Ramadhan Mubarak
Shalat Tarawih dan Shalat Malam (5)
Pada kesempatan ini, sebagai rangkaian terakhir dari tulisan tentang shalat malam (Tarawih), penulis akan menguraikan beberapa hal
Oleh Prof Dr Al Yasa’ Abubakar MA, Guru Besar UIN Ar-Raniry
Pada kesempatan ini, sebagai rangkaian terakhir dari tulisan tentang shalat malam (Tarawih), penulis akan menguraikan beberapa hal tentang shalat Tarawih setelah Rasulullah wafat.
Dalam sebuah hadis yang dituturkan Aisyah dan dirawikan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan an-Nasa’i disebutkan, Rasulullah pada bulan Ramadhan pernah mengerjakan shalat malam di masjid, lalu banyak jamaah yang mengikutinya.
Pada malam berikutnya lebih banyak lagi orang yang ikut menjadi makmum.

Pada malam ketiga, para Sahabat menunggu Nabi untuk shalat malam berjamaah, tapi beliau tidak datang ke masjid.
Besoknya beliau bersabda, saya tahu apa yang kalian kerjakan semalam.
Sebetulnya tidak ada yang mengahalangi saya untuk shalat bersama kalian.
Tapi saya khawatir shalat ini akan diwajibkan atas kalian (dianggap wajib oleh kalian).
Dalam kisah lain, Abdurahman bin `Abdul Qari’ menuturkan bahwa dia pada suatu malam di bulan Ramadhan pernah datang ke Masjid bersama Khalifah Umar bin al-khaththab.
Baca juga: Shalat Tarawih dan Shalat Malam (2)
Baca juga: Shalat Tarawih dan Shalat Malam (3)
Mereka melihat orang-orang menunaikan shalat Tarawih secara terpencar-pencar.
Ada yang menunaikannya sendiri-sendiri, dan ada yang berjamaah tetapi hanya dengan beberapa orang makmum.
Lalu, Umar berkata, sekiranya semua orang ini saya perintahkan untuk shalat hanya dengan satu jamaah (satu imam) tentu akan lebih baik.
Pada akhirnya beliau perintahkan agar mereka yang di masjid membentuk satu jamaah saja dangan imam Ubay bin Ka`ab.
Beberapa waktu setelah itu, Umar datang lagi dan dia melihat semuanya shalat dengan satu imam (hanya ada satu jamaah).
Lalu, Umar berkata ini merupakan bid`ah yang baik, tetapi mereka yang tidur terlebih dulu (lalu shalat di akhir malam) lebih utama dari mereka yang shalat sekarang (langsung setelah shalat Isya).
Kisah ini dirawikan oleh al-Bukhari, Ibnu Khuzaimah al-Baihaqi dan beberapa rawi lainnya.
Setelah ini, para Sahabat berdiskusi tentang berapa panjang ayat yang akan dibaca imam dalam shalat berjamaah di masjid pada setiap malam, yang dianggap sedang (tidak panjang dan tidak pendek).
Baca juga: Shalat Tarawih dan Shalat Malam (4)
Pada akhirnya mereka sepakat untuk membaca Al-qur’an sekali tamat dalam shalat Tarawih selama Ramadhan.
Ketika kuliah di Al-Azhar, penulis mendapat penjelasan lisan inilah alasan untuk membagi Al-qur’an kepada tiga puluh juz.
Artinya, setiap malam dibaca satu juz (seperdua puluh juz pada setiap rakaat) dan kalau Ramadhan hanya 29 hari maka pada malam terakhir dibaca dua juz.
Setelah ini, pada masa kekhalifahan Usman bin `Affan, beliau merasa membaca seperdua puluh juz dalam satu rakaat terlalu melelahkan.
Untuk itu, beliau mempersingkat bacaan, setiap rakaat membaca satu paragraph (satu masalah), yang belakangan disebut satu ruku` (satu `ayn).
Dengan demikian pada masa Usman shalat tarawih tidak lagi 20 rakaat setiap malam, tetapi bertambah menjadi paling banyak 36 rakaat, disesuaikan dengan jumlah ruku` pada juz tersebut.
Tapi, ada riwayat lain, pertambahan rakaat di Madinah bukan karena lelah berdiri, tapi untuk mengimbangi pahala shalat Tarawih di Masjid Haram Mekkah.
Mereka melakukan thawaf setiap selesai empat rakaat shalat.
Satu thawaf dianggap sama dengan empat rakaat.
Maka empat kali thawaf sama dengan 16 rakaat.
Adapun pembagian setiap juz kepada delapan bagian dilakukan untuk shalat Tarawih delapan rakaat dengan dua salam.
Setiap juz dibagi mejadi dua hizb (dua kali salam), dan setiap hizb dibagi menjadi empat (rubu` hizb), seperempat hizb untuk satu rakaat (satu juz delapan rubu`).
Mazhab Hanafiah, Syafi`iah, dan Hanabilah menganjurkan shalat Tarawih 20 rakaat setiap malam di tambah witir tiga rakaat, sedang mazhab Malikiah menganjurkan 36 rakaat ditambah witir 3 rakaat.
Sedangkan shalat sebelas rakaat tidak merupakan pendapat mayoritas di dalam mazhab, tapi dikemukakan oleh sebagian ulama saja.
Terlepas dari perbedaan jumlah rakaat, para ulama menganjurkan untuk membaca satu juz Al-qur’an pada setiap malam.
Mudah-mudahan kita terdorong untuk melakukan shalat Tarawih dengan bacaan yang lebih panjang sesuai kemampuan dan kesepakatan, berapapun rakaat yang kita pilih.
Kita tentu akan sangat bersyukur kalau jumlah masjid/meunasah yang mengkhatamkan Al-qur`an dalam shalat Tarawih, semakin bertambah dari yang ada sekarang.
Kalau ada keluhan tidak ada imam yang menghafal Al-qur’an, maka sebelum ini sudah penulis sampaikan, para ulama memberi izin untuk membaca langsung dari Al-qur’an, tidak mesti dari hafalan.
Semoga kita tidak merisaukan jumlah rakaat Tarawih tetapi berusaha untuk memperpanjang bacaannya.
Kalau bacaan di masjid dirasa kurang panjang, maka tambah di rumah seberapa mampu.
Semoga setelah Ramadhan nanti, kita tetap bersemangat mengerjakan shalat malam dengan bacaan Al-qur’an yang relatif panjang.
Menurut penulis, membaca Al-qur’an dan berdoa di dalam shalat tentu lebih afdhal dari membaca atau berdoa di luar shalat.
Wallahu a`lam bish-shawab
Baca juga: Polres Aceh Timur Terjunkan Personel Amankan Shalat Tarawih
Baca juga: Polres Aceh Tengah Buka Gerai Vaksin Usai Shalat Tarawih di Masjid Agung Ruhama