Kupi Beungoh
Aceh dan Kepemimpinan Militer (I) - Dari Klasik Hingga Kontemporer
Di Aceh dan Papua, penunjukan aparat keamanan menjadi pejabat pemerintahan seringkali disoroti dengan menggunakan perspektif “kawasan konflik”
Oleh: Ahmad Humam Hamid *)
BEBERAPA hari yang lalu Pemerintah Pusat membuat keputusan penting untuk Aceh dan Indonesia.
Sesuai dengan kebijakan yang telah diputuskan tentang pelaksanaan Pemilu-Pilpres pada tahun 2024.
Maka masa kosong jabatan gubernur Aceh yang berakhir pada awal Juli 2022, digantikan dengan penjabat gubernur yang ditunjuk untuk melaksanakan aktivitas pemerintahan sampai dilantiknya gubernur terpilih yang baru pada tahun 2025.
Penunjukan Mayjen (Pur) Achmad Marzuki, sekalipun yang bersangkutan secara hukum telah menjadi ASN, namun hakikat militer yang baru saja dilepaskannya tidaklah serta merta menghilangkan kesan bahwa Marzuki tetap saja militer yang sudah tidak aktif.
Secara sosiologis, panggilan yang akan disandangnya dalam percakapan sehari-hari tetap saja berkisar antara pak gubernur, pak peje (pj), atau Jendral.
Panggilan Jenderal itu tetap saja tidak salah, walaupun sudah pensiun, tidak perlu diperdebatkan, karena itu terjadi dimana-mana dan biasa.
Kecuali waktu kecil dan remaja, kehidupan Marzuki selebihnya dijalani dalam kedinasan militer, mulai dari Akademi Militer dan karir berikutnya.
Sekalipun ketika ia ditunjuk menjadi Penjabat Gubernur Aceh, jabatan karir yang disandangnya adalah staf ahli Menteri Dalam Negeri bidang Politik dan Keamanan.
Namun masyarakat Aceh mengenal Marzuki sebagai mantan Panglima Daerah Militer Iskandar Muda.
Memang, penunjukan polisi atau tentara menjadi penjabat gubernur atau penjabat bupati/wali kota menimbulkan perbincangan ramai di tingkat nasional, pemerintah terus membuat keputusan dengan alasan yang juga tak kurang dalilnya.
Kontroversi itu umumnya menyangkut dengan perdebatan tentang aturan yang ada, maupun kekhawatitaran tentang mimpi buruk pelanggaran HAM pada masa Orde Baru.
Baca juga: Sah Menjabat, Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki Silaturahmi ke Wali Nanggroe
Di Aceh dan Papua, penunjukan aparat keamanan menjadi pejabat pemerintahan seringkali disoroti dengan menggunakan perspektif “kawasan konflik”.
Bagi yang tidak setuju, pemerintah pusat dituduh menerapkan “pendekatan keamanan” dalam menempuh masa tunggu Pemilu dan Pilpres 2024.
Rekam Jejak Sejarah Aceh
Terlepas dari berbagai kontroversi yang ada, yang pasti Mayjen (Purn) Ahmad Marzuki hari ini telah dilantik dan mulai bekerja sebagai pelaksana pemerintahan tertinggi di Aceh.
Suatu hal yang layak didiskusikan adalah apapun status yang melekat dengan Aceh, sejak dulu hingga kini, apakah Aceh pernah mempunyai dan berurusan dengan pimpinan yang berlatarbelakang militer, baik yang ditunjuk maupun yang dipilih?
Jika ada, bagaimana rekam jejak, dan dimana tempat mereka dalam sejarah Aceh?
Kapan dan dalam waktu yang bagaimana mereka melaksanakan tugasnya?
Secara umum sejarah pemerintahan Aceh, mungkin semenjak sejarah Aceh tertulis, kepemimpinan militer adalah sesuatu yang tidak luar biasa, untuk tidak disebutkan militeristik.
Sejarah menceritakan, umumnya legitimasi kekuasaan tidak pernah diperoleh dengan kekuatan metafisik, baik melalui agama, apalagi mitos yang dipercaya, dipelihara, dan dipegang teguh secara turun temurun.
Baca juga: Profil Mayjen TNI Achmad Marzuki, Pj Gubernur Aceh yang Istrinya Pernah Nangis Tinggalkan Daerah Ini
Eksistensi raja ataupun struktur unit pemerintahan teritorial Aceh masa lalu lebih berbau “panglima” ketimbang administrator atau pemimpin biasa.
Pergantian kekuasaan seringkali terjadi melalui kekerasan yang dicirikan oleh kekuatan fisik, keberanian, dan darah.
Sejarah juga menceritakan masa-masa kejayaan Aceh masa lalu berasosiasi kuat dengan para raja yang berwawasan, berwatak, bertindak, dan berperan militeristik.
Berbeda dengan kepimpinan lokal di Eropa yang berbasis pada penguasaan tanah, para uleebalang (hulubalang) Aceh umumnya adalah panglima lokal.
Eksistensi panglima lokal-hulubalang, sangat tergantung kepada manajemen kekerasan yang dijalankan, berikut dengan dengan kewajiban menyerahkan upeti kepada raja.
Seperti ditulis oleh Siegel (2000) secara individu, para hulubalang bersaing secara internal dengan bawahannya atau anggota komunitasnya, dan secara eksternal dengan hulubalang lain yang berdekatan dengannya.
Persaingan itu lebih berbasis kepada penguasaan sumber daya, seperti penguasaan pusat pedagangan kawasan, pemungut pajak, dan menjadi broker perdagangan hasil bumi.
Terlepas dari berbagai bukti empirik, secara lebih sederhana yang dimaksud dengan kepemimpinan militer dalam tulisan ini adalah pemimpin yang mempunyai latar belakang militer, maupun yang mempunyai corak pemerintahan “millitary style leadership”- gaya kepemimpinan militer yang dapat saja dilakukan oleh pemimpin dari kalangan sipil.
Baca juga: Pj Gubernur Aceh: Aceh Bermartabat karena Dukungan Ulama, Ini Harapan Tu Sop kepada Achmad Marzuki
Ada banyak deretan nama pemimpin atau kepemimpinan militer yang pernah dialami Aceh semenjak masa Aceh klasik sebelum zaman kolonial, pada masa kolonial, pada masa awal kemerdekaan, dan pada masa Orde Baru.
Mereka memimpin dalam tantangan dan semangat zaman yang di dalamnya berlaku hukum kebaharuan, gagal, atau berhasil.
Jika sejarah Aceh klasik dibuka dengan melihat kepada keberadaan dan kiprah para pemimpinnya, maka paling kurang didapatkan tiga orang yang mempunyai wawasan kemiliteran yang sangat kuat.
Memang benar, aksioma kerajaan dan raja pada masa dahulu, bahwa raja disamping kepala pemerintahan, adalah panglima perang yang sesungguhnya.
Raja tidak hanya pimpinan militer “de jure”, tetapi pada raja juga melekat predikat petempur, ahli strategi, dan bahkan panglima perang lapangan yang sesungguhnya.
Dalam konteks Aceh klasik, terutama mengikuti senarai kerajaan Aceh, dari 33 Sultan yang pernah memerintah, paling kurang terdapat 3 orang yang sangat layak disebut raja “tentara”.
Ketiga mereka tercatat dan diakui sebagai individu yang mempunyai wawasan kemiliteran, mempunyai nyali untuk bertempur, dan bahkan menjadi panglima perang yang diakui dan ditakuti oleh lawan yang paling tangguh sekalipun.
Mereka adalah Ali Mughayatsyah, Alaidin Riayat Syah Al Qahhar, dan Iskandar Muda.
Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (XXIV) - Salahkah Putin Menuduh Barat Salah?
Mereka mempunyai pertalian darah, baik sebagai anak dan cucu, sehingga tidak heran DNA perang yang dimiliki oleh yang tertua menurun kepada keturunan berikutnya.
Ketika Belanda memerangi Aceh pada dekade ke delapan abad ke 19, praktis praktik penjajahan total seperti yang diterapkan di kawasan lain di Indonesia, tidak dengan serta merta dapat diterapkan di Aceh.
Aceh tidak pernah aman dan nyaman bagi Belanda.
Sebagian besar kekuatan Belanda digunakan untuk memberantas perang gerilya.
Hampir semua penguasa Belanda untuk Aceh -gubernur, yang ditunjuk adalah militer Belanda.
Di antara sekian banyak gubernur militer Belanda yang ditunjuk, adalah Jenderal Van Heustz, yang dalam sejarah Belanda dianggap paling berhasil “mengurus” Aceh.
Van Heustz terkenal sebagai “pembantai” rakyat Aceh.
Ia juga terkenal karena mampu menggunakan pikiran ilmuwan-orientalis Snouck Horgurunye dalam memerangi Aceh, memerintah, dan menjalankan politik penjajahan.
Van Heustz juga tercatat dalam sejarah militer Belanda sebagai jenderal pertama yang mendesign dan menggunakan satuan operasi khusus- pasukan elit, “marchouse,” yang mencari dan mengejar petempur Aceh ke pelosok hutan belantara dan pergunungan terpencil.
Baca juga: Haji Uma Tinjau Tanah Bersurat Era Kolonial Belanda yang Disengketakan Orang Lain
Praktis pada masa Van Heutsz, Aceh lebih dapat “diperintah”, terutama dengan dilancarkannya politik pasifikasi yang lebih ditujukan baik untuk peningkatan pendapatan Belanda maupun untuk kemakmuran pribumi.
Terbukti sejumlah infrastruktur penting dan inisiatif penanaman modal asing dimulai ketika Van Heustz berkuasa.
Abu Beureueh, Syamaun Gaharu, Hingga Hasan Saleh
Tidak banyak yang terjadi dengan kepemimpinan militer pada ujung penjajahan Belanda dan perang dunia ke II, berikut dengan kemerdekaan Republik Indonesia.
Aceh kembali mendapat pemimpin militer, ketika pemimpin pejuang Aceh melawan Belanda, Tgk. Muhammad Daud Beureueh “ditentarakan” oleh pemerintah pusat menjadi gubernur militer dengan cakupan wilayah, Aceh, Langkat, dan Tanah Karo.
Menjabat sekitar satu setengah tahun, Beureueh yang kecewa dengan pemerintah pusat, karena membubarkan provinsi Aceh menjadi bagian dari provinsi Sumatera Utara, ia memimpin pemberotakan DI/TII pada tahun 1953.
Tak lama setelah pemberontakan DI/TII, Sukarno “mengakui” kesalahannya dengan mengembalikan status provinsi untuk Aceh dengan gubernur Ali Hasymi.
Pemberontakan DI/TII berada pada sebuah status yang tidak menentu antara tetap melanjutkan pemberontakan atau mencari solusi yang lebih kreatif untuk mendapakan sebuah “end game”- yang bermartabat untuk kedua belah pihak.
Baca juga: Ulama Aceh Jaya Ajak Masyarakat Dukung dan Beri Masukan Pj Gubernur Aceh
Di samping kepemimpinan sipil Ali Hasymi yang mengurus pemerintahan adalah dua manusia Aceh yang berseberangan, namun mereka adalah dua tentara yang sangat berjasa dalam mencari solusi itu.
Kedua mereka adalah Syamaun Gaharu, penguasa militer dari pihak pemerintah pusat, dan yang kedua adalah Hasan Saleh, panglima perang DI/TII yang juga berstatus Tentara Nasional Indonesia desersi.
Gaharu yang mendapat mandat penuh dari pemerintah pusat untuk mencari solusi kreatif dengan tetap menjaga Aceh tetap dalam pangkuan NKRI, bertemu dengan Hasan Saleh dengan tim “Dewan Revolusi” nya yang makar terhadap kepemimpinan DI/TII.
Namun keunikan Hasan Saleh, ia tetap konsisten dengan martabat Aceh, dan juga teguh dengan NKRI.
Kristalisasi dari dua arus yang mereka wakili akhirnya melahirkan pemberian status Provinsi Daerah Istimewa Aceh oleh pemerintah pusat, terutama dalam hal agama, pendidikan, dan adat istiadat.
Pemberontakan Aceh akhirnya berhenti dengan kepiawaian Jenderal M. Yasin “mengalah” dan membujuk Tgk. Muhammmad Daud Beureueh untuk turun gunung.
Upaya itu berhasil, dan sekalipun Jenderal Yassin, bukan gubernur penguasa daerah, dengan status daerah perang pada saat ia menjabat panglima, ia sangat layak dimasukkan dalam sebagai mata rantai penting dalam kepemimpinan militer di Aceh.
Era Nyak Adam Kamil Hingga Muzakir Walad
Tidak banyak yang terjadi dalam tahun-tahun berikutnya, kecuali penunjukan dua orang pejabat gubernur yang berlatar belakang militer, Nyak Adam Kamil, dan Hasbi Wahidi.
Kepemimpinan mereka kemudian dianjutkan oleh overstee- Letkol A. Muzakir Walad yang menjadi gubernur definitif dan menjabat selama 2 periode.
Walaupun Muzakir hanya berpangkat Letkol CPM, tetapi ia adalah seorang gubernur yang sangat mampu membawa Aceh keluar dari kemelut.
Pekerja sekaligus pembelajar keras, Walad, walaupun awalnya dianggap “tidak pandai”.
Baca juga: VIDEO - Wawancara Ekslusif dengan Sofyan Dawood Usai Semobil Dengan PJ Gubernur Aceh
Dalam perjalanan karirnya kemudian, ia “sangat pandai” memilih “orang pandai” dan setia bekerja untuknya dalam membangun Aceh.
Sekalipun ketika ia menjabat pangkatnya hanya Letnan Kolonel, ketika ia menjalankan tugasnya, termasuk mengakhirinya, banyak petinggi dan pengamat luar negeri menganggap Walad adalah seorang Jenderal yang sukses.
Nihil di Orde Baru, Hingga Achmad Marzuki yang Dapat Dukungan Politis
Pasca-Muzakir Walad, terutama dalam era Ore Baru Suharto tidak ada gubernur atau pejabat gubernur yang berlatar belakang militer.
Hal itu berubah pada tahun 2015, ketika Mendagri Cahyo Kumulo menunjuk Jendral Sudarmo menjadi pejabat gubernur selama enam bulan, sampai dengan gubernur Irwandi Yusuf dilantik.
Ada sejumlah Panglima Kodam I yang berprestasi yang walaupun bukan Aceh “by blood”, namun telah menjadi orang Aceh “by heart” yang berkeinginan untuk menjadi gubernur.
Keinginan itu oleh pak Harto- gubernur pada masa Orde Baru di seluruh Indonesia, walaupun dipilih oleh DPRD, tetap saja indidvidu yang disetujui Suharto,- tidak pernah menyetujuinya.
Dari beberapa Pangdam, yang beraspirasi menjadi gubernur Aceh, dua orang yang sangat terkenal adalah Jendral Aang Kuneifi dan Rivai Harahap, yang bahkan kedua mereka tetap saja merasa dan dianggap sebagai orang Aceh sampai akhir hayat.
Baca juga: Silaturahmi Danrindam IM ke Serambi Indonesia, Kodam IM Ingin Remaja Aceh Banyak yang Lulus TNI
Kunaifi bahkan kemudian dipilih oleh pak Harto menjadi gubernur Jawa Barat yang sangat berhasil, dan tercatat dalam sejarah provinsi itu.
Apa yang membuat Jendral Marzuki berbeda, yang kali ini menjadi Pejabat Gubernur Aceh adalah, sekalipun ia berstatus penjabat, namun mengingat masa tugasnya yang lebih dari seribu hari, maka de facto ia adalah Gubernur Aceh.
Hal lain yang juga membuat Marzuki berbeda adalah dukungan politis dari daerah.
Salah satu alasan kuat pengangkatannya oleh Presiden Jokowi adalah dukungan dan rekomendasi yang diberikan oleh DPRA.
Jenderal Marzuki dengan demikian, merupakan mantan Pangdam Iskandar Muda pertama yang berstatus sebagai pemimpin pemerintahan tertinggi di Aceh.
Secara hukum, Pejabat Gubenur Marzuki memperoleh legitimasi, dan bahkan kuat secara politik.
Legitimasi selanjutnya sangat tergantung kepada kemampuannya menavigasi pemerintahan dan pembangunan Aceh yang mempunyai tantangan khusus dan tersendiri pula.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI