Opini
Menyeimbangkan Imtak dan Iptek
Seorang muslim sejati, harus berusaha keras untuk menggapai kedua-duanya dan tidak boleh memilih hanya salah satu saja
OLEH Dr MURNI SPdI MPd, Wakil Ketua III STAI Tgk Chik Pante Kulu
“BARANG siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan Barang siapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menjelaskan bahwa pentingnya mempelajari dua ilmu sekaligus yang pertama, mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan dunia dan juga pentingnya menuntut ilmu agama dalam menggapai kehidupan yang abadi di akhirat kelak.
Seorang muslim sejati, harus berusaha keras untuk menggapai kedua-duanya dan tidak boleh memilih hanya salah satu saja, akan tetapi harus adanya keseimbangan antara iman dan takwa (Imtak) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
Tujuan paling utama dalam hidup di dunia adalah menuntut ilmu agama terlebih dahulu baru kemudian diikuti oleh ilmu pengetahuan umum dan teknologi.
Perubahan lingkungan yang serba cepat dewasa ini sebagai dampak globalisasi dan perkembangan Iptek.
Seiring berjalannya waktu, teknologi yang dibuat oleh manusia semakin berkembang.
Salah satunya ialah Society 5.0 yang digagas oleh negara Jepang.
Konsep ini memungkinkan kita menggunakan ilmu pengetahuan yang berbasis modern (AI, Robot, Iot) untuk kebutuhan manusia dengan tujuan agar manusia dapat hidup dengan nyaman.
Konsep Society 5.0 merupakan penyempurnaan dari konsep-konsep yang ada sebelumnya.
Baca juga: Tambah Teknologi, Mobil Hybrid Toyota C-HR Naik Rp 16 Jutaan, Hampir Mendekati Rp 600 Juta
Baca juga: Teknologi Perjalanan Waktu, Mungkinkah Terwujud?
Di mana seperti kita ketahui, Society 1.0 adalah pada saat manusia masih berada di era berburu dan mengenal tulisan, Society 2.0 adalah era pertanian di mana manusia sudah mengenal bercocok tanam, Society 3.0: sudah memasuki era industri yaitu ketika manusia sudah mulai menggunakan mesin untuk membantu aktivitas sehari-hari, Society 4.0: manusia sudah mengenal komputer hingga internet dan Society 5.0 era di mana semua teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri, internet bukan hanya digunakan untuk sekedar berbagi informasi melainkan untuk menjalani kehidupan.
Dalam Society 5.0 di mana komponen utamanya adalah manusia yang mampu menciptakan nilai baru melalui perkembangan teknologi dapat meminimalisir adanya kesenjangan pada manusia dan masalah ekonomi di kemudian hari.
Memang rasanya sulit dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan karena saat ini Jepang sudah membuktikannya sebagai negara dengan teknologi yang paling maju.
Akan tetapi, di sisi lain, memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan perilaku khususnya para pelajar, dengan tumbuhnya budaya kehidupan baru yang cenderung menjauh dari nilai- nilai spritualitas.
Semuanya ini menuntut perhatian ekstra orang tua serta guru, yang kerap bersentuhan langsung dengan siswa.
Dari sisi positif, perkembangan Iptek telah memunculkan kesadaran yang kuat pada sebagian pelajar akan pentingnya memiliki keahlian dan keterampilan ilmu pengetahuan.
Utamanya untuk memudahkan kehidupan masa depan yang lebih baik, dalam rangka mengisi era milenial ketiga yang disebut sebagai era informasi dan era bio-teknologi.
Ini sekurangkurangnya telah memunculkan sikap optimis, generasi pelajar umumnya harus telah memiliki kesiapan dalam menghadapi perubahan itu.
Don Tapscott, dalam bukunya Growing up Digital (1999: 78-82), telah melakukan survei terhadap para remaja di berbagai negara.
Ia menyimpulkan, ada sepuluh ciri dari generasi 0 (zero), yang akan mengisi masa tersebut.
Ciri-ciri itu, para remaja umumnya memiliki pengetahuan memadai dan akses yang tidak terbatas.
Bergaul sangat intensif lewat internet, cenderung inklusif, bebas berekspresi, hidup didasarkan pada perkembangan teknologi, sehingga inovatif, bersikap lebih dewasa, investigatif arahnya pada how use something as good as possible (bagaimana menggunakan sesuatu dengan sebaik mungkin) bukan how does it work (bagaimana cara kerjanya).
Mereka pemikir cepat (fast thinker), peka dan kritis terutama pada informasi palsu, serta cek dan ricek menjadi keharusan bagi mereka.
Sikap optimis terhadap keadaan sebagian pelajar ini tentu harus diimbangi dengan memberikan pemahaman, arti penting mengembangkan aspek spiritual keagamaan dan aspek pengendalian emosional.
Sehingga tercapai keselarasan pemenuhan kebutuhan otak dan hati (Qalbu).
Penanaman kesadaran pentingnya nilai-nilai agama memberi jaminan kepada siswa akan kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan saja selama di dunia tapi juga kelak di akhirat.
Prof DR (HC) Ing DR Sc Mult Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng adalah orang pertama yang menggagas integrasi Imtak dan Iptek ini.
Hal ini, selain karena adanya problem dikotomi antara apa yang dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu agama (Islam), juga disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan Iptek dalam sistem pendidikan Indonesia tampaknya berjalan sendiri, tanpa dukungan asas iman dan takwa yang kuat, sehingga pengembangan dan kemajuan Iptek tidak memiliki nilai tambah dan tidak memberikan manfaat yang cukup berarti bagi kemajuan dan kemaslahatan umat dan bangsa dalam arti yang seluas-luasnya.
Secara lebih spesifik, integrasi pendidikan Imtak dan Iptek ini diperlukan karena empat alasan.
Pertama, sebagaimana telah dikemukakan, Iptek akan memberikan berkah dan manfaat yang sangat besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia apabila Iptek disertai oleh asas iman dan takwa kepada Allah SWT.
Sebaliknya, tanpa asas Imtak, Iptek bisa disalahgunakan pada tujuantujuan yang bersifat destruktif.
Iptek dapat mengancam nilai-nilai kemanusiaan.
Jika demikian, Iptek diterima secara metodologis, tetapi batil dan miskin secara maknawi.
Kedua, pada kenyataannya, Iptek yang menjadi dasar modernisme, telah menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik, materialistik, dan hedonistik, yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Ketiga, dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti (kebutuhan jasmani), tetapi juga membutuhkan Imtak dan nilai-nilai surgawi (kebutuhan spiritual).
Oleh karena itu, penekanan pada salah satunya, hanya akan menyebabkan kehidupan menjadi pincang, berat sebelah, dan menyalahi hikmat kebijaksanaan Tuhan yang telah menciptakan manusia dalam kesatuan jiwa raga, lahir dan batin, dunia dan akhirat, dan Keempat, Imtak menjadi landasan dan dasar paling kuat yang akan mengantar manusia menggapai kebahagiaan hidup.
Tanpa dasar Imtak, segala atribut duniawi, seperti harta, pangkat, Iptek, dan keturunan, tidak akan mampu dan gagal mengantar manusia meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kemajuan dalam semua itu, tanpa iman dan upaya mencari ridha Allah, hanya akan menghasilkan fatamorgana yang tidak menjanjikan apa-apa selain bayangan palsu semata.
Maka integrasi Imtak dan Iptek harus diupayakan dalam format yang tepat sehingga keduanya berjalan seimbang (hand in hand) dan dapat mengantar manusia meraih kebaikan dunia (hasanah fi al-Dunya) dan kebaikan akhirat (hasanah fi al-akhirah).
Dalam mengintegrasikan atau keseimbangan antara Imtak dan Iptek, peluang anak-anak Aceh Carong (pintar) semakin besar dan tidak ada alasan lagi untuk tidak menjadi carong.
Tinggal hanya membutuhkan niat, usaha keras dan kesabaran dari orang tua, guru, masyarakat, pemerintah Aceh serta peran ulama juga sangat menentukan dalam keberhasilannya.
‘Aceh Carong’ yang digagas Pemerintah Aceh sudah mulai dilaksanakan sejak 2017 dan berlanjut hingga saat ini di 23 kabupaten/kota di Aceh.
Diharapkan dapat terwujud demi mencerdaskan dan memartabatkan masyarakat dalam kancah percaturan baik tingkat regional, nasional maupun internasional.
Baca juga: Kemajuan IPTEK untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Inovasi
Baca juga: Tim PKM Iptek Unsam Latih Warga Cara Gunakan Kompor Tenaga Surya, Begini Keunggulannya