Kupi Beungoh
Memburu Lailatul Qadar di Istanbul
Di malam 23 Ramadan ratusan jamaah memenuhi saf berkarpet merah, mengikuti salat tarawih dengan kusyuk diimami tiga imam berusia paruh baya dengan fas
Berbeda ketika iftar, jamaah iktikaf tidak hanya sandwich, juga kebagian nasi kotak dengan lauk fasülye.
Kacang rebus yang ketika dimakan dengan nasi menambah kenikmatannya.
Azan subuh berkumandang serentak.
Suara dari masjid terdekat bersahut-sahutan.
Setelah salam imam membacakan juz 23 hingga selesai disimak para jamaah.
Kebiasaan rutin selama Ramadan hampir disemua masjid di Istanbul.
Sebelum salat subuh imam menyelesaikan tilawah satu juz baru iqamat
Pelaksanaan salat jamaah subuh kali ini, imamnya membaca surat hingga beberapa halaman dengar tartil lambat, terasa sangat lama.
Ditambah zikir panjang dan rangkaian doa dua bahasa, Arab dan Turki yang seakan tidak habis-habis.
"Saya iktikaf penuh ketika hafta sonu, tapi hari-hari kerja hanya waktu malam ke sini," ujar Urcument Sumerkan, seorang akuntan berusia 55 tahun yang bekerja di kantor muhasebe.
Fatih pemuda Turki yang masih bujangan dari Bursa juga mengambil iktikaf penuh, berbeda dengan Wasim pemuda Suriah yang fasih menguasai empat bahasa hanya iktikaf di sebagian malam karena ada kakaknya di rumah yang tidak bisa ditinggalkan.
"Saya hanya di malam ganjil saja iktikaf," Bagas mantan ketua PPI Istanbul ikut berpartisipasi.
"Kemungkinan nanti malam 27 penuh masjid ini. Banyak orang Turki menganggap lailatul qadar itu di malam ke 27," ungkap ustaz Taufiq Hidayat, doktor lulusan Sudan.
Di bawah seratus orang yang mengambil iktikaf penuh tidak hanya di malam hari.
Selimut tebal, tas dan peralatan lainnya disimpan disekeliling pinggiran ruang utama masjid, dalam jendela yang tertutup dua daun pintu besar.