Kupi Beungoh
Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (XXI) - Putin Mengecoh Amerika vs Putin Penjahat Perang
Harapan terbesar AS kini sangat tergantung kepada Uni Eropa, dan kemampuan berbaik baik dengan Iran dan Venuezela.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
PIKIRAN awam tentang perang seringkali hanya terfokus pada manusia dan berbagai mesin yang berhadapan, saling membunuh dan menghancurkan, yang diakhiri dengan menguasai.
Tragedi bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada pertengahan abad ke 20 adalah contoh nyata bagaimana pihak yang menang, yakni AS dan sekutu memperlakukan pihak yang kalah, yaitu Jepang, Jerman, dan Italia, dengan berbagai bentuk penguasaan.
Di sebalik wajah lapangan perang fisik, ada pula berbagai perang lain, seperti perang propaganda, perang ekonomi, dan berbagai bentuk tindakan lain, baik yang langsung maupun yang tidak langsung, yang tujuan, melemahkan musuh, dan akhirnya mengalahkannya.
Berbagai wajah perang itu kini sedang terjadi dalam perang Ukraina, mulai dari sanksi ekonomi, penggiringan narasi dan opini internasional, dan bahkan berbagai sabotase intelijen yang sangat canggih.
Tidak jarang pula berbagai perang nonfisik itu dipadukan, sehingga menimbulkan efek ganda yang kekuatannya melebihi kekuatan perang yang menggunakan senjata canggih terbaru sekalipun.
Kejadian terakhir misalnya, apa yang sedang dilakukan oleh AS pada hari ini yakni menggabungkan sanksi ekonomi, dengan perang narasi dan propaganda di seluruh dunia, tentang pentingnya menghukum Rusia yang telah melakukan agresi ke Ukraina.
Upaya ini diharapkan akan melemahkan Rusia secara keuangan, persepsi publik internasional, dan bahkan pandangan rakyat Rusia sendiri terhadap pemerintahnya.
Salah satu upaya AS untuk memaksa Rusia menghentikan invasinya ke Ukraina, paling kurang menyetujui untuk sebuah penghentian kekerasan awal untuk menuju kepada sebuah perundingan antara kedua pihak sedang dilakukan.
Seperti diketahui Rusia adalah produsen terbesar energi dunia yang terdiri dari minyak bumi, gas alam, dan batubara.
AS ingin agar dunia menghentikan membeli semua komoditi itu dari Rusia, sehingga Rusia tidak akan mampu membiayai tindakan agresi dan pendudukannya di wilayah Ukraina.
Bagi Rusia, ketiga komoditi itu adalah sumber pendapatan terbesar, dan dengan demikian juga menjadi sumber pembiayaan terbesar negara.
Apalagi ketika keputusan invasi Ukraina dimulai, ibarat operasi besar di rumah sakit, maka minyak bumi dan gas alam, dan sampai tingkat tertentu batu bara, adalah ibarat sumber darah segar yang akan menentukan hidup matinya peperangan itu.
Apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan untuk membuat cadangan darah segar itu tak berfungsi adalah mengajak dan menyerukan kepada masyarakat internasional untuk tidak membeli minyak dan gas Rusia.
AS berharap, bila penerimaan uang minyak dan gas bumi itu terhenti, hal itu akan membuat “mesin perang” Putin, mati, tak bergerak, dan bahkan akan membahayakan Putin sendiri, terutama oleh lawan politiknya, di dalam negeri.
Sampai dengan saat ini misalnya AS dan sekutunya telah berhasilkan mengamankan dan membekukan senilai 300 miliar dollar uang milik pemerintah Rusia, dalam bentuk emas, mata uang asing, dan berbagai surat berharga keuangan di luar negeri.
Menurut the Atlantic Council GeoEconomics Center (Maret 2022) negara-negara yang telah berhasil ditemukan dan dibekukan cadangan kekayan Rusia di luar negeri tersebar di Perancis, 15,6 persen, Jepang 12,8 persen, Jerman, 12,2 persen, Amerika Serikat, 8,5 persen, dan Inggris 5.8 persen.
Cadangan keuangan Cina sebesar 6,4 persen.
Angka 300 miliar dollar yang dibekukan itu adalah setengah dari jumlah cadangan keuangan Rusia yang belum diketahui, dan tidak termasuk pula jumlah yang tidak mau dibekukan oleh Cina, lebih dari 106 miliar dolar.
Terlepas dengan segala kehebatan dan kelihaiannya, namun Putin kali ini abai berhitung tentang kemampuan intelejen keuangan AS yang mampu mencium dan mencari jejak simpanan sumber keuangan Rusia yang memang dipersiapkan Putin sebelum perang dimulai pada akhir Febuari lalu.
Adalah mustahil dan tidak mungkin bagi AS dan sekutu NATOnya berhadapan langsung dengan Rusia di Ukraina, sekalipun kejatuhan Ukraina ke tangan Rusia kali ini akan menjadi permainan “domino” baru Rusia.
Yang dimaksud adalah bahwa kejatuhan Ukraina ke tangan Rusia akan memperkuat tekad Rutin untuk mengambil kembali satu per satu bekas negara Uni Soviet yang telah masuk dalam “klub barat”, seperti Lithuania, Estonia, Latvia, dan bahkan Moldova.
Tidak berlebihan untuk menyebutkan mimpi besar Putin adalah mengusir AS keluar dari Eropa, paling kurang mengusir AS keluar dari sejumlah negara bekas staelit Rusia di Eropa Timur seperti Romania, Polandia, Hungaria, dan sejumlah eks negara bekas Yoguslavia.
Dan itu adalah mimpi buruk AS dan NATO, berikut sejumlah sekutunya di Asia dan Australia.
Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (XX) - Bambel, Blang Pandak, Starlink, dan Maxar
Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (XIX) - Stratak Putin, PAHE, dan Cot Kafiraton
Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (XVIII) - Ukraina, Puasa, dan Panteraja yang Menderita
Ketakutan Finlandia dan Swedia, Kegusaran AS
Perkembangan baru yang sangat terasa adalah keinginan Finlandia dan Swedia yang bahkan bukan bekas negara Uni Soviet yang dalam dua minggu terakhir telah menyatakan keinginannya untuk bergabung menjadi anggota NATO.
Ini adalah sesuatu yang tidak biasa, karena dalam suasana perang dingin yang sangat kritis pun Finlandia dan Swedia menghindari untuk berpihak.
Dalam kurun waktu lebih dari 45 tahun, kedua negara yang berbatasan dengan Uni Soviet memilih sikap netral, tidak berpihak ke blok Barat di bawah kepemipinan AS, ataupun blok Timur di bawah kepemimpinan Uni Soviet.
Namun, ketakutan terhadap sikap Putin yang sukar diprediksi telah membuat elite di kedua negara berkeputusan untuk bergabung dengan NATO.
Sikap elite itu telah diperkuat pula oleh sejumlah survei yang melaporkan kuatnya dukungan rakyat kedua negara untuk bergabung dengan AS dan sekutunya.
Pihak Rusia melalui orang dekat Putin, bekas presiden Rusia, Medvedev, telah memberi peringatan kepada Swedia dan Finlandia untuk siap menanggung resiko jika hal itu dilakukan.
Apa yang menjadikan AS gusar saat ini adalah definisi kemenangan Rusia di Ukraina ditampilkan secara ganda di hadapan publik dunia.
Tampilan pertama plan A untuk menguasai ibu kota Kiev, menduduki Ukraina, meggantikan pemerintahan, kini telah dirobah menjadi plan B, yakni menguasai Ukraina Timur dan Selatan.
Bisa saja itu terjadi karena Rusia gagal dengan plan A, tetapi dengan plan B ini Rusia yang sedikit lagi upayanya, dan jika berhasil akan membuat Ukraina mati kutu, karena praktis seluruh pesisirnya akan terkunci dan dikuasai Rusia.
Kota Mariupol yang merupakan salah satu kota penghubung moda transportsi laut, kini telah dikepung Rusia, dan praktis seluruh jalur masuk ke luar kota telah terkunci.
Secara teori ini hanya persoalan menunggu hari, kapan kota ini akan jatuh dan dikuasai oleh Rusia.
Ultimatum telah diberikan kepada petempur Ukraina di dalam kota oleh Rusia, namun pihak Ukraina tetap tidak mau menyerah.
Target terakhir Rusia di Timur setelah Mariupol adalah masuk ke kota paling Selatan, Odessa, yang merupakan pelabuhan terbesar Ukraina dan sekaligus menutup semua pesisir Ukraina, di laut Azov dan setengah laut Hitam.
Jika Rusia berhasil menguasai Odessa, praktis semua kawasaan itu akan menjadi “danau” milik Rusia dan menjadikan Ukraina sebagai “landlock country”- negara yang tidak terkoneksi dengan laut.
Bayangkan saja skenario Indonesia, sebagai Rusia, dan Malaysia sebagai Ukraina. -tidak sangat sama, Rusia -Ukraina 18 km, Pesisir Sumatera -Pulau Penang 1.604 kilometer. Indonesia merampas Penang- Crimea, lalu merambah ke daratan seperti Rusia lakukan terhadap Ukraina hari ini.
Merampas Pulau Pinang, kemudian menguasai Singapura dan pesisir Barat Malaysia sampai Kedah akan menjadikan Indonesia secara total menguasai pesisir barat Malaysia yang akan bergabung dengan pesisir di seberangnya Sumatera.
Bukankah dengan demikian Selat Melaka akan menjadi danau besar milik Indonesia- kecuali dibatasi oleh hukum laut internasional.
Sekiranya Malaysia tidak mempunyai pesisir Timur Kelantan dan Terengganu, Pahang, dan Johor maka Malaysia akan menjadi “landlock country” seperti imajinasi Putin terhadap Ukraina.
Pekerjaan besar blok Barat hari ini adalah mengagalkan plan B Putin, dengan berbagai cara.
Perang terbuka adalah sesuatu yang sangat dihindarkan, walaupun jika keadaan kritis, bukan tidak mungkin kekuatan angkatan laut NATO akan memasuki Laut Hitam, mungkin dengan membawa mandat PBB untuk memblokade Rusia mengempur Ukraina dari laut.
Dan hal itu akan memudahkan Rusia, karena perbandingan kekuatan militer Rusia vs Ukraina hari ini adalah 10:1, baik dari personel, alat, dan bahkan anggaran pertahanan.
Apa yang dilakukan oleh AS hari ini, dengan satu atau lain cara adalah menghentikan pembelian minyak bumi dan gas alam Rusia itu, pertama oleh sekutu AS, dan juga bahkan masyarakat internasional.
Dan ini menjadi dilema tersendiri bagi AS, karena kondisi sumber daya energi AS sangat berbeda dengan apa yang dimiliki Eropa, Jepang, dan beberapa mitra AS lainnya.
Produsen terbesar minyak dunia hari ini adalah Saudi Arabia, Rusia, dan AS.
Pada tahun 2021, dari minyak bumi saja Rusia memperoleh pendapatan sekitar 110 miliar dollar, dua kali lebih banyak dari nilai ekspor gas alamnya yang benilai sekitar 55 miliar dolar.
Dari jumlah produksi minyaknya 11 juta barel per hari, Rusia menggunakan sekitar setengahnya, dan selebihnya mengekspor antara 5-6 juta barel per hari.
Pembeli minyak bumi dan gas Rusia tersebar di seluruh dunia, terutama negara-negara maju, mulai dari seluruh negara Uni Eropa, bekas negara-negara Uni Soviet, Cina, India, dan bahkan, walaupun jumlahnya tidak sangat besar, AS.
Alasan AS mengimpor minyak dari Rusia adalah untuk memenuhi kebutuhan nasionalnya yang sangat besar.
Seruan AS kepada Saudi Arabia dan Uni Arab Emirat untuk meningkatkan jumlah produksi minyak belum, bahkan tidak mendapat respons sampai dengan hari ini.
Cina tetap saja membeli minyak dan gasnya dari Rusia, bahkan sedang mempersiapkan skenario untuk mengurangi pembeliannya dari Timur Tengah, seandainya skenario sanksi ekonomi AS, terutama penghentian pembelian komoditi energi diterapkan oleh negara-negara Uni Eropa.
India sudah menyatakan dengan terang-terangan menyebutkan, bukan hanya persoalan tetap membeli, bahkan membeli dengan lebih banyak lagi jika itu diperlukan.
AS lupa bahwa walaupun India kini sudah berkoalisi dengan AS, Australia, dan Inggris untuk menghadapi Cina di kawasan Indo Pasifik- Samudera India dan Samudra Pasifik, sebagian besar persenjataan India untuk menghadapi Cina masih menggunakan senjata buatan Rusia.
Ketergantungan India kepada Rusia dalam hal persenjataan dan keberlanjutannya bukanlah persoalan biasa.
Ini adalah dilema India yang tak bisa diselesaikan dalam tempo sehari dua walaupun sudah berkongsi dengan AS, dan sekutunya.
Persoaalan geopolitik kini menjadi lebih panjang, rumit, dan sangat melelahkan.
Kini kawan dan lawan menjadi sangat relatif, karena kepentingan nasional menjadi lebih penting, paling kurang dalam jangka pendek.
Keadaan mungkin menjadi lebih runyam, karena Cina membayar minyak Rusia dengan Yuan yang mudah ditukar oleh Rusia di pasar internasional.
Sementara itu India juga mungkin akan menggunakan Rupee atau bahkan Rubel-mata uang Rusia.
Selanjutnya ada beberapa negara kecil seperti Hongaria yang juga membeli minyak dari Rusia dengan mengguakan Rubel.
Semua kejadian itu kini telah mulai menaikan nilai rubel Rusia terutama dalam dua minggu terakhir.
Baca juga: VIDEO Sosok Shaun Pinner, Tentara Inggris yang Ditampilkan di TV Usai Jadi Tawanan Pasukan Rusia
Baca juga: VIDEO - Ini Dia ‘ALIGATOR’ Helikopter Pengintai Milik Rusia Dijamin Target Hancur
Baca juga: VIDEO - Rusia Luncurkan Serangan Massal, 6.824 Tentara Bayaran Bantu Ukraina
Berharap Pada Iran dan Venezuela
Harapan terbesar AS kini sangat tergantung kepada Uni Eropa, dan kemampuan berbaik baik dengan Iran dan Venuezela untuk melepaskan cadangan minyaknya yang selama ini terkena sanksi AS.
Melunaknya AS terhadap Venezuela dan Iran diharapkan akan membuat kedua negara itu mau mengimbangi produksi minyak Rusia.
Kedua negara yang akan dijadikan lagi “kawan” AS setelah dimusuhi sekian lama, mungkin juga tak akan didengar, karena bagi kedua negara itu, AS adalah pihak yang tidak dapat dipegang dan sering meninggalkan mereka, karena definisi kepentingan nasional AS sering berobah, apalagi dengan perobahan pemerintahan.
Kecuali Inggris yang juga produsen minyak bumi, banyak anggota G7 sekutu AS yang masih tergantung dengan Rusia dalam pemenuhan energi.
Pengurangan 8 persen kebutuhan minyak AS dari Rusia tidak berpengaruh banyak untuk Rusia, akan tetapi jika Jerman, Jepang, dan Italia menghentikan pembeliannya, Rusia berpotensi besar untuk kalang kabut.
Persoalannya kini, energi dari mana negara-negara “penurut” AS itu akan diimport untuk menggantikan minyak dan gas Rusia.
Sebagai catatan 40-45 persen kebutuhan gas Uni Eropa masih bergantung pada Rusia, dan dialirkan dengan pipa melalui Ukraina.
Kontrak itu masih tetap berjalan sampai hari ini.
Berbeda dengan gas yang harus jelas pasarnya, dalam hal minyak bumi ada pasar bebas, persis seperti ibu-ibu membeli kebutuhan pokok sehari hari di Pasar Penanyong Banda Aceh.
Sementara itu negara-negara Uni Eropa menggantungkan kebutuhan minyaknya sekitar 2.5 juta barel per hari dari Rusia.
Jepang juga tergantung 11 persen batu baranya dan juga menjadi satu dari lima besar sumber gas alamnya dari Rusia.
Baru saja satu bulan yang lalu sanksi disebutkan, harga minyak dan gas bumi dunia langsung melonjak, dan itu menciderai ekonomi global, terutama para sekutu AS.
Para sekutu gusar, karena AS punya cukup cadangan energi, baik minyak bumi, gas alam, bahkan batu bara.
Di tengah kenaikan harga itu Rusia kini menawarkan discount 20 persen bagi pembelinya, dan itu segera disambar oleh Cina dan India.
Indonesia-melalui Petamina juga mulai berkeinginan untuk membeli minyak bumi Rusia.
Hanya saja yang kita belum tahu apakah akan cukup kuatkah Indonesia menahan “tekanan” AS dengan berbagai jurusnya untuk menekan Indonesia, sebagaimana kokohnya India dan Cina dalam menghadapinya.
Banyak pengamat meragukan ketangguhan Indonesia untuk menghadapi tekanan itu.
Sekalipun sejumlah sanksi lain sudah mulai berdampak, dalam hal minyak bumi dan gas, sampai hari ini pencarian alternatif minyak dan gas bumi untuk menggantikan komoditi Rusia itu belum tuntas, dan uang untuk mesin perang Putin masih tetap mengalir.
Sekalipun semua anggota NATO mengutuk Rusia, mengirim berbagai alat tempur ke Ukraina, menampung pengungsi Ukriana, membela Ukraina dengan berbagai cara, namun mereka masih saja belum bisa melepaskan diri dari ketergantungannya kepada energi Rusia.
Sebuah analisa dan perhitungan terbaru kini menyebukan, jika hal ini terus berjalan, maka sampai dengan akhir tahun ini Rusia akan mendapatkan pemasukan dari ekspor energinya sekitar 320 miliar dolar.
Dan uang itu akan menjadi darah segar keberlanjutan mesin perang Putin di Ukraina.
Apalagi untuk mengurus wilayah Ukraina Timur Selatan yang nyaris sudah hampir selesai dikuasainya.
Ini artinya NATO dan sejumlah negara “sahabat” AS, akan menjadi lawan tak langsung di medan perang Ukraina, namun menjadi “kawan” dalam membayai Rusia untuk melanjutkan perangnya Putin di tempat yang sama.
Di antara kawan AS yang paling “burek” dan “peurancuet” itu adalah Turki.
Edorgan naik perahu AS, mengutuk agresi Rusia di Ukraina, membeli minyak dan gandum Rusia dan kebutuhan lainnya, membiarkan sejumlah miliarder Rusia tinggal di Istanbul, namun juga menjual drone canggih Bayraktar kepada Ukraina yang membuat tentara Rusia kucar kacir.
Uniknya Turki juga menjadi tempat perundingan perang antara Rusia dan Ukraina yang direstui AS.
Ini adalah sebuah ironi, yang mungkin telah dihitung Putin sebelumnya.
Putin tidak memberikan pilihan bagus musuh utamanya AS, Putin hanya memberikan “dilema” bagi AS yang sangat sukar untuk dipecahkan.
Membiarkan Putin mengambil Ukraina jelas kesalahan yang amat fatal.
Membiarkan Rusia menjadi sumber energi sekutunya di Eropa dan sebagian Asia justru lebih bahaya lagi.
Menghadapi itu, AS kini mengeluarkan truf terbarunya.
Banyak pihak sepakat bahwa setiap perang yang dilancarkan oleh Putin dalam menaklukkan sebuah wilayah, baik dalam kawasan pengaruhnya, maupun di luar negeri seperti di Yordania adalah perang yang brutal, sadis, dan sangat mengerikan.
Dan dengan teknologi informasi digital hal itu kini sedang akan diekploitasi oleh AS untuk melemahkan Rusia.
Berbeda dengan kebrutalan AS yang terus menerus mendapat pengawasan berbagai media nasional ataupun internasional, Putin tidak peduli dengan siapapun ketika ia melaksanakan keinginananya.
Aleppo dan Idlib di Suriah adalah contoh nyata kebrutalan peperangan yang dimotori Rusia, yang menimbukan kematian dan penderitaan masyarakat sipil yang luar biasa, padahal mereka tidak berurusan dengan perang.
Kartu AS kini adalah mulai menuduh langsung Putin sebagai penanggung jawab berbagai tindakan kriminal dalam peperangan di Ukraina.
Narasi dan berbagai bukti kini setiap hari ditayangkan oleh berbagai media internasional tentang kekejaman tentara Rusia di berbagai kota di Ukraina.
Peristiwa kota Bucha dengan mayat bergelimpangan, bahkan dengan mutilasi kepada penduduk sipil kini menjadi pekerjaan baru berbagai lembaga internasional untuk mencari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan tentara Rusia.
Mantan Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown bahkan kini sedang menginisiasi sebuah kelompok kerja pemuka HAM mancanegara utuk pengadilan HAM internasional Ukraina dengan menjadikan Putin sebagai penjahat perang atas dua alasan.
Alasan pertama adalah agresi terhadap negara berdaulat, dan yang kedua adalah tindakan kriminal terhadap penduduk sipil Ukraina tak berdosa.
Tindakan pembunuhan, penganiayan, perkosaan, dan pengusiran paksa adalah basis yang solid yang kini sedang dikumpulkan dan dibangun untuk membuat Putin berpikir dua kali untuk melakukan tindakan brutal yang menjadi kebiasaannya dalam setiap keterlibatan perang Rusia selama ini.
Untuk mengimbangi itu AS dan sekutunya mempersiapkan berbagai tehnologi canggih untuk digunakan oleh tentara Rusia seperti senjata peluncur bahu Javelin untuk menghadapi tank Rusia, yang selama telah menjukkan keampuhannya.
Disamping itu senjata peluncur bahu Stinger juga semakin banyak dikirim untuk melumpuhkan serangan udara Rusia.
Apalagi bebagai jenis drone AS telah pula dikirimkan yang menjadi salah satu senjata yang sangat sulit ditangani oleh Rusia.
Jumlah bantuan terbaru AS itu saja telah mencapai nilai sekitar 2,6 miliar dolar.
Dengan berbagai senjata canggih bantuan AS, dan dengan hanya penggunaan unit kecil tentara Ukraina itu seringkali membuat pihak Rusia frustrasi dalam berperang.
Itu artinya serangan sporadis skala besar dan berat yang menghancurkan berbagai bangunan, infrastruktur, dan permukiman penduduk sipil menjadi pilihan Rusia yang tak terelakkan.
Selanjutnya kemarahan tentara Rusia akibat pertahanan Ukraina yang canggih itu seringkali dilampiaskan kepada “perang mental” terhadap rakyat sipil dengan berbagai penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan.
Dan kini, dengan berbagai teknologi canggih pemintai dan pemindai, apapun kejadian di atas bumi Ukraina membuat Rusia kesulitan untuk melanjutkan kebrutalannya terhadap rakyat sipil.
Sementara itu AS dan sekutunya bersama pemerintah Ukraina memfasilitasisi akses media ke daerah-daerah yang berbahaya sehingga apapun kejadian di lapangan akan masuk ke setiap Android dan berbagai media internasional hanya dalam hitungan detik atau menit.
Inilah perang narasi baru yang akan sangat menentukan.
Narasi inilah yang akan membuat publik negara maju pengimpor minyak dan gas Rusia yang akan memprotes pemerintahnya, bahkan mungkin dengan resiko membayar ongkos lebih mahal seandainya negara yang bersangkutan membatalkan pembelian energi dari Rusia.
Perang abad ke 21 ini kini telah diinovasi menjadi alat canggih kekuatan orang per orang yang tergabung dalam jejaring digital untuk mendikte kebijakan negaranya, terutama di negara-negara demokrasi.
Persoalannya kini adalah siapa yang paling bertahan.
Jika Rusia cepat dan berhasil menerapkan plan B dengan cepat, Rusia bisa langsung mengajak Ukraina ke meja perundingan, dengan berbagai persyaratan yang mungkin menguntungkan Rusia.
Jika Rusia berlama-lama atau “diperlamakan” oleh strategi AS dan Ukraina, ekonomi Rusia bisa kolaps dan bahkan dapat mengancam pribadi Putin yang kini sedang ditunggu oleh musuh-musuhnya di Rusia, untuk dimakzulkan.
Bahkan Putin, bila gagal dapat dihukum, bahkan dijadikan musuh kolektif masyarakat Rusia dan negara-negara barat layak penjahat perang Jepang dan Nazi pasca Perang Dunia ke II.
Lagi-lagi bagi Putin, semakin cepat menguasai wilayah Timur Selatan semakin baik.
Lagi-lagi bagi AS seberapa cepat seruannya didengar, seberapa cepat pula sumber energi alternatif pengganti Rusia didapatkan.
Seberapa cepat pula AS dapat mempertontonkan kepada dunia kebrutalan Rusia di Ukraina yang membuat Putin layak mendapatkan perlakuan seperti apa yang terjadi terhadap penjahat perang di Jerman dan jepang, setelah sekutu menang dalam perang Dunia II.
Seperti diketahu setelah sekutu memenangkan Perang dunia ada dua pengadilan penjahat perang yang dibuat.
Pertama adalah Pengadilan Nuremberg untuk penjahat perang Nazi, dan yang kedua adalah Pengadilan Tokyo terhadap penjahat perang Asia Timur Jauh, yang ditujukan kepada Perdana Menteri Tojo dan kawan-kawannya.
Kejadian terakhir adalah pengadilan terhadap penjahat perang Bosnia yang melakukan pembersihan etnis muslim pada awal tahun sembilan puluhan.
Pengadilan yang disponsori oleh AS dan sekutunya pada saat itu dilakukan terhadap beberapa petinggi Serbia yang mendapat dukungan dari Rusia.
Radovan Karadžić, Ratko Mladić, dan Slobodab Milosevic diadili di Den Haag oleh pengadilan HAM internsional, dan mereka dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Kini AS dan sekutunya sedang mempersiapkan skenario itu kepada Vladimir Putin.
Tuduhannya tidak main-main. Penjahat perang, sekaligus pejahat kemanusiaan.
Ini adalah sebuah teater perang abad ke 21 dengan segala kemunafikan dan keluhuran kemanusiaan yang sedang digelar oleh kedua negara adi kuasa itu dan para sekutunya.
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI