Opini

Nilai Tawar Aceh di Mata Jakarta

Sudah banyak ‘harga diri’ Aceh tidak dianggap, terutama pada masa Presiden Joko Widodo yang notabene pernah tinggal dan bertugas di Aceh Tengah

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Nilai Tawar Aceh di Mata Jakarta
FOR SERAMBINEWS.COM
HERMAN RN, Ketua Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (Adobsi) Provinsi Aceh, mengabdi di Universitas Syiah Kuala

OLEH HERMAN RN, Ketua Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (Adobsi) Provinsi Aceh; mengabdi di Universitas Syiah Kuala

ACEH di mata Jakarta (Pemerintah Pusat) sudah tidak ada nilai lagi.

Harga Aceh di mata nasional ambruk.

Jangankan sebelah mata, di ujung mata pun mungkin Aceh sudah tidak dipandang lagi oleh Jakarta.

Puncak terakhir hilangnya nilai tawar Aceh di mata Jakarta ada pada dua hal: (1) hilangnya elite Aceh dari posisi menteri dalam kabinet Pemerintahan Jokowi; (2) dihapusnya penerbangan internasional dari Bandara (Internasional) Sultan Iskandar Muda.

Dua hal ini puncak dari segala hal yang sudah tidak dihargai lagi oleh pusat.

Sebelumnya, sudah banyak ‘harga diri’ Aceh tidak dianggap, terutama pada masa Presiden Joko Widodo yang notabene pernah tinggal dan bertugas di Aceh Tengah.

Harus diketahui, hadirnya putra Aceh dalam kabinet kementerian sudah ada sejak Pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Sebut saja nama Abdul Latief yang pernah menjadi Menteri Tenaga Kerja (1993-1998) lalu dipercaya sebagai Menteri Pariwisata (1998).

Setelah rezim Orba tumbang, berganti dengan Pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), putra Aceh masih dipercaya masuk dalam jajaran kabinet kementerian.

Baca juga: Pemuda Pancasila Aceh Harap Presiden Akomodir Kembali Perwakilan Aceh di Kabinet Indonesia Maju

Baca juga: FOTO - Wajah Enam Menteri dan Lima Wakil Menteri Baru Kabinet Indonesia Maju

Tidak tanggung-tanggung posisi menteri yang diberikan kepada Aceh.

Meskipun Aceh masih dalam kondisi konflik bersenjata, justru putra Aceh diberikan posisi Menteri Urusan Hak Asasi Manusia (HAM).

Dahsyatnya Gus Dur memberi apresiasi untuk Aceh.

Setelah konflik reda, Pemerintah Indonesia berdamai dengan Gerakan Aceh Merdeka, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga memberikan posisi menteri bagi putra Aceh.

Hal ini terus berlanjut hingga masa periode pertama Presiden Joko Widodo.

Namun, sejak tahun 2022, Jokowi mulai tidak mempercayai putra Aceh dalam kabinet menterinya.

Hal ini membuktikan semakin hilangnya nilai tawar Aceh di mata Pemerintah Pusat atau semakin tidak dipandangnya Aceh sebagai sebuah provinsi yang berdaulat.

Sebelum hilangnya putra Aceh dari posisi menteri kabinet Jokowi, Pemerintah Pusat juga menutup penerbangan internasional dari dan ke Bandara SIM.

Bandara kebanggaan masyarakat Aceh itu hanya tinggal label sebagai Bandara Internasional.

Penerbangan dengan rute internasional justru ditutup.

Tidak sampai di situ, harga tiket dari dan ke Aceh untuk penerbangan domestik juga naik lebih 200 persen dari harga sebelumnya.

Cara Jakarta membuat Aceh seperti ini sama saja menganggap Aceh sebagai daerah terisolasi, tidak boleh didatangi, harus dijauhi.

Siapa pula yang mau datang ke Aceh jika harga tiket naik drastis.

Lebih murah tiket bolak-balik Medan-Kualalumpur dibanding tiket dari Aceh ke Jakarta atau Aceh ke Medan.

Kita harus sadar bahwa jika suatu provinsi tidak memiliki rute penerbangan internasional, jangan harap ada wisatawan mancanegera datang ke provinsi ini.

Demikian sebaliknya, mana mungkin orang Aceh berani terbang ke luar negeri jika harus transit berkali-kali di provinsi lain, ditambah harga tiket yang sangat tinggi.

Pada akhirnya, perputaran uang di Aceh semakin sempit dan mengecil.

Objek wisata di Aceh bisa mati suri tanpa kunjungan turis nasional dan luar negeri.

Dengan demikian, imbas naiknya harga tiket dan ditutupnya rute penerbangan internasional berdampak luas bagi Aceh, menampar segaka sektor: ekonomi, pariwisata, perdagangan, dan lainnya.

Tidak berharganya Aceh di mata Jakarta juga terlihat saat Pemerintah Pusat membatalkan pembangunan kampus IPDN di Aceh.

Anehnya, Juru Bicara Pemerintah Aceh malah mengapresiasi keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang membatalkan IPDN Aceh.

Padahal, dengan hadirnya IPDN di Aceh, anak Aceh yang ingin melanjutkan studi ilmu pemerintahan secara khusus tidak mesti lagi harus ke luar Aceh, karena IPDN sudah ada di Aceh.

Generasi muda dari provinsi tetangga pun bisa memilih IPDN Aceh sebagai alternatif studi mereka.

Semua orang Aceh mesti sadar, bandar udara dan institusi pendidikan adalah vital bagi suatu daerah.

Dua hal ini akan membuka peluang perekonomian bagi Aceh.

Dua hal ini juga berpeluang membuka mata dunia terhadap Aceh.

Jika Bandara menjadi alasan kunjungan wisatawan, kampus akan menjadi alasan kunjungan pendidikan.

Harusnya Jubir Pemerintah Aceh paham itu, Gubernur Aceh dan anggota legeslatif juga harus mengerti hal tersebut.

Jangan malah sebaliknya, mengapresiasi keputusan pusat saat rute penerbangan internasional ditutup, harga tiket dinaikkan, dan kampus dibatalkan.

Pemerintah Pusat juga telah ‘menginjak’ harga diri Aceh sebagai sebuah provinsi yang istimewa dan memiliki undang undang pemerintah sendiri (UUPA).

Hal ini dapat dilihat dalam pembatalan Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 tentang bendera dan lambang Aceh.

Padahal, bendera dan lambang Aceh adalah mandat MoU Helsinki yang diperkuat juga oleh UUPA.

Selain soal bendera dan lambang, dalam UUPA juga disebutkan tentang kewenangan Aceh dalam mengatur kuota haji.

Namun, semua itu hanya di atas kertas.

Kewenangan haji bagi Aceh tidak teraplikasi hingga sekarang.

Aceh sebagai Serambi Mekkah hanya tinggal isapan jempol dan kenangan semata.

Belum selesai persoalan tersebut, Menteri Dalam Negeri membuat gaduh Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara melalui pengalihan status empat pulau di perbatasan Aceh Singkil dengan Sumatera Utara.

Kasus empat pulau yang disebut-sebut menjadi milik Sumatera Utara itu muncul tiba-tiba seakan menjadi isu yang disengaja untuk membuktikan Aceh bakal dipersempit dari sisi kewilayahan, tidak dihargai dari sisi elite politik, dinafikan dari sisi penerbangan, dan dianggap anak kecil dari sisi kewenangan haji, bendera, dan lambang.

Semua ini terbukti di depan mata dan terjadi pada masa Pemerintahan Nova Iriansyah, putra Aceh yang sudah menjadi politisi nasional.

Ketika Aceh dipimpin oleh mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka, kondisi Aceh tidak begitu ‘kupakluyak’.

Oleh karena itu, sudah saatnya Mayjen (Purn.

) Achmad Marzuki memperbaiki citra Aceh di mata nasional.

Jika hal ini berhasil diperbaki oleh Pj Gubernur, tentu bukan hanya soal memperbaiki nilai tawar Aceh di mata nasional, tetapi juga mengembalikan citra nasional di mata orang Aceh bahwa Aceh tidak mesti selalu harus dipimpin oleh politisi lokal.

Politisi nasional pun bisa memimpin Aceh dan memperbaiki Aceh meski ‘uji coba’ tersebut belum berhasil pada masa pemerintahan Nova Iriansyah sebagai politis nasional.

Harapan ini adalah harapan masyarakat Aceh secara umum.

Semua orang Aceh tidak menginginkan lagi ada pertumpahan darah.

Namun, Jakarta semakin sering mengkhianati Aceh.

Peristiwa DI/TII sudah berakhir dengan damai.

Konflik Gerakan Aceh Merdeka sudah tuntas dengan damai.

Namun, senjata M16 yang dipakai oknum untuk menghabisi nyawa warga Indrapuri pada 12 Mei 2022 kemarin hingga kini belum ditemukan pihak keamanan.

Hal ini menjadi bukti bahwa perdamaian bukan berarti semua senjata masa konflik sudah tidak bisa berbunyi lagi.

Dengan amat sangat, mohon Pak Mayjen tidak membiarkan peristiwa- peristiwa kelam masa silam terulang kembali di Bumi Serambi Mekkah ini.

Peristiwa Indrapuri tahun 2022, kasus Din Minimi pada masa Gubenur Zaini Abdullah, merupakan secuil bukti bahwa senjata-senjata yang sudah dipotong pada masa MoU tahun 2005 tidak diketahui persis ke mana bangkainya.

Kadang di buang ke dalam hutan.

Kadang masih terselip di balik rumput, di bawah kaki kita.

Seperti kata wartawan Belanda, Zentgraaf, meskipun ditanam granat pada setiap helai rumput yang tumbuh di tanah Aceh, Aceh tidak pernah bisa dihancurkan.

Maka itu, tolong Pak Mayjen perbaiki nilai tawar Aceh di mata Jakarta.

Siapa tahu, Pak Mayjen bukan sekadar cocok menjadi Pj Gub Aceh, tetapi memang layak mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh pada periode mendatang.

Baca juga: Dilantik Hari Ini, Berikut Daftar Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Indonesia Maju

Baca juga: Istana Sebut Reshuffle Kabinet Indonesia Maju Segera Dilakukan: Hanya Soal Waktu

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved