Opini

Keadilan dalam Warisan

Dari banyak hal yang menjadi perhatian syariat yang berhubungan dengan urusan muamalah adalah perkara hibah, wasiat serta warisan

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Keadilan dalam Warisan
FOR SERAMBINEWS.COM
Rizki Mustaqim S Th MA Mahasiswa Doktoral University of Malaya Jurusan al-Qur’an dan al-Hadits/Anggota IKAT Aceh

Oleh Rizki Mustaqim S Th MA, Mahasiswa Doktoral University of Malaya Jurusan al-Qur’an dan al-Hadits/Anggota IKAT Aceh

BAGI seorang muslim, Alquran dan al-Sunnah adalah pedoman hidup.

Tujuan dari diturunkan syariat itu semua tak lain adalah untuk terciptanya keadilan, keteraturan dan terjalinnya rasa kasih sayang antar manusia.

Dari banyak hal yang menjadi perhatian syariat yang berhubungan dengan urusan muamalah adalah perkara hibah, wasiat serta warisan.

Ketiga hal tersebut semuanya berhubungan dengan harta, sehingga banyak menimbulkan perselisihan, permusuhan bahkan sampai penghilangan nyawa antar manusia.

Semua itu terjadi disebabkan oleh rasa rakus, tamak serta ketiadaan ilmu.

Bahkan acap kali perselisihan itu terjadi disebabkan karena tidak patuhnya seorang hamba, keluarga atau komunitas terhadap aturan (syariat) yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Kita sering mendengar kisah seorang anak yang menuntut orang tua atau sebaliknya orang tua yang bersumpah sampai matinya pun tidak mau harta warisannya jatuh ke tangan anakanaknya.

Sering juga kita dapati bagaimana sebuah keluarga tidak akur karena ketidakadilan yang terus menerus dipertontonkan di dalamnya.

Padahal sekiranya saja mau mematuhi seluruh aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul serta tidak latah mencari keadilan versi lainnya atau berusaha menggugat hukum (keadilan) Tuhan yang sudah paripurna, niscaya mustahil akan terjadi hal-hal yang memilukan di atas.

Baca juga: Kejam! Anak di Aceh Tamiang Tega Bacok Ayah dan Ibu Kandung, Diduga Soal Warisan

Baca juga: RTA Aceh Utara Adakan Pelatihan Ilmu Bagi Harta Warisan Selama Lima Bulan

Terkait dengan hibah, wasiat dan warisan, ketiga hal tersebut semua sudah dibahas secara tuntas dalam syariat.

Dalam literatur fiqih disebutkan, hibah berarti pemberian dari seseorang kepada orang lain yang dilakukan ketika si pemilik harta masih hidup dengan niat sedekah.

Contoh orang tua yang memanggil semua anaknya lalu membagikan pemberian yang sama.

Maka dalam hal ini pemberian tersebut dihitung sebagai hibah bukan warisan.

Hal itu dibenarkan dalam syariat akan tetapi dengan syarat adil.

Pernah suatu ketika seseorang menghadap Rasulullah dengan anaknya, lalu berkata, “Sesungguhnya aku akan memberikan budakku ini kepada anakku ini, Rasulullah bertanya, apakah seluruh anakmu engkau berikan pemberian yang sama? Dia menjawab, “tidak” Rasulullah bersabda “jangan engkau persaksikan aku dengan kejahatan (kezaliman) ini, kemudian Rasulullah melanjutkan apakah engkau mau kalau sikap bakti yang mereka berikan sama? dia menjawab iya, kalau begitu tidak”.(HR: Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits di atas terang sekali bahwa bersikap adil terhadap anak adalah suatu kewajiban agar tidak timbul kebencian dan permusuhan dalam sebuah keluarga.

Dan lebih baik kalau pemberian (hibah) itu dicatat serta menghadirkan saksi guna menghindari perselisihan di kemudian hari.

Sementara wasiat, adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dengan niat sedekah akan tetapi penyerahannya dilakukan ketika si pemiliki harta sudah meninggal.

Sebagai contoh, orang tua memanggil anaknya, lalu berkata bahwa ia hendak mewasiatkan sebahagian hartanya untuk panti asuhan.

Maka anak-anaknya wajib menunaikan wasiat tersebut akan tetapi syariat mengatur besarnya wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkan oleh si pemilik harta.

Dan wasiat juga tidak dibenarkan untuk diberikan kepada ahli waris kecuali dengan persetujuan ahli waris lainnya.

Adapun waris, adalah berpindahnya kepemilikan harta dari seorang yang meninggal kepada ahli warisnya secara otomatis (langsung) tanpa harus adanya izin atau wasiat dari si pemilik harta (yang meninggal).

Untuk menghindari sengketa dan perselisihan maka sebaiknya harta warisan langsung dibagikan ketika si pemilik harta meninggal dunia.

Sekilas ada kemiripan dari masing-masing ketiga hal di atas, yaitu samasama berpindahnya harta dari seseorang kepada orang lain baik kepada ahli warisnya ataupun bukan kepada ahli warisnya.

Akan tetapi syariat membedakan ketiga hal tersebut secara rinci.

Maka seorang muslim, harus benar-benar memiliki pengetahuan serta patuh terhadap aturan syari’at ketika menjalankan hal tersebut.

Namun dalam praktiknya, banyak dari masyarakat yang masih menyamakan atau mencampuradukkan ketiga hal di atas.

Atau mungkin sudah ada ilmu terhadapnya akan tetapi mencoba untuk mengelabui atau berusaha untuk mencari dalih atau alasan keadilan lain untuk memperturutkan hawa nafsu.

Mereka ragu dengan keadilan yang telah ditetapkan Allah melalui Alquran dan Rasul- Nya.

Sebagai contoh dalam satu keluarga, ada orang tua yang bersikap tidak adil terhadap pemberian (hibah) kepada anak-anaknya, baik itu dalam bentuk materi maupun spiritual (kasih sayang).

Padahal Alquran telah mewanti-wanti hal ini.

Sebagaimana saudara-saudara Yusuf ketika mengetahui bahwa sang bapak (nabi Ya’kub) lebih sayang kepada salah satu anaknya, menuduh bapaknya telah melakukan kekeliruan yang besar.

Hal ini diabadikan oleh Allah dalam surah Yusuf ayat 9-10.

Akibat perbedaan kasih sayang tersebut membuat saudara-saudara Yusuf merencanakan makar terhadap dirinya, karena sudah muncul rasa dengki dan kebencian di antara mereka.

Bahkan Rasulullah pun mengajarkan harus bersikap adil walau dalam masalah ciuman kepada anak laki-laki dan perempuan sehingga tidak timbul kecemburuan yang berujung pada putusnya tali silaturahmi.

Memang kecenderungan kepada salah seorang anak adalah hal yang berada di luar kuasa seorang hamba termasuk rasa lebih sayang kepada salah satunya.

Syariat juga tidak membebani terhadap hal-hal yang berada di luar kuasa hambanya, namun yang perlu digarisbawahi adalah menunjukkan atau menampakkan secara terangbenderang bahkan sengaja untuk lebih sayang kepada salah satu anggota keluarga itu jelas dilarang oleh syariat.

Hal yang mungkin dilakukan dan itu dibenarkan oleh syariat adalah boleh lebih menyayangi salah satu anak karena kelebihan yang ia miliki, tapi cukup dalam hati saja, tidak untuk ditampakkan secara zahir kepada anak-anak lainnya apalagi dengan kesengajaan.

Bahkan suatu kekeliruan yang besar ketika orang tua lebih condong kepada salah satu anak, dalam hal ini anak perempuan.

Ketika masih hidup mereka mencoba untuk merekayasa keadilan Allah dengan menjual seluruh harta untuk dibagikan secara merata kepada seluruh anak-anaknya, karena takut ketika meninggal nanti hartanya akan dibagikan secara aturan syari’at, dimana anak perempuan mendapat setengah dari jatah anak laki-laki.

Dan mereka mencatatnya sebagai warisan yang tidak boleh diganggu gugat lagi.

Mereka melakukan hal tersebut karena merasa kalau aturan Allah dalam hal warisan tidak adil sehingga perlu mencari keadilan versi sendiri sesuai dengan hawa nafsunya.

Padahal kalau mau berpikir sejenak, semua yang telah diatur oleh Allah dan Rasul- Nya dalam hal warisan adalah kebaikan dan keadilan yang sebenarnya.

Ketika Allah mensyariatkan bahwa hak anak perempuan yaitu setengah dari haknya anak laki-laki, maka di dalamnya pasti ada hikmah dan tujuan.

Di antara hikmahnya adalah, apa yang diterima laki-laki sebenarnya bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan ada kewajiban untuk menafkahi istri dan keluarganya.

Sebaliknya jika seorang perempuan menikah maka semua keperluan hidupnya menjadi tanggung jawab suaminya.

Sementara warisan yang ia perolehi bisa digunakan untuk keperluan pribadinya.

Lebih dari itu keadilan akan tercipta jika seluruh keluarga melaksanakan aturan waris yang telah ditetapkan syariat.

Karena keadilan (keseimbangan) akan rusak bilamana salah satu keluarga melanggar dan mengingkari aturan tersebut.

Sebagai ilustrasi, jika seorang laki-laki mendapatkan satu bagian dari warisan lalu dia menikah dengan seorang perempuan yang mendapat setengah bagian dari warisan.

Maka ketika dijumlah, satu keluarga tersebut mendapatkan satu setengah dari seluruh harta warisan yang mereka dapatkan dari masing-masing keluarga mereka.

Dan itu akan berlaku seterusnya untuk semua pasangan keluarga yang menikah.

Ketika satu keluarga mengingkari pembagian harta warisan yang telah diatur syari’at yaitu dengan membagi sama rata antara lakilaki dan perempuan, maka saat itulah mereka merusak lingkaran atau ekosistem keadilan yang sedang dijalankan Allah.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Baca juga: Hati-hati dengan Warisan Dapat Sebabkan 3 Dosa Besar Ini, Hukumannya Disiksa di Neraka Jahanam

Baca juga: Kisah Warisan Olga Syahputra Rp 1,5 Miliar Diambil Orang Dekat Lewat ATM, Billy: Ikhlasin Saja

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved