Idul Adha 2022
Penjelasan Abu Mudi Tentang Hukum Membagikan Daging Kurban ke Gampong/Desa Lain
Bagaimana hukumnya membagikan daging kurban ke Gampong/Desa lainnya di luar tempat penyembelihan? begini penjelasan Abu Mudi Samalanga
Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Amirullah
Penjelasan Abu Mudi Tentang Hukum Membagikan Daging Kurban ke Gampong/Desa Lain
SERAMBINEWS.COM – Bagaimana hukumnya membagikan daging kurban ke Gampong/Desa lainnya di luar tempat penyembelihan?
Terkait hal ini, Abu Syekh Haji Hasanoel Bashry atau dikenal Abu Mudi telah mengulas terkait hukum membagikan daging kurban ke desa tetangga atau daerah lain.
Pemerintah telah menetapkan hari raya Idul Adha 1443 H jatuh pada 10 Juli 2022.
Artinya, pelaksanaan pemotongan hewan kurban sendiri dilakukan pada 10 Dzulhijjah (Idul Adha), dan di hari tasyrik tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Atau pada 10 Juli 2022 (Idul Adha) dan 11,12,13 Juli 2022.
Baca juga: Kurban dan Solidaritas Sesama Muslim
Namun, bolehkan membagikan daging kurban ke Gampong/Desa tetangga atau daerah lain?
Mengenai persoalan ini, Abu Syekh Haji Hasanoel Bashry atau dikenal Abu Mudi pun menjawab dalam kanal Youtube-nya, MUDI TV.
“Hukum naqal ataupun membagi daging kurban kepada desa atau tempat-tempat yang bukan tempat disembelih hewan kurban tersebut?.” kata Abu Mudi yang membaca pertanyaan.
Abu Mudi mengatakan bahwa membagikan daging kurban sama seperti zakat.
“Di sini sama dengan zakat,” jelas Abu Mudi
Abu Mudi pun menjelaskan, zakat tidak boleh naqal (memindahkan), sehingga daging kurban tidak boleh dibagikan kepada daerah yang lain selain di tempat hewan tersebut disembelihkan.
“Tidak boleh dibagikan kepada desa atau kecamatan yang lain selain di tempat yang disembelih,” jelasnya.
Baca juga: 12 Jam Sebelum Disembelih, Hewan Kurban Harus Dipastikan Bebas dari Penyakit Mulut dan Kaki
Pembagian Hewan Kurban Berdasarkan Status Hukumnya
Dalam pelaksanaan kurban, tentu saja ada beberapa ketentuan serta ilmu yang harus dipahami, baik bagi mereka yang sedang berkurban maupun panitia pelaksananya.
Satu di antaranya ialah ketentuan pembagian daging hewan yang dikurbankan.
Menurut Ustadz Masrul Aidi, ketentuan pembagian hewan kurban bisa berbeda-beda, sesuai dengan status hukum dari kurban tersebut.
Lalu, apa saja hukum kurban serta bagaimana ketentuan pembagian daging hewan kurban yang dimaksud?
Hukum kurban
Ustad Masrul Aidi yang dihubungi oleh Serambinews.com pada Kamis, 16 Juli 2020 lalu pernah memberikan penjelasannya mengenai hukum kurban serta pembagian daging hewan yang dikurbankan.
Dalam penjelasan seputar pelaksanaan kurban itu, ulama muda Aceh ini memaparkan ada beberapa jenis hukum kurban.
Dijelaskan Ustad Masrul, hukum kurban pada dasarnya adalah sunnah muakat.
Dalam ketentuan hukum ini, sifatnya adalah kifayah menurut mayoritas para ulama, yakni Imam Maliki, Hambali dan Syafi’i.
"Makna sunat kifayah adalah setiap jiwa disunatkan untuk berkurban," jelas Ustad Masrul.
Baca juga: Sejarah Kurban Nabi Ibrahim AS dan Keteguhan Hati Nabi Ismail AS
Sementara itu, lanjutnya, hukum kurban bisa menjadi makruh bagi yang mampu tapi tidak melaksanakan.
Namun jika ada salah seorang dalam satu keluarga yang mampu melaksanakan kurban, maka hukum makruh terhadap anggota keluarga lainnya menjadi gugur.
Selain itu, hukum kurban juga bisa menjadi wajib.
Ketentuan hukum ini, ujar Ustad Masrul, disebabkan karena nazar.
Ustaz Masrul Aidi pun memberi contoh bagaimana hukum kurban bisa menjadi wajib karena sebab nazar.
Misalnya, jika seorang memiliki seekor kambing dan berkata bahwa kambing itu adalah kurban, maka jatuhlah hewan tersebut menjadi kurban yang wajib karena nazar.
“Seumpama nazar adalah seorang yang memiliki seekor kambing misalnya, mengatakan "kambing ini adalah kurban.
Ucapan demikian menjadikan kambing tersebut sebagai kurban yang wajib karena sebab nazar,” terang Ustaz Masrul.

Pembagian Daging Kurban
Ustad Masrul juga turut menyampaikan soal ketentuan pembagian hewan kurban.
Ketentuan pembagian hewan kurban, katanya, berbeda menurut status (hukum) kurban.
Lebih lanjut Ustaz Masrul memaparkan, jika kurban itu berstatus wajib, maka wajiblah hewan kurban itu disedekahkan seutuhnya.
Mulai dari kulit, tanduk, daging dan juga tulangnya.
Sedangkan kurban dengan status sunnah, yang paling utama peruntukannya dibagi menjadi tiga bagian.
“Sebagian besar disedekahkan, sebagian untuk konsumsi keluarga dan handai taulan, dan sebagiannya lagi untuk disimpan sebagai stok pangan saat dibutuhkan,” papar ustaz Masrul.
Ustaz Masrul menambahkan untuk kurban status sunnah, tidak ada batasan berapa banyak pemilik boleh menerima jatahnya.
“Bahkan ada pendapat yang mengatakan pemilik boleh mengambil seluruhnya, mungkin ini kategori qurban minimalist,” tambahnya.
Berbeda pada kurban status wajib, bila pemilik atau ahli waris pemilik memakan sedikit saja, maka wajib diganti dengan daging lain.
Daging yang diganti ini kemudian disedekahkan kepada fakir dan miskin.
Hal lainnya juga disampaikan oleh ustaz Masrul berkaitan daging hewan kurban.
Baik kulit dan bagian lain dari hewan qurban, tidak boleh dijual dan dijadikan sebagai ongkos bagi panitia penyembelih.
Apabila ini dilakukan, maka hukum kurban menjadi batal. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)