Jurnalisme Warga
Duka Cita Jadi Guru di Madrasah
Setelah menyelesaikan pendidikan aliah, saya melanjutkan pendidikan ke Dayah Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya Samalanga sampai tahu

Takjubnya, ternyata Allah menakdirkan saya lulus.
Rencana awal saya ingin mendaftar di formasi penghulu, tetapi formasi yang tersedia untuk wilayah yang secara geografisnya jauh dari tempat tinggal, lalu saya beralih ke formasi ‘Guru Fikih Ahli Pertama’.
Dari sinilah awal karier saya jadi guru di madrasah dimulai.
Setelah lulus, saya ditempatkan di MTsN 4 Aceh Tengah, berlokasi di Angkup, Aceh Tengah.
Namun, karena kuota guru fikihnya sudah terisi, saya pun dinotadinaskan ke MTsN 6 Aceh Tengah di Desa Pulo, Kecamatan Bintang.
Madrasah ini memiliki satu ruang guru yang tergabung dengan ruang kepala madrasah, sembilan ruang belajar, dan satu ruang lab dengan jumlah siswa 205 orang.
Baca juga: Kemenag Nagan Kirim Bantuan Banjir via Kemenag Aceh Peduli, Sumber dari Pegawai dan Siswa Madrasah
Setelah satu tahun berstatus nota dinas, pada tahun 2020 saya resmi menjadi guru definitif di MTsN 6 Aceh Tengah.
Hari-hari berlalu, apa yang dulu menjadi kekhawatiran yang menjadi alasan utama saya tidak suka menjadi guru sekolah akhirnya benar-benar saya alami.
Saya merasakan perbedaan yang sangat kentara antara mengajar santri di dayah dan mengajar siswa-siswi di madrasah.
Di dayah, para santri sangat menjaga adab dan akhlak kepada gurunya.
Ketika guru masuk kelas, para santri menyambutnya dengan berdiri sebagai bentuk penghormatan dan kemudian berselawat atas Nabi Muhammad saw.
Setelah guru duduk, barulah semua santri duduk kembali.
Tidak sulit memulai belajar di dayah karena para santri memang sudah mempersiapkan diri untuk menerima ilmu dan selama pelajaran berlangsung tidak ada santri yang ribut, tidak ada yang berbicara, tidak ada santri yang mengganggu temannya.
Hampir tak pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh guru.
Singkatnya, mengajar santri di dayah itu sangat mudah dan sangat nyaman.