Opini
Demokrasi Dalam Islam
Bila dielaborasi secara luas pemerintahan sistem demokrasi adalah pemerintahan yang melibatkan semua rakyat baik secara individu

Oleh Prof Dr M Hasbi Amiruddin MA, Guru Besar Islamic Studies UIN Ar-Raniry, Ketua Dewan Pakar PB Inshafuddin, anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslin (ICMI) Orwil Aceh, dan Direktur Lembaga Studi Agama Masyarakat (LSAMA) Banda Aceh
PEMERINTAHAN dengan sistem demokrasi sering dimaknai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Bila dielaborasi secara luas pemerintahan sistem demokrasi adalah pemerintahan yang melibatkan semua rakyat baik secara individu maupun secara perwakilan.
Pemerintahan demokrasi menghargai gagasan atau pandangan yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Jadi, dalam sistem demokrasi tidak ada pengistimewaan terhadap orang tertentu, apakah itu teman, atau kelompok.
Makanya ketika ada yang mengutamakan kroni, maka ketika itu muncul keresahan.
Ketika melenceng dari sistem, apapun yang akan dilakukan, keresahan itu tetap muncul.
Mungkin ada yang menganggap hal itu dapat dihilangkan dengan kekuatan paksa, dan sering dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan tertentu.
Tetapi itu adalah keyakinan yang semu.
Baca juga: Benteng Demokrasi Jurnalis
Baca juga: Kontras Beri Cap Penjahat Demokrasi ke Pejabat Dukung Penundaan Pemilu
Sebab, perasaan persamaan hak adalah merupakan fitrah manusia.
Mungkin saja ketika digunakan kekuatan paksa, terlihat aman di permukaan, tetapi perasaan ketidaknyamanan yang merupakan fitrah manusia tetap ada.
Bisa saja sekarang tidak dimunculkan dalam tindakan, tetapi pada waktunya hal itu akan muncul.
Paling tidak, ketika kekuatan itu tidak ada lagi, hal itu akan diungkap oleh orang-orang tertentu.
Dan itulah yang kita baca dalam sejarah, yang sampai sekarang masih tertulis di buku-buku sejarah.
Sebagai contoh saja, sering orang menyebut nama Hitler, ketika orang menyamakan pada orang-orang yang memerintah secara buruk.
Ketika muncul tulisantulisan seperti ini, kendatipun kita masih yakin, Allah akan mengampuni kita ketika kita sempat bertaubat, tetapi anak cucu kita, bahkan bangsa kita akan merasa risih dengan bacaan-bacaan tersebut.
Berbeda dengan ketika membaca sejarah kepemimpinan Nabi dan sahabat- sahabatnya.
Misalnya kepemimpinan Umar bin Khattab, yang digambarkan oleh sejarawan begitu mengagumkan.
Bahkan bukan hanya sejarawan di kalangan Islam yang menggambarkan kepemimpinan Umar yang dapat dijadikan teladan, tetapi di kalangan sejarawan non Muslim pun menggambarkan kepemimpinan Umar yang membanggakan semua umat.
Pengaplikasian demokrasi dalam Islam, dapat dilihat semenjak Nabi saw sendiri memimpin negara Madinah, kemudian dilanjutkan oleh sahabat-sahabatnya para Khulafa Ar-Rasyidin.
Agar tidak salah paham tentang demokrasi dalam Islam, di sini perlu diberi penjelasan sedikit.
Inti demokrasi tetap pada keterlibatan semua warga dalam menetapkan atau menjalankan sesuatu keputusan.
Tetapi keputusan- keputusan dalam demokrasi Islam tidak boleh bertentangan dengan ketentuan- ketentuan yang telah digariskan dalam Islam.
Meminjam definisi Fazlur Rahman, “Tujuan dibentuk negara oleh umat Islam adalah dalam rangka menjalankan perintah Allah.
” Karena itu, ide apapun yang dikemukakan atau ketentuan apa pun yang akan dirumuskan tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam.
Dan ajaran Islam tidak ada yang merugikan manusia.
Karena manusia ini diciptakan oleh Allah sendiri, karena itu aturan yang di buat oleh Allah justru untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Sejak awal terbentuknya negara umat Islam di Madinah telah menerapkan sistem pemerintahan dengan sistem demokrasi.
Nabi mempraktikkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam bidang pemerintahan.
Nabi mempraktikkan ajaran tentang musyawarah, ajaran tentang keadilan, persamaan dan ajaran moral yang tinggi.
Al-Quran memang merupakan kitab yang pertama yang membicarakan hukumhukum sosial kemasyarakatan.
Berdasarkan contoh yang diberikan oleh Nabi kemudian dipraktikkan oleh para sahabat selanjutnya.
Al-Quran menganjurkan agar umat Islam selalu musyawarah dalam berbagai urusan.
Hal ini kemudian dipraktikkan oleh para sahabat pada sistem pergantian pemimpin negara.
Ketika Nabi wafat para sahabat bermusyawarah sesama warga Madinah sehingga terpilihnya Abu Bakar sebagai pemimpin mereka, demikian juga selanjutnya ketika abu Bakar Wafat para sahabat memilih Umar bin Khattab secara musyawarah menggantikan Abu Bakar dan selanjutnya melalui musyawarah juga terpilih Usman bin Affan menggantikan Umar bin Khattab dan terpilihnya Ali bin Thalib menggantikan Usman bin Affan.
Dalam sejarah juga terlihat para sahabat mempraktikkan demokrasi dalam sistem penyelenggaraan negara.
Setelah terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah lalu Abu Bakar berpidato kepada rakyatnya.
Dalam pidato pertamanya setelah dilantik antara lain Abu Bakar mengatakan: ”Patuhilah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan rasul-Nya.
Jika aku berbuat durhaka maka tidaklah ada kewajiban kepadamu menaatiku”.
Dalam kenyataan juga Abu Bakar melaksanakan tugasnya dengan baik, menjaga hak-hak warga dan termasuk mempersiapkan mental warganya agar terus menerapkan sistem demokrasi.
Dan hal ini terbukti, ketika Abu Bakar wafat, para sahabat bermusyawarah kembali untuk memilih pemimpin baru yang kemudian terpilih Umar bin Khattab.
Ketika Umar bin Khattab terpilih sebagai khalifah, Umar juga berpidato memberi kesempatan kepada warganya untuk mengkritiknya jika dia telah melenceng dari aturan.
Perhatikanlah pidato pertama usai Umar bin Khattab dilantik, di antaranya dia mengatakan: “Barang siapa di antara kalian melihat ketidak- benaran pada diriku, maka hendaklah dia mau meluruskannya”.
Mendengar pidato khalifah Umar bin Khattab seperti itu salah seorang di antara yang hadir pada pelantikan langsung berkomentar: “Demi Allah wahai Umar, kalau aku sampai melihat ketidakbenaran ada padamu maka akan kuluruskan dengan ketajaman pedangku”.
Ketika Umar bin Khattab mendengar warganya mengucapkan seperti itu dia menyambutnya sebuah senyum sambil mengangkat tangannya tanda setuju.
Ternyata dalam perjalanan kepemimpinannya selama 10 tahun, apa yang diucapkannya bukan hanya sekedar janji, tetapi Umar bin Khattab telah berusaha memenuhi janjinya.
Pertama dalam menerapkan keadilan dalam kesejahteraan kepada rakyatnya.
Khawatir akan ada rakyatnya terlupakan, maka hampir setiap malam Umar mengadakan sidak dengan meronda di antara rumah-rumah penduduk.
Seperti digambarkan dalam biografi Umar bin Khattab, suatu malam dia temukan ada sebuah rumah yang terdengar anak-anak menangis.
Lalu Umar bersama stafnya mendatangi rumah tersebut.
Di dalam rumah tersebut seorang ibu sedang memasak, sementara anaknya terus menangis.
Lalu Umar bertanya: “Kenapa anak kamu menangis? Ibu itu menjawab: “Mereka lapar”.
“Apa yang sedang kamu masak?” “Hanya batu saya rebus untuk melalaikan anak saya agar dia tertidur.
” “Kenapa kamu tidak memasak makanan?” Ketika itu ibu itu menjawab dengan mencerca Umar bin Khattab, khalifah tidak adil, tidak memperhatikan rakyatnya yang miskin.
Kendatipun dia mendengar langsung cercaan terhadap dirinya, Umar tidak marah, karena merasa bersalah kurang cermat dalam memimpin.
Justru sebaliknya, Umar merasa berdosa dan karena itu, langsung pulang, dan mengambil sendiri gandum di gudang dan membawa sendiri ke rumah orang miskin yang ditemui tadi.
Pada waktu lain sedang inspeksi di perkotaan.
Dalam perjalanannya terlihat ada seorang pengemis tua yang sedang mengemis dari toko-toko.
Lalu Umar memerintahkan stafnya memanggilnya.
Lalu Umar bertanya: “Kenapa bapak harus meminta-minta? “Saya ini orang Yahudi, dulu di waktu saya masih kuat saya bekerja dan membayar pajak.
Sekarang saya sudah tua tidak dapat lagi bekerja, makanya saya harus meminta- minta.
” Lalu Umar memerintahkan stafnya menyediakan makanan dan kebutuhan lainnya secukupnya untuk sepanjang hidupnya.
Stafnya bertanya: “Tapi dia orang Yahudi.
” Umar menjawab: Kita harus adil kepada siapa pun sebagai pemimpin”.
Begitulah di antara cuplikan praktik demokrasi dalam Islam yang dipraktikkan oleh pemimpin Islam masa lalu.
Baca juga: KIP Banda Aceh Bekali Mahasiswa soal Demokrasi dan Pemilu
Baca juga: Empat Pesan Jokowi kepada TNI-Polri: Jangan Undang Penceramah Radikal hingga Tak Ada Demokrasi