Jurnalisme Warga
Impian Gampong Syariah di Aceh
Legalitas kedua undangundang ini menjadi landasan hukum yang sangat kuat dan penentu arah kebijakan pembangunan Aceh di masa kini dan mendatang

OLEH ABDUL RANI, S.Sos.I, M.A, Kepala Seksi Pembinaan Lembaga Keagamaan Dinas Syariat Islam Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
ACEH merupakan provinsi yang berada di ujung paling barat Negara Kesatuan Republik Indonesia, terdiri atas 18 kabupaten dan 5 kota.
Provinsi ini dinobatkan sebagai daerah istimewa yang diatur dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, juga sebagai daerah berotonomi khusus sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Legalitas kedua undangundang ini menjadi landasan hukum yang sangat kuat dan penentu arah kebijakan pembangunan Aceh di masa kini dan mendatang.
Undang-undang tersebut merupakan hasil dari perjuangan rakyat Aceh dari tahun ke tahun melewati konflik Aceh yang membuahkan hasil sangat signifikan, yaitu pembagian hasil migas yang menguntungkan Aceh dan pelaksanaan syariat Islam yang dikemas dalam Undang- Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan UU Pemerintahan Aceh.
Dalam bidang keagamaan, Pemerintah Aceh telah melahirkan Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh serta Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
Kehadiran Dinas Syariat Islam di Aceh merupakan peluang besar bagi rakyat Aceh untuk menjalankan dinul Islam di Bumi Serambi Makkah ini.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Aceh yang bersyariah, grand design pelaksanaan syariat Islam sangatlah diperlukan sehingga seluruh seluk-beluk kehidupan masyarakat Aceh berada di dalamnya.
Baca juga: Beda Bank Syariah dan Bank Konvensional
Baca juga: Barakah dalam Praktik Ekonomi Syariah
Tercatat pula dengan rapi dan akan jadi sejarah baru bagi Aceh dalam berinovasi sehingga siapa pun yang menginginkan kehidupan seperti di Aceh dapat mengadopsi grand design dimaksud.
Dalam konteks gampong syariah, hingga saat ini belum ada satu gampong pun di Aceh yang dinobatkan sebagai gampong syariah.
Seharusnya, gampong bersyariah di Aceh sangat diperlukan karena masyarakat Aceh ingin ke luar dari jeratan ribawi dan sudah bosan dengan transaksi perilaku dan prinsip-prinsip kapitalis ribawi, serta program-program yang tak sesuai dengan syariah.
Kehadiran gampong bersyariah, dalam imajinasi saya, bakal mengubah pola pikir masyarakat Aceh umumnya untuk ke luar dari kegelapan menuju titik terang dengan mengamalkan nilai-nilai syariat Islam secara kafah.
Dalam sebuah produk inovasi gampong bersyariah sangat diperlukan di antaranya bidang perdagangan.
Masyarakat gampong akan terbiasa dengan transaksi bersyariah dalam segala aspek seperti akad dalam jual beli, peminjaman dengan sistem mudarabah dan murabahah, bukan konvensional dengan harapan tercipta suasana kemitraan, keadilan, kemanfaatan, dan keseimbangan.
Masyarakat menginginkan supaya tim wilayatul hisbah mengecek dan memeriksa serta menyita setiap timbangan pedagang yang bermasalah sehingga tak ada lagi pedagang yang berbuat curang dalam berniaga.
Di bidang pelayanan publik, masyarakat gampong bersyariah akan terbiasa dengan budaya melayani dengan istilah “peumulia jamee” (memuliakan tamu).
Siapa pun yang datang ke gampong bersyariah akan mendapatkan pelayanan prima dari perangkat gampong, pemuda, hingga masyarakat umum.
Gampong bersyariah akan lebih berkesan bagi pengunjung dan masyarakat luas, bahkan akan menjadi ikon tertentu sehingga para turis mancanegara akan hadir untuk melihat dan merasakan selama berada di gampong bersyariah tersebut, mulai dari pelayanan, makanan dan minuman, jam malam, hingga transaksi syariah di pasar setempat.
Di bidang kuliner, makanan yang disuguhkan di gampong bersyariah tentulah yang berlabel halalan thayyiban dan terhindar dari makanan dan minuman yang tidak suci dan mengandung najis.
Di setiap dinding dan pintu rumah makan tertulis pula pesan-pesan agama tentang adab makan dan minum sesuai syariat Islam.
Sejalan dengan itu, tempat usaha, rumah makan, dapur, dan kamar mandinya juga bisa menjadi contoh bagi pengusaha luar Aceh dan berkesan bagi tamu yang menikmati makanan khas Aceh.
Di bidang agrowisata, gampong bersyariah akan menjadi lokasi wisata yang islami dengan mengedepankan pelaksanaan syariat Islam, menyediakan sarana ibadah lengkap seperti musala, kamar ganti pakaian yang terpisah, menu makanan dan minuman terbebas dari formalin dan penyedap buatan, lokasinya bersih dan rapi.
Ada pula pengajian bulanan bagi karyawan.
Selain itu, hasil dari keuntungan agrowisata yang sudah mencapai nisab, zakatnya dibayarkan ke baitul mal gampong di lokasi wisata dimaksud sehingga para fakir dan orang miskin di gampong bersyariah terbantu dan terberdayakan.
Di bidang pengendalian pergaulan, perangkat gampong bersyariah akan membatasi pergaulan warganya, terutama di malam hari, terlebih bagi muda-mudi, pelajar hingga mahasiswa, sehingga para pelajar dapat belajar dengan tenang pada jam-jam belajar, baik di rumah mapun di meunasah/musala.
Para orang tua wali dapat mengontrol semua media televisi dan media lainnya di rumah warga pada jam-jam belajar sehingga pembelajaran bagi pelajar di gampong syariah akan lebih baik.
Di pintu-pintu rumah warga akan tertulis besan-pesan moral yang menggambarkan tentang etika dalam bertamu.
Berikutnya, bidang pelayanan pemerintah gampong yang islami.
Pemerintahan gampong akan berupaya keras memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Warga tidak akan dilayani bila tidak mengenakan pakaian yang sopan dan tidak menutupi aurat.
Siapa pun tamu akan terlayani bila memenuhi kriteria bertama yang dikeluarkan olejh pemerintah gampong.
Pemerintah gampong akan memberikan penghargaan atau ‘reward’ kepada mahasiswa yang mempunyai prediket sangat memuaskan (summa cum lade dan cum laude) dengan bonus tertentu oleh pemerintahan gampong.
Pelajar yang mendapat rangking terbaik di sekolahnya juga akan mendapatkan bonus yang sama dari pemerintahan gampong.
Demikian pula bagi santri dayah yang memperoleh nilai terbaik.
Semua ini untuk memberikan motivasi kepada masyarakat supaya mendorong anakanaknya untuk berlombalomba dalam kebaikan dan akhlak mulia.
Dalam hal masyarakat gampong yang melanggar aturan atau reusam gampong, pemerintah gampong hendaklah tak segan-segan memberikan hukuman.
Misalnya, kepada warga yang mencuri, merampok, berzina, dan selingkuh.
Hukuman bisa saja dalam bentuk tidak dilayani apa pun kepentingan dirinya, tidak diikutsertakan jika ada bantuan gampong, hingga dikucilkan dalam masyarakat atau bisa jadi hukuman lebih berat dari itu.
Dengan harapan, di gampong bersyariah tidak ada lagi kasuskasus sebagaimana yang tersebut di atas.
Kini saatnya pemerintah bermitra dengan masyarakat menjalankan syariat Islam sebagai amanah dari UU 44 Tahun 1999 dan UUPA.
Dalam konteks kenegaraan, Dinas Syariat Islam merupakan jalur alternatif untuk menjalankan hal tersebut.
Maka, mari kita ciptakan gampong inovatif dan gampong bersyariah untuk mewujudkan impian masyarakat Aceh yang madani.
Jangan jadikan konsep syariah ibarat payung di musim hujan, setelah hari terik dicampakkan di pinggir jalan.
Melalui konsep syariah para dermawan jangan lagi berbelanja ke luar Aceh.
Jangan lagi ratusan juta bahkan miliaran rupiah setiap hari berputar di luar Aceh.
Para pengusaha, ASN, dan pejabat harus berani berbelanja secara syariah di pasar-pasar lokal Aceh dan mengutamakan produk lokal.
Baca juga: Terwujudnya Kota Banda Aceh Gemilang dalam Bingkai Syariah
Baca juga: Tingkatkan Literasi Syariah, BSI Gelar Gema Ramadhan