Jurnalisme Warga

Paradigma Siklus Tersakiti-Menyakiti

Ucapan khas indatu (nenek moyang) Aceh atas klaim tingkah polah manusia yang dinilai merusak itu seketika terkesan lebih saintifik

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Paradigma Siklus Tersakiti-Menyakiti
FOR SERAMBINEWS.COM
AYU ‘ULYA, Koordinator Perempuan Peduli Leuser dan Anggota AJI Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh

Mirisnya, dalam kurun waktu yang sama, muncul pula berita daring di Banda Aceh terkait residivis yang dikabari telah bebas—yang kemudian dianggap belum sepenuhnya bertobat—dan kembali melakukan kekerasan seksual kepada anak di bawah umur.

Lantas, dalam keacakan informasi di hari itu, saya pun menemukan “benang merah” tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh kondisi otaknya.

Dalam sesi tanya jawab, Dokter Irawan menjelaskan bahwa otak adalah pemandu manusia untuk bertindak secara sadar.

Direktur Indonesia Brain Research Center (IBRC), Surya University, ini menjelaskan bahwa frontal lobes (otak bagian depan) berperan penting dalam mengatur fungsi memori, pemahaman bahasa, perencanaan, pengambilan keputusan, aksi, hingga manajemen risiko.

Dia jelaskan, kerusakan otak dapat mengganggu tatanan perilaku pada manusia.

Paparan asap rokok, kecanduan internet atau pornografi, adiksi obat-obatan terlarang, polusi air dan udara, malnutrisi, trauma, bahkan pengalaman tindak kekerasan disebutnya sebagai sederet pemicu kerusakan fungsi otak manusia.

Menurutnya, “Boleh jadi cerminan perilaku buruk manusia itu merupakan manifestasi dari kerusakan otaknya,” jelas sang peneliti senior di Center for Translational Research in Neurodegenerative Disease (CTRND), Univeritas Florida Amerika Serikat ini.

Namun, di balik ganasnya efek kerusakan otak yang dipaparkan oleh sang profesor ilmu otak tersebut, dia tetap menyelipkan kabar gembira dalam presentasinya.

Walau rata-rata proses perkembangan otak manusia selesai di usia 20 tahunan, akan tetapi otak manusia memiliki kemampuan untuk terus berkembang bahkan menyembuhkan diri.

Kemampuan otak untuk beradaptasi menjadi lebih baik itu dikenal dengan istilah neuroplasticity.

“Kalau traumanya mendalam dan masuk alam bawah sadar, maka butuh proses penyembuhan yang mendalam juga, butuh waktu.

Maka harus diceritakan, biar perasaannya plong,” jelas sang asisten profesor di Departemen Anatomi dan Neurobiologi, Universitas Kagawa, Jepang, tersebut memberikan tawaran solusi penyembuhan trauma psikologis pada otak.

Dokter Irawan memaparkan, beberapa jenis psikoterapi seperti terapi bicara (talk therapy) dan terapi kognitif perilaku (cognitive behavioral therapy) dapat membantu proses peningkatan kesembuhan trauma otak tertentu.

Sang dokter juga menyatakan bahwa asupan gizi seimbang, waktu tidur yang cukup, dan lingkungan yang sehat juga menjadi faktor penting lainnya yang dapat mendukung proses pengikisan adiksi dan penyembuhan trauma.

Trauma dan adiksi

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved