Breaking News

Jurnalisme Warga

Seudati, Tarian Perang yang Semakin Langka

Hal ini perlu penelitian lebih lanjut! Ini menunjukkan bahwa tarian seudati berasal dari kesenian dakwah pada mulanya

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Seudati, Tarian Perang yang Semakin Langka
IST
T.A. SAKTI, Penerima Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara tahun 2003, melaporkan dari Banda Aceh

OLEH T.A. SAKTI, Penerima Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara tahun 2003, melaporkan dari Banda Aceh

SEUDATI berasa dari kata syahadati atau “syahadatain’’, yang artinya dua kalimah syahadat (Asyhadualla ilahaillallah wa asyhaduanna Muhammadar rasallullah).

Benarkah demikian? Hal ini perlu penelitian lebih lanjut! Ini menunjukkan bahwa tarian seudati berasal dari kesenian dakwah pada mulanya.

Namun, setelah berkembang, akhirnya seudati menjadi tarian hiburan yang sangat disenangi masayarakat Aceh tempo dulu.

Grup seudati Syeh Muktar Geudong Alue, Kota Juang binaan Sanggar Meuligoe Jeumpa, Bireuen tampil pada malam puncak Anugerah Bupati Bireuen pada Selasa (21/12/2021) malam.
Grup seudati Syeh Muktar Geudong Alue, Kota Juang binaan Sanggar Meuligoe Jeumpa, Bireuen tampil pada malam puncak Anugerah Bupati Bireuen pada Selasa (21/12/2021) malam. (Dok: Humas Pemkab Bireuen)

Kesenangan masyarakat Aceh masa lampau menonton seudati, tidak kalah tangguhnya, seperti masyarakat Jawa--tempo doeloe--menonton wayang atau ketoprak.

Sampai pagi pun mata melek terus.

Sebuah hadih maja (pepatah Aceh) menyebutkan, "Kuleumbu mirah panyot kawi, peunajoh timphan piasan seudati (Kelambu merah lampu tanah kawi, makanan timphan, hiburan seudati).

Anekdot lainnya, yang menunjukkan batapa populernya tarian seudati di kalangan masyarakat Aceh, pernah diceritakan orang begini: Pada suatu petang seorang istri mengajak suaminya nonton seudati yang diadakan di sebuah kampung pada malam hari.

Karena sang suami kebetulan hari itu kanker (kantong kering), ia menolak ajakan si istri.

Mertua pun kadang ikut campur.

Baca juga: Seudati Meriahkan Malam Puncak Anugerah Bupati Bireuen, First Lady Bireuen Nyanyikan Lagu Kemesraan

Baca juga: Tim Tari ISBI Aceh Pukau Pengunjung Dubai Expo 2020, Tampilkan Rapa-i Geleng, Seudati Hingga Saman

Akibat sudah jengkel, sang mertua langsung mengajari putrinya: Tika bek kaleueng panyot bek katot, bah jiduek lam seupot agam ceulaka! (Tikar jangan digelar, lampu tak usah dinyalakan, biar dalam kelam lelaki celaka).

Sambil menggulung kembali tikar yang telanjur sudah digelar, si istri lalu meupansie/ berceloteh,"Meubuleuen- buleueen neupojoh gaji, meupeng sitali han ek neupeuna?( Berbulan-bulan Abang makan gaji, uang setali apa mungkin nggak ada?) Di saat demikian, kalau salah-salah meladeni sang istri, terutama yang pengantin baru, hubungan rumah tangga bisa retak karena keinginan nonton seudati tidak terpenuhi.

Sebelum tahun '40-an, tarian seudati pernah menjadi tarian kebanggaan sang penguasa.

Setiap uleebalang mempunyai grup seudati masing- masing.

Mereka, bahkan bersaing untuk memiliki pemain-pemain seudati yang andal.

Untuk itu, pihak penguasa tidak segan-segan mengeluarkan uang beratusratus ringget Aceh waktu itu.

Karena kemasyhuran suatu grup seudati, sangat tergantung kepada ketangkasan aneuk seudati (anak seudati), maka usaha mendapatkan aneuk seudati yang betulbetul memenuhi syarat, bisa membuat para pengiring uleebalang pusing tujuh keliling.

Orang tua yang memiliki anak yang memenuhi syarat sebagai pemain seudati, sering dibujuk untuk merelakan anaknya main seudati.

Bila gagal dengan bujukan, sampai- sampai anak itu diculik dan disembunyikan dalam menjalani latihan seudati.

Menghadapi hal demikian, para orang tua juga pasang ancang-ancang.

Di antaranya, si anak dikirim ke tempat saudaranya yang jauh atau diantar anaknya ke dayah/ pesantren yang teungkunya disegani oleh uleebalang.

Baca juga: Komunitas Saleum Latih Aneuk Syahi Seudati dan Gelar Arisan Seni

Keengganan orang tua ini disebabkan beberapa hal.

Sebagian orang menganggap tarian seudati itu tidak dibenarkan Islam.

Tapi bila kita simak penuturan para sesepuh yang masih hidup, keberatan itu dikarenakan latihan/pelajaran main seudati cukup berat bagi anakanak.

Misalnya, anak-anak itu diseumpom lam kulam (dicemplungkan ke kolam) pada tengah malam agar badannya bisa dilenturkan sewaktu bermain.

Pantangan makan jenis makanan tertentu juga amat ketat.

Biasanya, dari keluarga- keluarga miskin dan janda sajalah yang mudah diperoleh anak-anak calon pemain seudati.

Seudati menonjolkan semangat dalam keserasian geraknya.

Bagi orang yang baru pertama kali menonton seudati; mungkin jantungnya dag-dig-dug, karena menyaksikan gerakan para pemain terus-menerus selang- seling pindah posisi.

“Tidakkah mereka bertubrukan sesamanya?” begitu desah hati penonton yang pertama kali menyaksikan seudati.

Menyaksikan tingkah laku gerakan, tarian seudati dapat disebut tarian perang atau tarian pahlawan.

Dengan menepuk dada dan petik jari (keutrep jaroe), mereka menggambarkan bagaimana ketangkasan serta keberanian putra-putri Aceh ketika melawan serdadu Portugis -Belanda tempo dulu.

Baca juga: Nagan Juara Festival Seudati

“Na katuri kee, meunye beuhe tajo keunoe (Inilah aku, kenalkah kamu? Kalau berani maju ke sini!) Itulah gambaran keberanian yang tersirat ketika pemain menepuk dada (peh dada) secara serentak.

Gema dari peh dada, keutrep jaroe (petik jari) dan entakan kaki di lantai pentas/ panggung, membikin suasana tarian seudati riuh rendah bersemangat.

Menyebabkan mata si penonton terbelalak sepanjang malam.

Dari kata-kata panggilan sesama pemain, dapat disimpulkan bahwa tarian seudati merupakan lukisan kehidupan sebuah keluarga dari masyarakat Aceh yang sering menghadapi banyak tantangan.

Walaupun banyak rintangan anggota keluarga tidak pernah putus asa, jalan pemecahan problema tetap dicari.

Anggota pemain menyebut syekh (pimpinan) sebagai ayah, dua anak seudati memanggil pemain lainnya sebagai aduen (abang), sebaliknya keduanya di sebut adoe (adik).

“Pakriban keu lon aduen e, hom hai adoe boh hate, watee lon pike hanco lam dada”.

“Bak pi-e tan peng di dalam jaroe, supot lam nanggroe peungeuh lam rimba” (Bagaimana nasib saya hai abangku, aku nggak tahu wahai adinda, kalau terus kupikirkan luluh rasanya hati kakanda.

Akibat tak punya uang di tangan, gelap dalam negeri terang dalam rimba).

Bermacam jenis lagu serta irama dapat dibawakan dalam tarian seudati, baik dalam bahasa Aceh, bahasa Indonesia dan India.

Demikian pula iramanya, sejak irama dangdut, keroncong, padang pasir atau Hindustan.

Kisah dari lagu-lagu tersebut juga bervariasi.

Baik tentang perubahan zaman, mendorong rakyat membangun, lukisan keindahan alam, kehidupan rakyat, mengkritik pemimpin yang tidak becus, dan sebagainya.

Kemerduan suara pemain menentukan daya tarik bagi lagu-lagu yang disenandungkan.

Tarian seudati diadakan pada malam hari.

Yang ditampilkan paling kurang dua grup seudati sekali pertunjukan.

Antara kelompok itu diadakan pertandingan (seudati tunang) .

Permainannya ditampilkan secara giliran.

Kemenangan ditentukan atas kesanggupan menangkis serangan atau tuduhan yang dilontarkan pihak lawan.

Ketika ternyata hantaman balasan tepat sekali ataupun konyol; tepuk tangan penonton pun bergemuruh.

Dulu, banyak kampung di Aceh yang punya grup seudati.

Seluruh rakyat kampung secara langsung jadi anggota tarian itu.

Sedangkan dewan yang melindungi lembaga seudati terdiri atas semua tokoh desa yang digelar “tuha seudati" (tetua seudati).

Tidak heran, kalau dulu di Aceh banyak sekali umong seudati (sawah seudati) yang hasilnya digunakan untuk modal mengembangkan tarian ini.

Petak sawah tersebut biasanya sumbangan dari uleebalang (penguasa) atau hadiah orang kaya yang “fanatik” seudati.

Sekitar akhir tahun '60-an dan dan awal tahun '70-an, beberapa grup seudati cukup terkenal di Aceh.

Kepopulerannya bukan hanya di daerah, bahkan pernah dipertunjukkan di Jakarta (Istana Merdeka) dan luar negeri.

Di antara sekian banyak grup seudati itu tersebutlah Seudati Syeh Ampon Ma’e, Syekh Lah Bangguna, Syekh Lah Geunta, dan Syekh Rasyid Bireuen (Kesemuanya dari kabupaten Aceh Utara/Bireuen).

LSedangkan dari Kabupaten Pidie yang juga terkenal di daerah sekitarnya, yaitu Seudati Syekh Dawod Tongpudeng dan Seudati Syekh Maun Kunyet, (Padang Tiji).

Kenyataannya sekarang, semua grup seudati yang pernah melangit namanya itu; kini telah lenyap dari peredaran.

Entah kapan muncul pengganti yang sepadan.

Baca juga: Mulai Besok, Sejumlah Sanggar dari Berbagai Daerah akan Meriahkan Festival Seudati di Taman Budaya

Baca juga: Disbudpar Gelar Festival Seudati se-Aceh, Ini Jadwal dan Hadiahnya 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved