Kupi Beungoh
Pembangunan Perdamaian di Aceh
Lebih menyedihkan, hampir setiap tahun Aceh selalu membukukan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) di tengah jeritan rakyat di kampung-kampung
Oleh: Yunidar Z.A*)
ACEH sebagai daerah yang kaya dengan hasil alam, mineral, minyak dan gas bumi, batu bara, perkebunan, pertanian dan hasil lautan berlimpah seyogyanya memberikan nilai lebih dan kesejahteraan bagi warga masyarakatnya.
Namun nyatanya, sebagian masyarakat Aceh masih hidup dalam kemiskinan, perumahan tidak layak huni, sanitasi, air bersih tidak memadai.
Bahkan di Kota Banda Aceh saja, yang notabene ibu kota provinsi, fasilitas air bersih masih kerap menjadi keluhan warga.
Pengangguran, banyak penyandang masalah kesejahteraan sosial, penyakit masyarakat, game online, perjudian online, narkoba, budaya nongkrong di warkop, adalah persoalan klasik yang belum terselesaikan dengan baik.
Belum lagi bicara pendidikan yang belum menjangkau semua kalangan, prasarana pendidikan belum memadai, serta pendidikan agama yang baru sebatas budaya alamiah.
Asumsi awal boleh dikatakan bahwa selama ini kepemimpinan formal di Aceh tidak optimal bahkan “gagal” dalam melaksanakan amanah pengelolaan terhadap sumberdaya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia di Aceh.
Tingginya angka kemiskinan di tengah kucuran dana pembangunan yang tergolong besar, menjadi bukti adanya kesalahan dalam tatakelola pemerintaha, serta krisis kepemimpinan pemerintahan lokal di Aceh.
Lebih menyedihkan, hampir setiap tahun Aceh selalu membukukan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) di tengah jeritan rakyat di kampung-kampung yang belum tersentuh jalan aspal.
Tentu semua ini patut dipertanyakan sebagai koreksi agar di masa yang akan datang permasalahan ini dapat diatasi dengan baik.
Sebenarnya siapa yang bertanggung jawab terhadap terserapnya anggaran daerah (APBA)? Bagaimana solusi agar terserapnya anggaran di Aceh sesuai dengan tatakelola pemerintahan yang jujur dan amanah?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam berbagai diskusi warga, di grup-grup WA maupun media sosial.
Kemajuan teknologi komunikasi membuka halaman baru untuk mendapatkan berbagai macam informasi yang berlimpah baik informasi yang dibutuhkan maupun informasi yang tidak diperlukan.
Setiap waktu pembaharuan informasi menjadi suatu keniscayaan.
Inilah kemudian mendorong terwujudnya transparansi dalam berbagai bidang kehidupan utamanya terkait anggaran pembangunan bagi publik.
Bayangkan saat ini jarak dunia yang sangat jauh menjadi terhubung dekat, tidak lagi ditentukan oleh keberadaan seseorang namun lebih ditentukan oleh minat, kesamaan pikiran, dan bahkan dalam mencapai tujuan bersama.
Para perantau Aceh di luar, sadar betul dan mulai tergugah hati dan pikirannya untuk membantu Aceh agar lebih baik dan sejahtera.
Salah satunya dengan cara membangun link komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan dan memberikan solusi-solusi permasalahan yang sedang dihadapi Pemerintah Aceh dan permasalahan sosial dalam masyarakat Aceh.
Dalam revolusi teknologi memungkinkan keterlibatan partisipasi lebih luas dari kepedulian sesama.
Sesungguhnya dengan terbukanya informasi transparansi dan intervensi dari berbagai pihak yang berkepentingan akan memungkinkan sebagai problem solver terhadap permasalahan kemiskinan dan lain-lain di Aceh.
Sehingga memudahkan untuk bangkit dari ketertinggalah akibat konflik kekerasan pada masa lalu dan bencana alam gempa bumi yang disertai gelombang tsunami pada tahun 2004 silam, bencana terdahsyat sepanjang sejarah.
Dunia sekarang seperti terlipat dalam suatu wadah yang sangat kecil bahkan ia berada dalam diri manusia dalam berinteraksi mengungkapkan, bersikap, bertingkah, berperilaku dan banyak orang berharap dunia yang terbuka ini dapat membuat masyarakat terbuka dalam berbagai permasalahan sehingga dapat dipecahkan apalagi permasalahan terkait dengan kehidupam sosial manusia.
Ilmu pengetahuan sekarang ini berkembang demikian pesatnya, bahkan kadang kalanya dapat dikatakan akurat dan rasionalitas sehingga permasalahan social dapat diatasi dengan rekayasa social atau memungkinkan untuk mensejahterakan seluruh manusia di bumi. Pendidikan yang berpiak untuk kemanusiaan, mendidik manusia, dalam suatu peradaban dunia yang benar-benar baru untuk saling mengasihi dan berperadaban civilized.
Ilmu pengetahuan tekah memproduksi rasionalitas untuk memudahkankan manusia sebagai insan kamil dan membuat manusia sejahtera dalam suatu peradaban kemanusiaan. Namun demikian proses dan kebuan alam terus baru dalam lingkungan dan alam yang baru mnyesuaikan diri dengan sangat cepat dan untuk hal tersebut manusia sangat mampu berevolusi.
Baca juga: Migas dan Kemiskinan Aceh
Baca juga: Menjawab Bang Risman tentang Kemiskinan dan Apresiasi untuk Aceh
Kita berharap masyarakat Aceh dapat bangkit Bersama mulai menata diri dan lingkungannya untuk membangun kembali kepercayaan terhadap pemimpin, demokrasi, gerakan masyarakat madani.
Demokrasi lokal diharapkan dapat membantu terwujudnya akuntabilitas yang efektif, keterbukaan, musyawarah dalam membangun legitimasi kepemimpinan.
Bagaimana berkerja untuk masyarakat dengan mengedepankan peran aktif masyarakat, forum – furom dalam masyarakat, tim ahli yang professional dalam bidangnya akan membatu upaya-upaya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan pembangunan ekonomi dan pembangunan perdamaian.
Duh, apa sebenarnya permasalahan sesunggguhnya di Aceh terkait dengan pembangunan, perdamaian dan kemiskinan dan mengapa permasasalahan kemiskinan fenomena yang sangat mengkhawatirkan dan belum selesai dalam masa perdamaian.
Kemiskinan menurut Wikipedia adalah keadaan saat ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.
Kemiskinan merupakan masalah global.
Sebenarnya akar permasalahan selain kepemimpinan yang lemah adalah masyarakat tidak pernah dilabatkan “musyawarah” dalam mufakat penganggaran.
Selama ini pembangunan dilakukan secara parsial tidak berlandaskan pertanggungjawaban yang sistematis, perseteruan legislatif dan eksekutif setiap tahun anggaran membuktikan adanya masalah tersebut.
Oleh karenanya perlu dukungan kelompok civil society dan forum-forum warga untuk ikut ambil bagian partisipasi.
Pertama, partisipasi yang sekarang diagungan namun hanya menjadi lipservis semata, baik permasalahan dalam regulasi dan masalah kebijakan lainnya yang hanya dibuat dan direncanakan sepihak oleh elit yang berkepentingan saja, padahal, pada hakikatnya kebersamaan dapat menutup kekurangan keterbatasan manusia.
Ke Dua, Pemimpin dalam kepemimpinan layaknya sebagai motivator dan penggerak untuk menggerakkan semua elemen masyarakat baik yang structural maupun yang diakar rumput, memberikan semangat ketauladanan untuk masyarakat sehingga semuanya ambil bagian dalam pembangunan dan penuntasan kemiskinan.
Ke Tiga, mendorong kesadaran semua pihak bergotongroyong bersama untuk melihat bahwa pada akar permasalahan dan penyelesaian secara sistematis secara ilmu pengetahuan dan perlunya moral keihklasan dengan mengesampingkan berbagai kepentingan dan ego sehingga akan memberikan manfaat kepada masyarakat secara luas.
Ke Empat, Dalam masyarakat terbuka, globalisai dunia. Kita tidak dapat menutup diri terhadap apa yang dilakukan, suatu keniscayaan transparan anggaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) dan Dana Otonomi Khusus Aceh pada tahun 2022 mencapai 17 triliun.
Anggaran yang besar namun bagaimana penggunaan dan peruntukannya dan bahkan masih ada yang hidup di bawah kemisinan, berarti ada yang salah urus, ketidak terbukaan anggaran publik, masih keinginan elit yang tidak transparan dalam tatakelola pemerintahan akan menjadi ‘cemeohan’ dan ketidak percayan publik, proyek yang bermasalah, kepedulian yang abai dan kegiatan yang tidak secara langung bermaanfaatnya untuk masyarakat luas agar kedepan diusangkan saja.
Akhirnya untuk keberlanjutan perdamaian di Aceh, bukan hanya tidak adanya kekerasan dan perang tapi bagaimana perdamaian positif seperti ditulis Tokoh Perdamaian Johan Galtung terpenuhinya rasa aman dan keadilan ekonomi dari system yang berlaku, hingga terhapusnya diskriminasi ras, etnis dan agama oleh struktur social, masyarakat hidup dalam perdamaian dan mendapatkan semua kebutuhan hidup, sejahtera.
Membuka ruang dialog dalam partispasi masyarakat lebih luas menjadi urgen dalam menyampaikan program dengan cara partisipatif, mengikut sertakan pemangku kepentingan, mendorong kepercayaan publik terhadap kepemimpinn local suatus keniscayaan hal yang sangat penting jua memperbaiki hubungan dengan masyarkat akar rumput, keadaan dan memberikan perhatian terhadap masyarakat miskin.
Gerakan bangkit bersama untuk kesejahteran menggunakan metode partispatif, memberikan motivasi berkelanjutan kepada masyarakat dengan mendukung perekonomian masyarakat UKM, ekonomi kreatif dan produk-lokal sebagai basis ekonomi dalam masyarakat yang dapat mewujudkan tidak SILPA Anggaran Tahunan, dan Pembangunan Perdamaian di Aceh suatu keniscayaan.
*) PENULIS adalah alumni Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada D.I Yogyakarta.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.