Rektor Unila Ditangkap KPK
KPK Tangkap Rektor Unila, Kutip Rp 100-350 Juta per Mahasiswa Baru dalam Bentuk Deposito hingga Emas
Rektor Unila, Prof Karomani ditangkap KPK terkait dugaan memungut suap Rp 100-350 Juta per Maba melalui orang tua masing-masing lewat jalur mandiri.
Penulis: Sara Masroni | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM - Rektor Universitas Lampung atau Unila, Prof Karomani ditangkap KPK terkait dugaan memungut suap Rp 100 juta - Rp 350 juta per mahasiswa baru (Maba) melalui orang tua masing-masing yang ingin lulus jalur ‘suap’ melalui sistem seleksi mandiri.
Hasil dari pungutan itu kemudian dialihkan ke dalam tabungan, deposito, emas batangan dan uang tunai dengan total suap mencapai Rp 4,4 miliar.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat konferensi pers di Gedung KPK Jakarta sebagaimana dilihat Serambinews.com dari tayangan Kompas TV, Minggu (21/8/2022).
Diketahui Rektor Unila terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK di di Bandung, Jawa Barat, Jumat (19/8/2022) sekitar pukul 21.00 WIB bersama tujuh orang lainnya termasuk di Lampung dan Bali.
Baca juga: Rektor Unila Ditangkap KPK, Akademisi: Jalur Mandiri Mending Dihapus Saja
Mereka yang terjaring OTT KPK yakni Wakil Rektor I, Ketua Senat, Kabiro Perencanaan dan Humas, Dekan Fakultas Teknik dan dosen kampus Unila serta pihak swasta.
"KRM (Rektor Unila), diduga aktif untuk terlibat langsung dalam menentukan kelulusan para peserta Simanila (jalur mandiri)," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Rektor memerintahkan HY selaku Wakil Rektor I Bidang Akademik dan BS selaku Kabiro Perencanaan dan Humas.
Baca juga: Diduga Terima Rp 5 Miliar Suap Penerimaan Mahasiswa Baru, Rektor Unila Karomani: Saya Mohon Maaf
Orang nomor satu di kampus tersebut juga melibatkan MB selaku Ketua Senat untuk menyeleksi secara personal.
Pihaknya menyeleksi secara personal terkait kesanggupan orang tua mahasiswa.
Apabila ingin dinyatakan lulus, maka dapat dibantu persyaratan menyerahkan sejumlah uang, selain uang resmi yang ditentukan oleh pihak universitas.
"Bervariasi, berkisar antara Rp 100 juta sampai Rp 350 juta untuk setiap orang tua peserta seleksi yang ingin diluluskan," kata Ghufron.
Baca juga: Karomani Rektor Unila Pasang Tarif Rp 100-350 Juta Luluskan Calon Mahasiswa Baru Jalur Mandiri
KPK menyangka Rektor Unila itu dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.
"Modus suap penerimaan mahasiswa baru ini tentu mencoreng dan juga mengironikan kita semua,” ungkap Wakil Ketua KPK itu.
“Karena suap ini terjadi di dunia pendidikan (tempat) di mana kita berharap mampu mencetak ilmu pengetahuan dan kader-kader bangsa yang memberantas dan mencegah korupsi ke depan," tambah Ghufron.
Baca juga: KPK Tetapkan Rektor Universitas Lampung Karomani Tersangka Suap Penerimaaan Mahasiswa Baru
Manipulasi yang dilakukan pada tahap penerimaan menjadi pintu awal manipulasi-manipulasi berikutnya.
Kader-kader bangsa yang diharapkan dapat didik di lembaga pendidikan dan menjadi generasi bangsa sebagai pemberantas korupsi kemudian ternodai oleh kasus ini.
Pihaknya memahami bahwa jalur mandiri ini adalah jalur afirmasi untuk mahasiswa-mahasiswa atau calon mahasiswa baru dengan kebutuhan-kebutuhan khusus.
"Misalnya daerah-daerah tertinggal, mahasiswa yang tidak mampu, itu semua tujuannya mulia,” kata Ghufron.
“Namun karena ada jalur mandiri ini ukurannya sangat lokal, tidak transparan dan tidak terukur, maka kemudian menjadi tidak akuntabel, menjadi celah terjadinya tindak pidana korupsi," tambahnya.
Baca juga: VC Seorang Remaja, Kapolri: Saya Pastikan Masuk Polisi Tidak Bayar, Lapor Propam
Lembaga antirasuah itu berharap, seluruh proses rekrutmen ke depan termasuk jalur mandiri atau jalur afirmasi lain agar memperbaiki mekanisme yang dijalankan.
Mekanisme tersebut diharapkan menuju yang lebih terukur, akuntabel dan partisipatif agar masyarakat bisa turut mengawasi.
"Mudah-mudah ini kejadian terakhir di dunia pendidikan tinggi," pungkasnya.
Baca juga: Kamaruddin Ingin Adopsi Anak Irjen Sambo
Jalur Mandiri Mending Dihapus
Rentan terhadap korupsi dan diskriminasi, sistem mandiri ada baiknya dihapus saja dari salah jalur penerimaan mahasiswa baru, terutama di kampus negeri.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif The Aceh Institute sekaligus akademisi FISIP UIN Ar-Raniry, Muazzinah Yacob saat dihubungi Serambinews.com, Minggu (21/8/2022).
Menurutnya, jalur mandiri memang rentan dan membuka peluang terhadap korupsi (suap) dan diskriminasi terhadap calon mahasiswa baru yang kurang mampu.
Baca juga: Sengaja Tunaikan Shalat Isya Tengah Malam Agar Sekalian dengan Shalat Tahajud, Bagaimana Hukumnya?
Sebab jalur mandiri ini ditangani langsung oleh panitia lokal atau pihak kampus yang bersangkutan, tanpa melalui pusat sebagaimana SBMPTN, UMPTKIN dan jalur seleksi lainnya.
"Ruang-ruang untuk korupsi di jalur mandiri itu memang besar karena memang (sistemnya ada) di panitia lokal," kata Muazzinah.
"Jadi kalau menurut saya, kalau yang urusan yang (seleksi) mandiri itu mending dihapus saja," tambah Direktur Aceh Institute yang juga Akademisi FISIP UIN Ar-Raniry itu.
Baca juga: Pevita Pearce Menyesal Tidur Menjelang Maghrib
Menurutnya, lebih baik kuota jalur seleksi yang lain ditambah dengan menghapus jalur mandiri ini.
Kemudian yang menjadi catatan penting Muazzinah, diskriminasi jalur mandiri kerap memisahkan antara orang yang ‘memiliki uang’ dan mereka yang kurang mampu.
"Maka yang bisa masuk dan bermain biasanya adalah orang yang memang punya duit," kata Muazzinah.
"Kalau bicara diskriminasi pendidikan, gak boleh itu. Semua orang punya hak (yang sama dalam) mendapat pendidikan," pungkasnya.
Baca juga: Pasutri Lansia Ini Tuntut Tetangga karena Ayamnya Berkokok 200 Kali Sehari, Buat Bukti Rekaman
Demikian terkait Rektor Unila ditangkap KPK. Pihaknya diduga memungut Rp 100 juta - Rp 350 juta per Maba yang ingin lulus jalur ‘suap’ melalui sistem seleksi mandiri Simanila.
Hasil 'uang haram' itu kemudian dialihkan ke dalam bentuk deposito hingga emas dengan total mencapai Rp 4,4 miliar.
(Serambinews.com/Sara Masroni)