Jurnalisme Warga

Duka Cita Jadi Guru di Madrasah

Setelah menyelesaikan pendidikan aliah, saya melanjutkan pendidikan ke Dayah Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya Samalanga sampai tahu

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Duka Cita Jadi Guru di Madrasah
FOR SERAMBINEWS.COM
TGK.AZHARI, S.H., alumnus Dayah Mudi Mesra, asal Keramat Mupakat, guru di MTsN 6 Aceh Tengah, melaporkan dari Aceh Tengah

OLEH TGK.AZHARI, S.H., alumnus Dayah Mudi Mesra, asal Keramat Mupakat, guru di MTsN 6 Aceh Tengah, melaporkan dari Aceh Tengah

Setelah menyelesaikan pendidikan aliah, saya melanjutkan pendidikan ke Dayah Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya Samalanga sampai tahun 2018.

Sembari belajar dan mengajar, saya juga menamatkan pendidikan S-1 di Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah dengan mengambil Jurusan Syariah di Prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhsiyyah).

Dari kecil, cita-cita saya adalah ingin menjadi seorang ‘teungku’ yang lebih fokus mengajar kitab-kitab kuneng para ulama salafussaleh.

Karena, dengan cita-cita mulia sejak kecil itulah mungkin mengantarkan saya ke dayah yang sekarang di bawah asuhan Syaikh Hasanul Bashri (Abu Mudi).

Kepala MAN 1 Banda Aceh, Nursiah SAg MPd berpose bersama para siswa peraih medali Olimpiade Sains masional di halaman madrasah, Banda Aceh.
Kepala MAN 1 Banda Aceh, Nursiah SAg MPd berpose bersama para siswa peraih medali Olimpiade Sains masional di halaman madrasah, Banda Aceh. (Kiriman: Amru)

Dahulu, tak pernah terbersit sedikit pun dalam hati saya menjadi guru di sekolah-sekolah umum (madrasah).

Bahkan ketika itu, saya sangat tak suka menjadi guru di sekolah umum, karena saya lihat situasi dan kondisi di sekolah-sekolah umum yang sangat ‘tidak ramah guru’, banyak anak-anak didik yang nakal, dan agak susah diatur menjadi alasan utama saya tidak suka ikut nimbrung di dalamnya.

Namun, terkadang, hal yang tak kita sukai itulah takdir yang terbaik untuk kita.

Dari sini saya belajar satu hal, yakni jalan hidup kita sudah ditentukan Allah.

Kita hanya berencana dan berusaha, tapi pada akhirnya Allah jualah yang memutuskan.

Baca juga: Kemenag Aceh Besar Gelar Bimtek Perpustakaan Madrasah

Baca juga: Kemenag Gayo Lues Verifikasi Calon Madrasah Baru di Kuta Panjang

Setelah menyelesaikan studi sarjana pada Mei 2018, saya berikhtiar untuk ikut tes CPNS Kementerian Agama.

Sebelumnya, saya juga tidak berminat menjadi pegawai, tetapi atas ajakan seorang kakak, akhirnya saya setujui.

Meski begitu, saya tak menduga akan bisa lulus tes, karena dalam mindset saya untuk jadi PNS itu sangatlah sulit.

Tidak cukup mengandalkan kemampuan, tetapi juga mesti ada “orang dalam” dan juga dana yang tidak sedikit.

Kakak saya menjelaskan bahwa tes CPNS sekarang tidak ada celah untuk curang karena menggunakan sistem computer assisted test (CAT).

Takjubnya, ternyata Allah menakdirkan saya lulus.

Rencana awal saya ingin mendaftar di formasi penghulu, tetapi formasi yang tersedia untuk wilayah yang secara geografisnya jauh dari tempat tinggal, lalu saya beralih ke formasi ‘Guru Fikih Ahli Pertama’.

Dari sinilah awal karier saya jadi guru di madrasah dimulai.

Setelah lulus, saya ditempatkan di MTsN 4 Aceh Tengah, berlokasi di Angkup, Aceh Tengah.

Namun, karena kuota guru fikihnya sudah terisi, saya pun dinotadinaskan ke MTsN 6 Aceh Tengah di Desa Pulo, Kecamatan Bintang.

Madrasah ini memiliki satu ruang guru yang tergabung dengan ruang kepala madrasah, sembilan ruang belajar, dan satu ruang lab dengan jumlah siswa 205 orang.

Baca juga: Kemenag Nagan Kirim Bantuan Banjir via Kemenag Aceh Peduli, Sumber dari Pegawai dan Siswa Madrasah

Setelah satu tahun berstatus nota dinas, pada tahun 2020 saya resmi menjadi guru definitif di MTsN 6 Aceh Tengah.

Hari-hari berlalu, apa yang dulu menjadi kekhawatiran yang menjadi alasan utama saya tidak suka menjadi guru sekolah akhirnya benar-benar saya alami.

Saya merasakan perbedaan yang sangat kentara antara mengajar santri di dayah dan mengajar siswa-siswi di madrasah.

Di dayah, para santri sangat menjaga adab dan akhlak kepada gurunya.

Ketika guru masuk kelas, para santri menyambutnya dengan berdiri sebagai bentuk penghormatan dan kemudian berselawat atas Nabi Muhammad saw.

Setelah guru duduk, barulah semua santri duduk kembali.

Tidak sulit memulai belajar di dayah karena para santri memang sudah mempersiapkan diri untuk menerima ilmu dan selama pelajaran berlangsung tidak ada santri yang ribut, tidak ada yang berbicara, tidak ada santri yang mengganggu temannya.

Hampir tak pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh guru.

Singkatnya, mengajar santri di dayah itu sangat mudah dan sangat nyaman.

Selama menjadi guru di madrasah, saya betul-betul merasa bahwa saya sudah keluar dari kebiasaan.

Merupakan sebuah tantangan besar dalam hal kesabaran ketika saya hadapi siswa-siswi yang terkadang belum terlalu siap menerima ilmu ataupun karena ribut dan mengganggu teman saat jam belajar.

Memang tidak semua pelajar seperti itu, sebab ada juga yang serius dan rajin belajar, tapi jika dipersentasekan mungkin sekitar 40 persen yang sadar akan pentingnya ilmu dan berakhlakul karimah.

Dihiasi akhlakul karimah ‘Al-adabu fauqa al-ilmi’, kalam hikmah inilah yang selalu saya coba tanamkan dalam hati pelajar di madrasah.

Saya jelaskan bahwa keberkahan ilmu itu akan didapat dengan menjaga adab dengan guru dan menjaga adab dengan ilmu, juga adab-adab dalam menuntut ilmu lainnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Az-zarnujy dalam kitabnya ‘Ta’liim al-muta’allim thariiqa al-ta’allum’.

Tentunya perjuangan yang besar untuk menanamkan akhlak budi pekerti dan kesadaran akan pentingnya ilmu kepada peserta didik.

Lebih-lebih lagi mereka tinggal di daerah yang kurang perhatian terhadap pendidikan.

Salah satu faktornya, menurut saya, kurangnya perhatian orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya.

Oleh karena itu, ketika diberikan kesempatan khutbah Jumat di Masjid Al-Kawakib, Bintang, saya gunakan momen tersebut menjelaskan kepada para orang tua bahwa kewajiban dalam pendidikan karakter anak bukan hanya tugas guru, tetapi juga kewajiban orang tua selaku ‘madrasah pertama’ untuk anak-anaknya.

Meski tak lagi di dayah, tetapi saya akan berusaha membawakan dimensi kedayahan ke madrasah ini.

Sehingga, anak-anak didik kami nantinya akan jadi orang berilmu pengetahuan luas disertai dengan akhlak yang agung.

Inilah makna yang tersirat dari petuah Abu Mudi di saat saya pamit, “Untuk itulah kita dirikan kampus di dayah agar ilmu dan adab yang kita miliki bisa kita transformasikan ke segala lini, baik di lingkungan masyarakat maupun dalam dunia pendidikan.

” Semoga!

Baca juga: Peringati HAB, Guru Madrasah dan Kankemenag Bireuen Gelar Olahraga Ceria

Baca juga: Tiga Siswi Madrasah asal Aceh Juara Myres Super Camp Nasional 2021

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved