Opini
Uang, Agama dan Keadilan
Dua pernyataan tersebut menjadi pembuka sekaligus kunci memahami arah tulisan ini dihadirkan dalam ruang publik
OLEH ZULFATA MAg, Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)
ADA yang menyebut bahwa jika bicara soal uang, maka semua orang sama agamanya.
Kemudian ada juga yang menyebutkan bahwa keadilan harus ditegakkan meski langit akan runtuh.
Dua pernyataan tersebut menjadi pembuka sekaligus kunci memahami arah tulisan ini dihadirkan dalam ruang publik.
Seiring maraknya fenomena orang kaya baru atau dalam bahasa viral disebut dengan crazy rich yang berlangsung saat hangatnya diskursus keagamaan (moderasi) justru tidak berdampak pada bentuk menguatnya praktik keadilan di negeri ini, baik itu di level nasional maupun lokal.

Sehingga penulis berusaha untuk membuka ruang nalar publik terkait bagaimana memahami keterpautan uang, agama dan keadilan secara terpadu.
Terkait uang, tidak sulit untuk menjelaskannya, selain ia dianggap sebagai alat tukar, juga ia kini hampir menjadi tujuan bahkan ideologi bagi kelompok tertentu.
Dengan adanya banyak uang, manusia akan menjadi kuat (berkuasa), melalui uang manusia dapat mengatur apa pun, terlebih hidup di sistem politik oligarki atau iklim ekonomi kapitalis-nasionalis seperti yang terjadi di Indonesia hari ini.
Disadari atau tidak, secara empiris, kini uang hampir menjadi faktor utama dalam manusia bekerja (beribadah), melayani maupun menolong sesama manusia.
Prinsip membela siapa yang bayar, ada uang ada barang, hingga ada uang abang sayang telah menjadi realitas sosial yang tak mungkin dihindari di masa kini.
Baca juga: Berikut Sosok Doni Salmanan, Crazy Rich yang Ditahan Polisi Akibat Kasus Penipua Dugaan Judi Online
Baca juga: Bukan Raffi Ahmad, Apalagi Indra Kenz dan Doni Salmanan, Inilah 7 Crazy Rich Indonesia Sesungguhnya
Terlebih lagi dalam konstelasi politik, uang (harta) hampir menjadi faktor utama dalam menggerakkan massa atau mencapai suatu kemenangan politik.
Benarkah begini adanya kenyataan sosial di Indonesia hari ini? Disadari atau tidak, uang hampir sama posisi keberadaannya dengan agama.
Agama yang berperan sebagai pemberi arah (petunjuk keselamatan), agama dapat menjamin ketenangan, agama dapat memberi kemenangan bagi umatnya juga terjadi pada posisi penggunaan uang.
Pada posisi tertentu uang dapat juga menjadi sebagai petunjuk jalan keselamatan, menjamin ketenangan, bahkan dapat ciptakan umat untuk hidup nyaman.
Pada pemaknaan keberadaan uang dalam konteks ini menjadikan manusia dalam hidup bahwa uang adalah segalanya, dengan tidak menyebutnya sebagai manusia penyembah uang atau menuhankan uang.
Mungkin penalaran di atas agak bersifat ekstrem, namun demikian fenomena sedemikianlah yang sedang terjadi dalam aktivitas beragama dan bernegara hari ini.
Jumlah uang mampu menjalankan program beragama sesuai yang “direncanakan”, dengan jumlah uang pula praktik keadilan dapat bergeser, tajam ke bawah tumpul ke atas, sunat masa hukuman koruptor elite, tepat dalam menghukum koruptor pemula.
Uang seakan- akan menjadi instrumen pengatur ampuh dalam bernegara hari ini.
Dalam kehidupan sosial juga sedemikian, seorang yang memiliki banyak uang, kemungkinan akan banyak saudaranya, padahal dalam konsep keagamaan adalah setiap umat beragama adalah saudara kemanusiaan tanpa disekat seberapa banyak uangnya.
Hasrat atau ketergantungan manusia terhadap uang tampak semakin kuat dari pada hasrat ketergantungan seseorang dengan agamanya.
Artinya, apabila bergantung pada uang, kehidupan manusia dapat diukur secara realistis dan konkret.
Baca juga: Pencuri Kambing di Singkil Ini tak Perlu Mendekam di Penjara, Berkat Pendekatan Keadilan Restoratif
Apabila bergantung pada yang dijanjikan agama seolah-olah masih bersifat abstrak dan membutuhkan rentang waktu untuk diuji kesabarannya manusia.
Seiring meningkatnya kehidupan manusia yang instan, praktis dan berbanding lurus dengan kecanggihan inovasi teknologi yang semakin cepat, tantangan manusia dalam beragama semakin menantang.
Ketika manusia tidak memaknai agama (Islam) sebagai jalan keselamatan yang hakiki, maka kekeliruan pikir dan sikap terkait uang akan menjadikan manusia salah kaprah dalam beragama, sehingga uang dan agama dimaknai secara dikotomi atau bertentangan.
Demikian pula terkait posisi wujud nyata keadilan dalam bernegara.
Cita-cita proklamasi Indonesia mendasari terwujudnya negara yang mampu menciptakan adil dan makmur bagi rakyatnya.
Namun pada perjalanan waktu pascakemerdekaan, keadilan dan kemakmuran tampak tersandera dalam permainan jumlah uang dan manipulasi agama demi kekuasaan.
Yang semestinya keberadaan uang, agama dan keadilan dipadukan sebagai daya tekan untuk mendaulatkan rakyat di negerinya sendiri, justru yang terjadi saat ini adalah uang, agama dan keadilan mengalami benturan, tidak saling menuju pada upaya kesejahteraan rakyat oleh peran negara.
Adanya praksis yang menguat demi uang dapat mengobral agama, demi uang memanipulasi keadilan, hingga seorang yang paling paham agama dan adil telah dapat disematkan pada orang yang mampu menghamburkan uang, mesti uang yang dihamburkan tersebut berdampak pada daya lenting kesenjangan sosial.
Maka masa kini tidak perlu heran saat melihat adanya pihak-pihak yang berlindung pada nama besar agama demi mendapat kenikmatan uang tanpa peduli terhadap sikap bijaksana.
Yang bersikap sedemikian boleh saja itu pejabat publik, apakah ia menteri, kepala dinas maupun publik itu sendiri.
Menyikapi fenomena bernegara dan beragama sedemikian tidak dapat dipandang dengan sebelah mata, sebab sikap yang tidak bijaksana karena uang, agama, dan keadilan merupakan penyakit sosial yang harus dirontokkan di negeri ini, apakah proses perontokan tersebut melalui struktur birokratis maupun secara kultur sosial.
Hal ini menjadi mendesak karena harapan untuk menuju Indonesia yang adil dan makmur dapat keropos akibat kekacauan dalam pemanfaatan uang, agama dan keadilan.
Pihak-pihak yang mengatasnamakan uang rakyat, beragama secara moderat, keadilan bagi masyarakat kini tampak sebatas slogan politis belaka.
Belum menjadi etos kerja atau etos kekuasaan yang menguat dalam menjalani roda kenegaraan menuju cita-citanya.
Uang memang segala-galanya, namun segala-galanya bukanlah uang.
Agama adalah jalan damai penuh keselamatan, ia tidak dapat digantikan dengan uang, terlebih lagi diobral karena uang.
Keadilan adalah keniscayaan bagi rakyat, bukan untuk ditransaksikan sesuai selera pemodal.
Melalui prinsip inilah semestinya kita dapat mengukur sejauh mana dampak revolusi mental di republik ini.
Dalam konteks ini pula, persoalan uang bukan saja persoalan pribadi, demikian pula agama dan keadilan bukan pula persoalan personal.
Jauh dari itu uang, agama dan keadilan adalah soal bagaimana meningkatkan kesadaran dan kualitas hajat hidup orang banyak.
Negara melalui berbagai perangkatnya mesti benarbenar fokus untuk mengelola uang, agama dan keadilan demi rakyat.
Demokrasi Pancasila seyogianya mampu menguat dan membumi melalui tata kelola uang, agama dan keadilan menuju Indonesia yang tidak selalu jatuh di lubang yang sama, yaitu lubang kesengsaraan rakyat.
Bukankah kita sadar bahwa di masa prakemerdekaan rakyat Indonesia belum sejahtera.
Masa kolonial rakyat diberlakukan sistem tanam paksa.
Masa orde baru rakyat dikekang.
Masa reformasi rakyat disuguhi harapan.
Usai reformasi, birokrasi dikorupsi.
Akhirnya, sampai kapan kita masih berdiam diri saat memahami potret laju negeri kita hari ini.
Baca juga: Indra Kenz Berkasus, Susyen Regina, Mantan Kekasih Crazy Rich Medan Bongkar Kedok sang Mantan
Baca juga: Pasal di Qanun Jinayat Perlu Direvisi, Dinilai Tak Ada Keadilan Bagi Anak Korban Kekerasan Seksual