 60.000 per bulan, Rp 110.000 per bulan sampai Rp 160.000 per bulan.
“Kemampuan membayar” ini kemudian sempat di-jembrengin dalam nilai rupiah harian yaitu sekitar Rp 2.000 per hari, Rp 3.700 per hari atau Rp 8.00 per hari — artinya masyarakat ternyata cukup mampu membayar sejumlah rupiah yang “tidak besar” apabila dirasionalkan dalam jumlah yang harus dibayarkan per hari.
Kewajiban Pemerintah Daerah Menunaikan 10 % Hiruk pikuk berakhirnya JKA dalam pemberitaan beberapa waktu lalu, pasti telah meresahkan sebagian masyarakat Aceh.
Namun, hal ini pasti dapat diminimalisir bila kemudian pemerintah Aceh bisa mensosialisasikan dengan baik apa dasar dari semua itu.
Menurut penulis, salah satu hal yang tidak boleh abai oleh pemerintah Aceh saat ini adalah memenuhi minimal 10 % pendanaan APBA untuk kesehatan.
Tentunya pembiayaan ini bila memang tidak lagi dalam bentuk Iuran untuk Penerima Bantuan Iuran (peserta kurang mampu), maka bisa dialokasikan untuk meng-cover layananlayanan kesehatan yang seyogyanya tidak di-cover oleh skema Jaminan Kesehatan Nasional selama ini, misalnya pembiayaan untuk ambulans pasien yang dirujuk antar kabupaten/kota, atau biaya tiket pesawat pasien “dari Rumah Sakit Daerah ke RumahSakit nasional.
” Pembiayaan kesehatan lainnya yang wajib diupayakan oleh pemerintah Aceh adalah pembiayaan untuk programprogram kesehatan prioritas yang merupakan indikator kesehatan seperti untuk penurunan stunting, penurunan jumlah kematian ibu, bayi dan balita, eliminasi malaria danprogram-program prioritas lainnya yang tidak bisa diabaikan pendanaannya.
Baca juga: Ketua DPRK Banda Aceh Sesalkan Penghentian Program JKA, Jika Ada yang Kurang Harus Diperbaiki
Baca juga: Tanggapi Polemik Penghentian JKA, Demokrat Aceh: Silakan Dievaluasi, Tapi Jangan Dihapus