Kupi Beungoh
Tarhib Ramadhan dan Khanduri Makmeugang Woyla Raya
Nah di Woyla, ada tradisi makmeugang juga sama dengan daerah lain di Aceh, namun yang membuat berbeda adalah, ada khanduri makmeugang di setiap rumah.
Oleh: Rustami, ST
SERAMBINEWS.COM - Allah Subhanallahu Ta’ala menciptakan bangsa manusia terdiri dari berbagai suku dan bangsa, beraneka ragam warna kulit dan rambut serta ragam pula cita rasa dan budaya dalam kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
Semua itu berhikmah menjadi indenditas bagi kaum itu sendiri agar mudah dalam identifikasi dan pengenalan dalam pergaulan secara global.
Tidak bisa dibayangkan, jika manusia Allah ciptakan semuanya sama, sungguh sangat terkendala bagi kita ketika berinteraksi antar sesama karena terlalu identik dalam warna kulit, rambut dan hal lain yang bersifat sama.
Diantara 8 milyar lebih umat manusia sekarang, ada 2 milyar yang menganut agama islam, dan adalah Indonesia sebagai Negara terbesar pemeluk agama islam.
Dan dari semua provinsi di nusantara, hanya provinsi Aceh yang mempunyai legalitas dalam menjalankan syariat dalam secara kaffah.
Berbicara Aceh, tentu juga ada sejumlah daerah yang unik dengan suku, bahasa, adat istiadat dan budayanya.
Diantara yang unik adalah Woyla, Woyla adalah salah satu dari dua belas kecamatan di Bumi Teuku Umar, Kabupaten Aceh Barat.
Woyla adalah kecamatan induk, yang kini telah mekar menjadi Woyla Timur dan Woyla Barat.
Nah di Woyla, ada tradisi makmeugang juga sama dengan daerah lain di Aceh, namun yang membuat berbeda adalah, ada khanduri makmeugang di setiap rumah.
Dulu, sejak saya kecil sampai akhir tahun 2000-an, tradisi khanduri makmeugang masih sangat kentara.
Ketika minus tiga hari menjelang puasa Ramadhan, biasa para Teungku Meunasah, Teungu Sagoe dan Teungku Imum masjid, membagi beberapa kelompok karena saking banyaknya kenduri.
Satu kelompok minimal 15 orang, maksimal 30 orang. Uniknya dulu, masa kecil penulis, belum ada listrik di Woyla, kami berjalan kaki menyulusuri perkampungan penduduk dengan pakai lampu culot atawa seunte.
“Pasukan pemburu” khanduri makmeugang memang rata-rata dari anak-anak, remaja dan orang tua.
Dan tidak ada anak perempuan, karena sering sampai tengah malam.
Yang “diburu” oleh anak-anak adalah peung ideukah, kalau daging, leumang, tapee dan leupek atau timphan, memang sudah over kapasiti perut karena mulai dari pagi sampai tengah malam.
Bayangkan, apalagi sempat tiga hari makmeugang.
Hakikatnya khanduri makmeugang ini adalah tarhib Ramadhan (menyambut puasa), di Woyla kenduri ini ini bertujuan agar fakir miskin dan kaum dhuafa merasakan juga daging yang terkadang ada setahun sekali makan daging.
Juga untuk samadiah kepada arwah ahlu bait yang menyediakan khanduri.
Khanduri juga sangat bermanfaat untuk mensuplai protein dan nutrisi untuk tubuh agar sehat dan kuat menghadapi puasa disiang hari sebulan penuh.
Mulai tergerus
Tradisi dan budaya lokal itu ulai tergerus oleh budaya jak u pante, awal tahun 2000-an para pemuda dan remaja sudah mulai meninggalkan kebiasaan baik ini.
Bahkan sudah mulai ikut budaya import, muda mudi boncengan dengan teman pria-wanitanya.
Apalagi di tahun 2022 ini sudah sangat jarang ada khanduri makmeugang, disamping harga daging sangat tidak terjangkau, juga tradisi baik ini mulai memudar.
Kita berharap, ada kepekaan sosial dan kepedulian akan adat istiadat dari lembaga otoritas yang dalam hal ini ada Majlis Adat Aceh (MAA) dan juga MPU serta para tokoh adat dan tokoh masyarakat untuk kembali menghidupkan budaya mulia berupa tarhib Ramadhan.
Bukankah kita sering bilang dalam narit madja, “Mate aneuk mupat jeurat, mate adat, hana
pat mita.”
*)Penulis Rustami ST adalah warga asal Glee Siblah, Kecamatan Woyla, Aceh Barat, juga Ketua Paguyuban- Woyla Meutaloe Wareh (WMW).
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis