Ramadhan Mubarak

Cara Menggapai Takwa

Sebelum ini sudah dijelaskan bahwa takwa hendaknya dipahami sebagai kesadaran akan kemahahadiran Allah dan keinginan seseorang untuk menjadikan

Editor: bakri
FOR SERAMBINEWS.COM
Prof Dr Al Yasa’ Abubakar MA, Guru Besar UIN Ar-Raniry 

Oleh: Prof Dr Al Yasa’ Abubakar MA, Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Sebelum ini sudah dijelaskan bahwa takwa hendaknya dipahami sebagai kesadaran akan kemahahadiran Allah dan keinginan seseorang untuk menjadikan dirinya mengikuti kesadaran ini.

Kesadaran akan kemahahadiran Allah dipahami sebagai tertanamnya keyakinan pada seseorang bahwa Allah mengetahui, mengawasi dan mencatat semua aktivitas dan kegiatan manusia, yang akan diberi pahala atas perbuatan baik (memperoleh surga) dan dosa atas perbuatan buruk (memperoleh neraka).

Sedang keinginan seseorang untuk menjadikan dirinya mengikuti kesadaran tersebut dipahami sebagai adanya keyakinan dan upaya sungguh-sungguh dari seseorang untuk tunduk dan patuh pada ketentuan yang diturunkan Allah untuk membimbing dan memandu manusia yaitu ajaran Islam (Al-qur’an dan hadis).

Dengan demikian, takwa, keimanan, dan pengamalan ibadah dapat diibaratkan dengan sebuah tali berpilin tiga, yang mesti menyatu dan tidak boleh dipisahkan.

Iman menjadi semakin kuat karena ibadah yang diamalkan, yang pada giliran berikutnya melahirkan takwa.

Sebalinya, takwa yang sudah tertanam di dalam hati akan semakin meneguhkan iman dan menjadikan pengamalan ibadah semakin intens dan dirasakan kelezatannya.

Apabila tiga hal ini sudah bersemayam pada hati seseorang dan membentuk kepribadian, maka takwa boleh dianggap sudah tercapai, dan pengaruhnya akan terpantul pada perilakunya yaitu taat beribadah dan kesediaan menebar kasih sayang kepada orang-orang yang ada di lingkungannya, (keluarga, tetangga, rekan kerja, orang yang berinteraksi dengannya).

Kehadirannya dianggap tidak menggangu, sebaliknya dianggap membawa rahmat dan bahkan dapat meningkatkan kualitas kehidupan.

Kehadirannya kalau pun tidak ditunggu tidak akan ditolak; tidak dianggap sebagai penyebab konflik, sebaliknya dianggap pemberi solusi.

Baca juga: Shalat Tarawih dan Shalat Malam (3)

Baca juga: Shalat Tarawih dan Shalat Malam (4)

Perlu disebutkan, pencapaian seseorang atas derajat takwa dan keberadaannya pada derajat tersebut tidak statis, tetapi dinamis selalu bergerak naik dan turun.

Kadang-kadang dapat mencapai tingkatan yang tinggi ketika pengamalan ibadah sebagai sarana untuk itu dapat dipenuhi dan dijaga.

Namun pada keadaan lain ketika pengamalan ibadah menjadi berkurang atau dilakukan secaras tidak tulus, maka akan turun ke tingkat yang rendah.

Dengan demikian, takwa pada setiap orang cenderung selalu berubah, kadang-kadang tinggi dan kadang-kadang rendah sama seperti iman.

Menurut Al-Qur’an, mengamalkan puasa secara benar dan sungguh-sungguh karena Allah SWT akan mengantarkan pelakunya mencapai derajat takwa.

Sebetulnya, semua ibadah sekiranya dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh karena Allah, akan menjadikan pelakunya mencapai derajat takwa.

Namun pada puasa, Al-Qur’an menyebutkannya secara relatif eksplisit, sehingga mendorong ulama untuk meneliti dan merenungkan apa kira-kira yang menjadi alasannya.

Sekiranya ayat dan hadis tentang tuntunan berpuasa diteliti dan direnungkan, maka puasa sangat diharapkan mampu menghasilkan dua dari ciri takwa.

Ciri pertama, puasa diharapkan dapat menjadikan pelakunya mampu menahan diri dari menyakiti dan merugikan orang lain.

Orang yang berpuasa diharapkan mampu mengendalikan emosinya, sehingga tidak melakukan sesuatu yang merugikan dirinya, orang lain, atau masyarakat dalam arti luas.

Ciri kedua, kemampuan mengendalikan emosi di atas, diharapkan mampu mendorong orang yang berpuasa untuk secara aktif membantu orang lain mengatasi berbagai kesukaran yang dihadapinya.

Orang yang berpuasa diharapkan mampu membantu dengan bersedekah uang, bersedekah nasehat (jalan keluar mengatasi kesukaran yang dihadapi), sedekah ketenteraman, dan bahkan perlindungan.

Kemampuan anggota masyarakat untuk secara bersama-sama menahan diri dari perbuatan buruk dan kesediaan mereka membantu pihak lain, menurut penulis akan menjadikan masyarakat tersebut tangguh dan solid, tidak mudah terprovoksi oleh berbagai isu negatif.

Sebagaimana sebelumya sudah disinggung, dua ciri takwa di atas tidak muncul secara tiba-tiba.

Ciri ini akan diperoleh setelah melalui pelatihan dan perenungan mendalam selama waktu tertentu yang relatif panjang.

Puasa dan ibadah lainnya, terutama shalat malam yang dilakukan sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada Allah, merupakan latihan untuk hal tersebut sekaligus juga sarana untuk perenungan mendalam mengenai untuk apa hidup ini dan apa yang akan dituju dengan hidup ini.

Apa yang dimaksud dengan bahagia dan bagaimana cara mencapainya.

Al-Qur’an menyatakan bahwa muslim yang baik (yang bertakwa) adalah orang yang berbahagia dalam hidup di dunia dan juga berbahagia dalam hidup di akhirat nanti (ingat “doa sapu jagat”).

Di antara ciri berbahagia di dunia adalah mampu untuk hidup mandiri sehingga tidak menjadi beban orang lain dan lebih dari itu tidak melakukan sesuatu yang berakibat menyusahkan dan merusak orang lain.

Lebih tinggi dari itu, sekiranya mampu, dia bersedia membantu orang lain meningkatkan kualitas hidup mereka.

Sedang ciri berbahagia di akhirat adalah mampu menyelamatkan diri dari dari api neraka, yang dilakukan dengan cara mengamalkan semua perintah dan menjauhi semua larangan Allah.

Iman, ibadah, dan takwa saling terhubung secara berkelindan seperti tali berpilin tiga yang di atas sudah disebutkan.

Wallahu a`lam bish-shawab

Baca juga: Shalat Tarawih dan Shalat Malam (5)

Baca juga: Sejarah Shalat Tarawih

 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved