Jurnalisme Warga
Seudati, Tarian Perang yang Semakin Langka
Hal ini perlu penelitian lebih lanjut! Ini menunjukkan bahwa tarian seudati berasal dari kesenian dakwah pada mulanya

Untuk itu, pihak penguasa tidak segan-segan mengeluarkan uang beratusratus ringget Aceh waktu itu.
Karena kemasyhuran suatu grup seudati, sangat tergantung kepada ketangkasan aneuk seudati (anak seudati), maka usaha mendapatkan aneuk seudati yang betulbetul memenuhi syarat, bisa membuat para pengiring uleebalang pusing tujuh keliling.
Orang tua yang memiliki anak yang memenuhi syarat sebagai pemain seudati, sering dibujuk untuk merelakan anaknya main seudati.
Bila gagal dengan bujukan, sampai- sampai anak itu diculik dan disembunyikan dalam menjalani latihan seudati.
Menghadapi hal demikian, para orang tua juga pasang ancang-ancang.
Di antaranya, si anak dikirim ke tempat saudaranya yang jauh atau diantar anaknya ke dayah/ pesantren yang teungkunya disegani oleh uleebalang.
Baca juga: Komunitas Saleum Latih Aneuk Syahi Seudati dan Gelar Arisan Seni
Keengganan orang tua ini disebabkan beberapa hal.
Sebagian orang menganggap tarian seudati itu tidak dibenarkan Islam.
Tapi bila kita simak penuturan para sesepuh yang masih hidup, keberatan itu dikarenakan latihan/pelajaran main seudati cukup berat bagi anakanak.
Misalnya, anak-anak itu diseumpom lam kulam (dicemplungkan ke kolam) pada tengah malam agar badannya bisa dilenturkan sewaktu bermain.
Pantangan makan jenis makanan tertentu juga amat ketat.
Biasanya, dari keluarga- keluarga miskin dan janda sajalah yang mudah diperoleh anak-anak calon pemain seudati.
Seudati menonjolkan semangat dalam keserasian geraknya.
Bagi orang yang baru pertama kali menonton seudati; mungkin jantungnya dag-dig-dug, karena menyaksikan gerakan para pemain terus-menerus selang- seling pindah posisi.
“Tidakkah mereka bertubrukan sesamanya?” begitu desah hati penonton yang pertama kali menyaksikan seudati.