Berita Politik
Pon Yaya Protes Seminar Revisi UUPA, Khawatirkan Klaim Pusat Sudah Konsultasi dengan DPRA
Seminar uji publik rancangan undang-undang tentang perubahan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)
BANDA ACEH - Seminar uji publik rancangan undang-undang tentang perubahan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang digagas Komite I DPD RI berubah menjadi forum penggalian aspirasi.
Acara yang dipimpin Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi, senator asal Aceh ini berlangsung di ruang Serbaguna Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, Senin (6/5/2022).
Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini setelah munculnya protes dari Ketua DPRA, Saiful Bahri alias Pon Yaya yang mempertanyakan tujuan dan maksud kegiatan dimaksud.
"Ya, akhirnya acara diubah menjadi forum penggalian aspirasi dari peserta yang hadir," kata Wakil Dekan I FISIP Universitas Teuku Umar (UTU) Afrizal Tjoetra saat dihubungi Serambi.
Afrizal merupakan salah satu peserta yang hadir.
Akibat adanya perubahan judul pertemuan dari seminar uji publik menjadi forum penggalian aspirasi, maka peserta acara diminta menyampaikan perkembangan pelaksanaan UUPA selama ini.
"Akhirnya, beberapa peserta yang memberikan pendapat hanya berkenaan dengan hal-hal penting terkait pelaksanaan UUPA," ujar mantan Ketua Komisi Informasi Aceh (KIA) ini.
Dalam kesempatan itu, Afrizal juga menyampaikan kronologi yang terjadi saat Ketua DPRA mempertanyakan tujuan acara DPD RI tersebut hingga walk out.
"Sebenarnya biasa saja, karena Ketua DPR Aceh mempertanyakan nama acara yang dibahas, konsultasi atau seminar.
Baca juga: Pertemuan Jusuf Kalla dan Wali Nanggroe Aceh, ‘MoU Helsinki dan UUPA Landasan Pembangunan Aceh’
Baca juga: Rektor Unimal Pimpin FRA Bertemu Wapres Maruf Amin, Bahas Situasi Aceh mulai Otsus dan Revisi UUPA
Namun, pertanyaan tersebut tidak mendapat jawaban sebagaimana harapan," terang Afrizal.
Afrizal mengaku dalam kesempatan itu dirinya juga sudah mempertegas kembali maksud dari pertanyaan Ketua DPRA, namun juga tidak mendapat jawaban dari Komite I DPD RI.
"Berikutnya, sebelum acara dilanjutkan, setelah masukan Pemerintah Aceh, saya mengajukan klarifikasi mengenai pertanyaan Ketua DPR Aceh," ungkapnya.
"Selanjutnya, dengan alasan mengikuti agenda lainnya, Ketua DPR Aceh meninggalkan ruang pertemuan," tambah Wakil Dekan I FISIP UTU ini.
Turut hadir Gubernur Aceh yang diwakili Asisten Pemerintahan dan Keistimewaan Setda Aceh M Jafar, Asisten Administrasi Umum, Iskandar, para karo, akademisi, dan pihak terkait lainnya.
Usai pertemuan, Pon Yaya kepada Serambi menerangkan, pada awal pertemuan ia telah mempertanyakan maksud dan tujuan seminar dimaksud kepada Ketua Komite I DPD RI dan Pemerintah Aceh, namun tidak ada jawaban.
"Kegiatan hari ini dalam rangka apa, apakah konsultasi atau seminar biasa.
Tolong dijelaskan dulu.
Jangan nanti ada klaim bahwa pemerintah pusat sudah melakukan konsultasi dengan DPRA dalam hal revisi UUPA," katanya.
Karena selama ini, ungkap politisi Partai Aceh ini, pemerintah pusat, dalam hal ini DPR RI, belum pernah melakukan konsultasi dan meminta pertimbangan DPRA mengenai rencana revisi UUPA.
Sebab, berdasarkan Pasal 8 ayat 2 dan Pasal 269 ayat 3 UUPA disebutkan, dalam hal adanya rencana perubahan undang-undang ini (UUPA) dilakukan dengan terlebih dahulu konsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPR Aceh.
Ketua Komite I DPD RI: Ini Bukan Konsultasi
Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Fachrul Razi memberikan penjelasan terkait walk outnya Ketua DPRA, Saiful Bahri alias Pon Yaya dari acara seminar uji publik rancangan undang-undang tentang perubahaan UUPA.
"Acaranya seminar uji publik yang dilaksanakan oleh DPD RI terkait untuk evaluasi UUPA dan dan inventarisir masalah terhadap persoalan-persoalan setelah 16 tahun pelaksanaan UUPA," kata Fachrul Razi kepada Serambi, Senin (6/6/2022).
Ia menegaskan bahwa acara seminar tersebut hanya menyerap masukan dan melakukan inventarisir masalah dari Pemerintah Aceh dan DPRA.
"Tidak ada kaitannya dengan konsultasi publik.
Konsultasi publik itu domainnya DPR RI dan harus masuk prolegnas dulu," ujarnya.
Ketua Komite I DPD RI ini menyatakan sangat sepakat dengan Pon Yaya bahwa perubahan UUPA harus dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA sebagaimana bunyi Pasal 269.
"DPD juga menolak kalau revisi ke depan tidak melakukan konsultasi dengan DPRA.
Karena itu, DPD RI dalam acara tadi menekankan bahwa UUPA harus dikembalikan sesuai MoU Helsinki," ujarnya.
Fachrul Razi mengungkapkan bahwa sebenarnya ia juga tidak sepakat dengan kalimat 'konsultasi' dan 'mendapatkan pertimbangan' dalam UUPA apabila undang-undang tersebut direvisi.
"Istilah konsultasi itu pelemahan, yang benar harus ada persetujuan (DPRA).
Pertimbangan itu kita pertanyakan.
Kita memberikan apresiasi kalau DPRA melakukan perlawanan terhadap itu," ucap Fachrul Razi.
Fachrul Razi kembali menegaskan revisi UUPA harus ada konsultasi dengan DPRA dan revisi tersebut harus bisa meningkatkan penerimaan dana otsus dari 2 persen menjadi 2,5 persen dan bersifat selamanya.
"Kita tidak ingin revisi UUPA melanggar aturan dan DPD RI sama sikap dengan DPRA.
DPRA harus punya sikap tegas.
DPD juga siap menggugat jika revisi UUPA tidak sesuai undang-undang," demikian Fachrul Razi.
Gubernur: Undang-Undang untuk Kepentingan Rakyat
Dalam negara yang menganut sistem demokrasi konstitusional, terlepas apa pun sistem pemerintahannya, kekuasaan membentuk undang-undang diarahkan pada terwujudnya tatatan kehidupan yang bermanfaat bagi kepentingan rakyat.
Dengan demikian, fungsi undang-undang lebih merupakan persoalan penjabaran dari tujuan negara sebagaimana termaktub dalam konstitusinya.
Penegasan tersebut disampaikan oleh Gubernur Aceh Nova Iriansyah, dalam sambutannya yang dibacakan oleh Asisten Pemerintahan dan Keistimewaan Sekda Aceh M Jafar, pada Seminar Uji Publik Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang diselenggarakan Komite 1 DPD RI, di Ruang Serbaguna Setda Aceh, Senin (6/6/2022).
"Kekuasaan membentuk undang-undang diarahkan pada terwujudnya tatatan kehidupan yang bermanfaat bagi kepentingan rakyat.
Jadi, keberadaan suatu undang-undang pada dasarnya merupakan instrumen bagi penguasa untuk menjalankan roda pemerintahan.
Di sinilah arti penting undang-undang yang berfungsi sebagai pengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan konstitusi dalam membagi kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga pemerintahan," ujar M Jafar saat membacakan sambutan gubernur.
Untuk diketahui bersama, dalam Daftar Perubahan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2020-2024, pada nomor 162 tercantum judul Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
"Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 269 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, ditegaskan bahwa "dalam hal rencana perubahan Undang-Undang ini, dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPR Aceh," kata M Jafar.
Dalam kesempatan ini, M Jafar juga menyampaikan aspirasi berkaitan dengan rencana perubahan UUPA tersebut.
Sesuai dengan Pasal 183 UUPA Dana Otonomi Khusus yang merupakan penerimaan Pemerintah Aceh berlaku untuk jangka waktu 20 tahun, dengan rincian untuk tahun pertama (tahun 2008) sampai dengan tahun kelima belas (tahun 2022) besarannya setara 2 persen plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas (tahun 2023) sampai dengan tahun kedua puluh (tahun 2027) besaran menurun menjadi setara 1 persen plafon Dana Alokasi Umum Nasional.
"Dapat kami sampaikan bahwa untuk pengelolaan Dana Otonomi Khusus, Pemerintah Aceh dan DPRA telah menyetujui Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus dan telah dilakukan perubahan sebanyak tiga kali," imbuh M Jafar. (mas/jal)
Baca juga: DPR RI dan USK Bahas Rencana Perubahan UUPA
Baca juga: DPRA Ungkap Kendala Pemerintah Aceh dalam Mengimplementasikan UUPA di depan Rombongan Lemhannas RI