Jurnalisme Warga
Pidie Concert Week, Sajian Damai Band Aksirock
Ekspresi ABG dalam Citayam Fashion Week beberapa waktu lalu misalnya, banyak respons positif dari berbagai kalangan

OLEH YULIA ERNI, Pegiat aktif Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Pidie, melaporkan dari Lampoh Saka, Pidie
GENERASI muda memang kerap memancing perhatian dalam menyalurkan bakat.
Setiap aksi selalu menuai reaksi apakah positif, pun sebaliknya.
Ekspresi ABG dalam Citayam Fashion Week beberapa waktu lalu misalnya, banyak respons positif dari berbagai kalangan.
Terbukti, zebra cross Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta, tak hanya menjadi ajang fashion show jalan santai para remaja, tetapi Gubernur Anies Baswedan juga tak tahan.
Tak mau kalah, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil pun turun melenggang dengan topi Fedora yang seolah semua takluk oleh gaya modisnya.
Namanya saja ajang fashion, pertunjukannya, ya memang saling adu gaya.
“Itu Jakarta, Bung!” Aksi serupa juga sempat ditiru oleh remaja Aceh bertajuk “Bireuen Fashion Week” yang kemudian mendapat banyak kecaman dari masyarakat.
Bukannya cap jempol yang didapat, justru lahir istilah Aceh latah dalam makna negatif.
Meski tak persis sama, di Sigli sudah lama hadir ajang konser mingguan dalam balutan aliran rock dan jazz.
Baca juga: Ini Alasan Pedagang Tradisional di Pangwa Pidie Jaya Enggan Direlokasi
Baca juga: MRI Pidie Serahkan Mushaf untuk Balai Pengajian
Apa beda kedua event tersebut? Sebenarnya sama saja.
Sama-sama tindakan yang lahir dari inspirasi kawula muda.
Terinspirasi dari kisah hidup Kurt Cobain lewat album Nirvana, Never Mind, pada 6 Oktober 2018 sepuluh remaja Pidie mencetus ide cemerlang mendirikan band bernama Aksirock di tengah booming musik akustik dunia.
Tentu saja bernaung di bawah komunitas seni.
Singkat cerita, dua tahun setelahnya dari sepuluh personel hanya lima yang bertahan.
Ada Raja, Zul, Rahmad, Amar, dan Haikal.
Konser rutin yang kini masuk tahun keempat itu cukup sukses menghibur saban malam Minggu di Cafe Fresh Rock kota Sigli, terutama tampilan Rahmad, sang gitaris yang mengibas-ngibaskan rambut panjangnya sebagai wujud Kurt Cobain nomor dua (versinya).
Aksi tersebut terlihat cukup menyita perhatian hadirin yang diwakilkan lewat “saweran.
” Di sisi lain, Aksirock juga sering menawar lagu musisi/ band tanah air karena di Pidie sendiri tak terlalu klop dengan musik aliran keras, tepatnya Aceh sendiri masih enggang-enggan sungkan bersahabat dengan panggung musik.
Kita bisa tarik kesimpulan seperti tak tersedianya sekolah khusus musik, langkanya kursus musik, kurang dukungan terhadap pemain musik, dan problem lain sejenisnya.
Sebut saja yang paling kentara terbentur syariah lewat seruan bahwa musik itu haram.
Terlepas dari apa pun, bisa bermain musik di Aceh khususnya di Pidie merupakan sesuatu yang luar biasa.
Bersama Indofood, Aksirock masih terikat kontrak hingga Agustus nanti.
Usai menggelar konser pada minggu ketiga bulan Juli 2022 lalu, pamor band remaja yang dirintis dari nol itu mampu membunuh lengang terminal lama kota Sigli saat merdunya suara vokalis Raja melantunkan tembang milik RIF berjudul “Radja” dengan tarikan nyaring di bagian lirik “Aku bukan radja, kuhanya orang biasa yang selalu dijadikan alas kaki para sang raja, aku bukan radja.
” Lagu wajib ini selalu disajikan karena memiliki kenangan manis saat tampil satu panggung bersama band Ibu Kota J-Rock tahun 2018.
Meski bersama Slank tahun lalu gagal tampil karena terselip momen lain.
Sepenggal lirik di bagian reff tadi seperti ada magnet yang menarik pelintas untuk bertahan menemani di sana berteriak disambut gembira.
Yang berhadir ikut larut bernyanyi bersama sambil menggoyang kaki dan tangan mengikuti bawaan irama.
Sebagai mantan guru, saya salah satu penggemar mereka.
Sebagian lain asyik menyerbu tawaran paket produksi Indofood yang usai ditawar diskon seharga 10 ribu rupiah dalam kuota banyak serta didorong oleh rasa ingin selfie bersama anggota band lengkap sebagai bonus.
Generasi muda seharusnya memang begini.
Tak hanya pemuda bergaya, tetapi juga berkarya lewat ide-ide brilian di tengah hiruk-pikuk candu game online yang kian meresahkan.
Waktu luang tanpa diisi kegiatan- kegiatan positif rentannya terjadi kenakalan remaja, lebih-lebih di negeri darurat narkoba ini.
Bukan berharap mulukmuluk.
Menjadi remaja mandiri ala personel Aksirock patut diapresiasi.
Mamasuki tahun keempat, sejauh ini tak ada kendala yang begitu berarti.
Bisa jadi Pidie lebih leluasa karena tak punya julukan khusus.
Rencana, awal Agustus nanti bakal menyambung estafet konser mengusung tema “Pidie Concert Week” masih disponsori Indofood.
Apakah tema ini sebentuk dukungan terhadap Bireuen Fashion Week yang tengah disorot habis? Saya sendiri melihat, aktivitas yang dicap hura-hura begitu berisiko di ruang terbuka.
Belum lama, Pidie pernah menggusur kafe tepi jalan baru Pulo Pisang karena aksi goyang muda-mudi dianggap menodai syariat Islam.
Imbasnya, pelaku usaha dipaksa gulung tikar.
Dalam konser kemarin, untuk pertama kali saya tergerak hati menyodorkan pertanyaan tentang tujuan dan harapan Aksirock ke depan.
Amar, salah satu personel yang dikenal pendiam, dengan ramah menjawab, “Tidak seberapa yang didapat dan tak banyak yang diharap, hanya secuil nada yang disampaikan akan lebih indah dari kicauan.
” Dari kutipan mendalam itu, mungkin bukan hanya Aceh dan Indonesia, andai kita sedikit mengerti bahwa dunia saat ini sedang berada dalam fase stres global.
Hiburan adalah antisipasi terbaik buat juga-jaga agar sesuatu buruk lainnya tidak menyapa.
Lewat reportase ini saya ingin bicara lebih gamblang.
Apa salahnya orang-orang menghibur diri di sela bosannya informasi seputar Covid yang tiada bermuara serta isu baru membumbungnya harga sembako dan BBM yang kian menakutkan? Satu pertanyaan lagi.
Seberapa besar dosa yang harus ditanggung para remaja Bireuen Fashion Week? Janganjangan mereka juga korban massa oleh sebuah ketakutan runtuhnya label Kota Santri? Jika dikaji, ajang berdurasi singkat tersebut juga tak mudah ditiru oleh orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan diri tingkat tinggi untuk menyetor wajah di muka publik, apalagi tanpa tawaran honor.
Kekhawatiran massa terlalu berlebihan untuk sesuatu yang tak terlalu beralasan.
Netral saja.
Tidak berniat mendukung, tapi hukuman lidah massa juga bukan sebuah pembenaran, melainkan pembunuhan mental dalam rangka membatasi ruang gerak.
Saya menaruh prihatin terhadap sorotan “Bireuen Fashion Week” karena sejauh ini para remaja tidak melenggang dengan gaya dan busana vulgar.
Kalau pun masuk ranah mendobrak budaya, pertanyaannya sebenarnya standar budaya Aceh itu seperti apa? Sebatas apa kelayakan berekspresi di muka publik mestinya ada rujukan jelas, tidak samar-samar agar aman dari hujatan.
Belum lagi status sosial di lingkungan masyarakat jadi buah bibir walau lambat laun akan berlalu.
Namun, selama kasus masih viral, hal tersebut tetaplah bencana mental.
Di Pidie sendiri Band Aksirock disambut damai meski dalam balutan musik aliran keras yang sempat juga ditentang setengah hati di beberapa daerah.
Sekali lagi, Aceh kini haus hiburan.
Sebab, terlalu lama bergelut di medan perang silam.
Bukan Medannya yang berperang, tapi Acehnya.
Mari bersama sisakan sedikit ruang damai.
Baca juga: Pidie “Tersesat” di Paya Lumpat Aceh Barat
Baca juga: Boh Manok Weng Pineungnyen Latte Ala Pidie, Direkomendasi Tingkatkan Stamina