Breaking News

Jurnalisme Warga

ISBI Buka Prodi Bahasa Aceh, Prakarsa yang Perlu Didukung

Kampus yang terletak di Kota Jantho tersebut, yaitu Prodi Kajian Sastra dan Budaya , Prodi Desain Interior, dan Prodi Bahasa Aceh

Editor: bakri
zoom-inlihat foto ISBI Buka Prodi Bahasa Aceh, Prakarsa yang Perlu Didukung
FOR SERAMBINEWS.COM
IHAN NURDIN, Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe), melaporkan dari Aceh Besar

OLEH IHAN NURDIN, Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe), melaporkan dari Aceh Besar

Pekan lalu saya menghadiri diskusi terpumpun atau FGD yang diselenggarakan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh di ruang pertemuan Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kabupaten Aceh Besar, Rabu (10/8/2022).

FGD ini untuk mematangkan penyusunan dokumen usulan tiga program studi (prodi) baru di kampus yang terletak di Kota Jantho tersebut, yaitu Prodi Kajian Sastra dan Budaya , Prodi Desain Interior, dan Prodi Bahasa Aceh, semuanya jenjang S-1.

Diskusi ini dihadiri lebih dari 20 orang, mayoritas akademisi.

Di antaranya Dr Abdul Gani Asyik, Prof Mohd Harun, Dr Izziah Hasan, Nurdin AR MHum, Dr Deni Iskandar, Armia, dan Rahmad Nuthihar.

Ada juga unsur pemerintah seperti Kepala Balai Bahasa Provinsi Aceh dan perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.

Hadir juga dari kalangan profesional perwakilan Asosiasi Desainer Interior Indonesia.

Saya sendiri mewakili pegiat literasi yang sehari-hari bergiat di FAMe.

Setelah kata sambutan dari Wakil Rektor Bidang Akademik ISBI Aceh, Dr Wildan MPd dan dibuka oleh Rektor ISBI Aceh, Dr Ir Mirza Irwansyah MBA MLA, selanjutnya pemaparan mengenai visi misi, keunggulan, tujuan, dan kurikulum dari setiap prodi yang akan dibuka.

Baca juga: ISBI Aceh Mulai Tahapan Pemilihan Rektor, Harus Doktor dan Usia Maksimal 60 Tahun

Baca juga: ISBI Aceh Mulai Tahapan Pemilihan Rektor Baru

Dipaparkan juga berbagai peluang kerja yang bisa digeluti oleh para lulusan nantinya.

Paparan tentang Prodi Kajian Sastra dan Budaya disampaikan oleh Dr Yusri Yusuf MPd.

Prodi ini memiliki keunggulan di bidang kajian kesusastraan yang fokus pada kajian terhadap gejala, fenomena, dan perkembangan sastra dari sudut pandang budaya lokal dan nasional, serta bisa beradaptasi dengan industri sastra dan budaya, baik secara akademik maupun nonakademik.

Lulusannya berpeluang menjadi sastrawan, budayawan, peneliti, filolog, dan penerjemah sastra.

Adapun Prodi Desain Interior dipaparkan oleh Dr Izziah.

Prodi ini akan menjadi unggulan di bidang desain interior berbasis etnik Nusantara dengan peluang kerja desainer interior bangunan, konsultan interior, desainer furnitur, desainer pameran, desainer pencahayaan, desainer dan asisten desainer di firma interior, desainer aksesoris interior, supervisor produsen interior lokal, desainer setting film, TV, dan teater, akademisi, penulis interior, fotografer interior, hingga sektor pemerintahan.

ISBI Aceh berpeluang menjadi pelopor di bidang ini karena masih sangat sedikit perguruan tinggi di Indonesia yang membuka jurusan ini.

Hanya terdapat di beberapa perguruan tinggi yang ada di Jawa dan Bali.

“Selama ini, kekosongan tersebut masih diisi oleh para arsitek,” kata Dr Izziah dari Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (USK).

Untuk Prodi Bahasa Aceh dipaparkan oleh Prof Mohd Harun.

Prodi ini, menurutnya, memiliki keunggulan di bidang kajian bahasa Aceh, linguistik, dan sastra lisan yang menjadi kajian utamanya.

Lulusan prodi ini bisa mengisi kekosongan dalam dunia kerja seperti menjadi peneliti, penerjemah, ahli bahasa, penulis, penyuluh, penyunting, dan guru bahasa Aceh.

Apalagi Pemerintah Aceh saat ini sedang menggodok Rancangan Qanun Bahasa Aceh yang akan mewajibkan mata pelajaran bahasa Aceh di seluruh jenjang pendidikan.

Dengan demikian, kebutuhan guru bahasa Aceh yang mumpuni akan banyak dibutuhkan.

Nantinya bahasa Aceh tidak lagi diajarkan sebagai muatan lokal seperti selama ini, tetapi sebagai mata pelajaran pokok dan memiliki kredit untuk di perguruan tinggi.

Semua peserta mengamini dan menyambut positif rencana lahirnya tiga prodi baru tersebut.

Kehadirannya tak bisa ditunda lagi untuk melengkapi enam prodi yang terdapat pada dua jurusan di ISBI Aceh saat ini yang masih terfokus di bidang seni.

Khusus pada Prodi Bahasa Aceh, saya melihat ada kegelisahan kolektif yang dihadapkan pada kenyataan bahwa bahasa Aceh perlu diselamatkan.

Oleh karena itu, kehadiran Prodi Bahasa Aceh di ISBI merupakan keniscayaan.

Nurdin AR misalnya, menyatakan keprihatinannya terhadap eksistensi bahasa Aceh berdasarkan kenyataan semakin banyak orang tua yang enggan mengajarkan atau berkomunikasi dalam bahasa Aceh dengan anak-anaknya.

Bahkan, di kalangan akademisi pun tak sedikit yang mengalami kesulitan membaca ejaan bahasa Aceh.

Ini diamini oleh Prof Harun bahwa penuturan bahasa Aceh memang memiliki kerumitan tersendiri sehingga sangat jarang ada pidato-pidato yang disampaikan secara penuh dalam bahasa Aceh.

“Mudah-mudahan orang Aceh sadar bahwa mengajarkan bahasa Aceh pada anak sangat penting,” kata Nurdin.

Pernyataan yang lebih menohok disampaikan oleh Dr Abdul Gani Asyik.

Tantangannya adalah bagaimana menjadikan prodi ini menarik sehingga membuat para orang tua “rela” anaknya kuliah di prodi ini.

Ia tak menampik jika semua orang menggebu-gebu menyambut hadirnya Prodi Bahasa Aceh, “Tetapi anak saya jangan kuliah di situ,” katanya menirukan kekhawatiran tersebut.

Menurutnya, perlu ada “jaminan” dalam bentuk qanun akan ketersediaan lapangan pekerjaan secara profesional sehingga tak perlu berkecil hati untuk kuliah di sana.

Hadirnya prodi ini, menurutnya, juga berperan besar dalam mempromosikan bahasa Aceh baku sesuai standar ejaan bahasa Aceh yang berlaku saat ini, yakni Ejaan Bahasa Aceh tahun 1980 dari USK yang dalam penulisannya menggunakan diakritik, serta Ejaan UIN Ar-Raniry tahun 1992 yang penulisannya tanpa diakritik.

Untuk penulisan standar bahasa Aceh harus mengacu pada dua ejaan tersebut, sedangkan untuk berbicara bebas menggunakan dialek apa saja, mengingat Aceh memiliki banyak subbahasa, di antaranya bahasa Gayo dan Anuek Jamee.

Saya sendiri termasuk yang menyambut baik dan perlunya prodi tersebut.

Sebagai orang Aceh yang lahir dan besar di Aceh, saya pun menyimpan keresahan yang sama terhadap eksistensi bahasa Aceh.

Dalam aktivitas sehari-hari, saya sering berhadapan dengan orang-orang yang canggung ketika berbahasa Aceh karena sejak kecil tidak pernah diajarkan bahasa Aceh di rumah.

Ada juga orang yang ketika ditanya atau disapa dalam bahasa Aceh justru menjawab dengan bahasa Indonesia, padahal mereka jelas-jelas bersuku Aceh.

Namun, yang lebih menyedihkan ialah ketika mendapati kenyataan ada orang Aceh yang menertawai saudaranya yang berbicara bahasa Indonesia dengan logat bahasa Aceh.

Padahal, sebagaimana disampaikan oleh Nurdin AR dalam diskusi tersebut bahwa bahasa menunjukkan bangsa, semestinya tak perlu merasa malu dengan logat yang justru bisa menunjukkan identitas seseorang.

Karena itulah, ketika kita melihat seorang tokoh berbicara di televisi, dengan mudah kita tahu dari mana ia berasal.

Demikian juga orang-orang yang ada di Aceh, hanya dengan mendengar gaya bicaranya saja, kita bisa mendeteksi apakah orang itu berasal dari Pidie, Aceh Besar, pantai utara timur, atau dari barat selatan Aceh.

Saya sangat setuju dengan pernyataan Rektor ISBI Aceh bahwa kehadiran ketiga prodi baru tersebut tidak saja untuk mengisi kekosongan dalam dunia kerja yang belum terpenuhi saat ini.

Namun, lebih dari itu, melihat perkembangan sosiologis terkait budaya, sastra, maupun bahasa Aceh dewasa ini, maka perguruan tinggi dalam hal ini ISBI Aceh perlu berinisiatif melalui ranah akademik untuk melestarikannya karena di sinilah letak marwah dan identitas orang Aceh.

Inisiatif tersebut tentunya perlu kita dukung dengan sepenuh hati.

Baca juga: Mengenal Karawitan dari Alumnus ISBI Aceh

Baca juga: ISBI Aceh Terima Calon Mahasiswa yang Miliki Ijazah SLTA Sepuluh Tahun Terakhir

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved