Jurnalisme Warga
Gunung Es Talasemia di Aceh
Talasemia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan dari orang tua yang juga memiliki riwayat penyakit talasemia

OLEH NURJANNAH HUSIEN, Direktur Yayasan Darah untuk Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
TALASEMIA (thalassemia) mungkin suatu kata yang masih asing bagi kita, walaupun dalam beberapa tahun terakhir sangat populer di Aceh.
Apa itu talasemia? Secara sederhana, talasemia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan dari orang tua yang juga memiliki riwayat penyakit talasemia.
Setiap penderita talasemia membutuhkan transfusi darah setiap bulan seumur hidupnya yang disebabkan oleh rendahnya hemoglobin (Hb) di dalam darahnya.
Hemoglobin sendiri adalah protein sel darah merah yang memungkinkan darah mengangkut oksigen ke seluruh tubuh.
Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit talasemia.
Dua minggu lalu, Penjabat Gubernur Aceh, Achmad Marzuki menggelar rapat koordinasi dengan para bupati dan wali kota se-Aceh di Banda Aceh, juga hadir para kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA).
Dalam rapat koordinasi itu, Yayasan Darah untuk Aceh (YDUA) diundang hadir untuk memaparkan persoalan talasemia di Aceh.
Sudah sepuluh tahun terakhir YDUA melakukan pendampingan untuk para penderita talasemia di Aceh, khususnya para penderita dari kalangan ekonomi lemah.
Baca juga: PMI Banda Aceh Imbau Skrining Darah Untuk Hindari Kelahiran Anak Talasemia
Baca juga: Bupati Aceh Timur Kunjungi Balita Penderita Talasemia
YDUA menyediakan rumah singgah di Ulee Kareng, Banda Aceh yang kami sebut dengan “Rumah Kita” sebagai tempat menginap dan beristirahat para pengidap talasemia dan keluarganya dari luar Kota Banda Aceh yang hendak melakukan transfusi darah di RSUD dr Zainoel Abidin (RSUZA).
Selain itu, kami juga berusaha mencari orang tua asuh atau pendonor tetap bagi para penderita talasemia agar kebutuhan darah setiap bulan bagi mereka terpenuhi.
Khususnya bagi golongan darah yang agak langka seperti golongan darah ‘rhesus’ negatif.
Kami sangat berharap mendapat dukungan dari pemerintah daerah, juga dari pemangku kepentingan lainnya dari seluruh Aceh untuk mencegah dan menangani talasemia karena hampir di semua kabupaten/ kota di Aceh memiliki penduduk yang menderita talasemia.
Dari data yang kami miliki saat ini, Kabupaten Aceh Besar merupakan daerah dengan jumlah penderita talasemia tertinggi di Aceh.
Kemudian disusul Aceh Utara, Kota Banda Aceh, Pidie, Aceh Timur, dan Bireuen.
Keempat kabupaten dan satu kota ini merupakan lima besar daerah yang memiliki jumlah penderita talasemia yang cukup tinggi di Aceh.
Penyakit keturunan Bagaimana penyakit ini dapat diturunkan dari orang tua ke anak-anaknya? Penyakit talasemia dibagi menjadi dua, talasemia mayor dan talasemia minor.
Talassemia mayor ditandai dengan penderitanya butuh tranfusi darah setiap bulan seumur hidupnya, sedangkan para talasemia minor (pembawa sifat) tidak menunjukkan gejala apa pun, layaknya orang normal dan dapat beraktivitas seperti biasa, bahkan dapat melakukan donor darah.
Karena para penderita talasemia minor ini tidak dapat dibedakan dengan orang yang bukan penderita talasemia, maka sering terjadi perkawinan sesama talasemia minor sehingga angka talasemia terus bertambah.
Baca juga: Bupati Muzakkar: 30 Anak Talasemia di Bireuen Butuh Transfusi Darah Rutin
Para penderita talasemia pada awalnya dapat dideteksi dari gejala anemia yang dialami oleh penderitanya karena kekurangan sel darah merah.
Mekanisme penurunan talasemia dalam ikatan perkawinan sebagai berikut: Talasemia mayor menikah dengan talasemia mayor, maka keturunannya 100 persen talasemia mayor.
Talasemia minor menikah dengan talasemia minor, maka keturunannya 25 persen talasemia mayor, 50 persen talasemia minor, dan 25 persen normal.
Talasemia minor menikah dengan orang normal, maka keturunannya 50 persen talasemia minor dan 50 persen normal, dan ini tidak bermasalah.
Para penderita talasemia setiap tahunnya bertambah terus di Aceh, tanpa dapat dicegah karena ketidaktahuan masyarakat tentang ‘carrier’ (sifat pembawa) talasemia.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan (2007), Aceh merupakan daerah dengan prevalensi atau jumlah kasus talasemia minor tertinggi di Indonesia dengan nilai 13,4 persen.
Sementara untuk data terkini para penderita talasemia di Aceh—berdasarkan data transfusi darah dari RSUZA—terdata sekitar 500 orang penderita talasemia.
Bagaimana mencegah talasemia? Indonesia sendiri berada pada sabuk talasemia.
Sampai saat ini yang dapat kita lakukan untuk mencegah munculnya para penderita baru talasemia adalah dengan melakukan ‘screening’ darah dan tidak mempertemukan pembawa sifat dengan pembawa sifat (‘carrier’) talasemia dalam ikatan perkawinan.
Baca juga: Trik Pj Bupati Aceh Singkil Marthunis Tambah Gizi Warganya Sambil Dongkrak Ekonomi
Untuk itu, ‘screening’ darah sangat penting dilakukan ketika anak berada pada usia mulai remaja, utamanya bagi mereka yang berada pada lingkaran keluarga talasemia.
Kenapa talasemia harus dicegah? Penyakit ini tidak dapat disembuhkan karena dunia kedokteran dan farmasi belum menemukan obat untuk terapi yang dapat menyembuhkan talasemia sampai saat ini.
Akan tetapi, penyakit ini dapat dicegah.
Untuk saat ini ‘screening’ darah dapat dilakukan RSUZA Banda Aceh atau laboratorium swasta lainnya.
Jika sudah terdeteksi sebagai pembawa sifat, sebaiknya tidak melakukan pernikahan dengan sesama pembawa talasemia.
Biaya ‘screening’ darah untuk mengetahui pembawa sifat talasemia atau tidak, dapat dikatakan tidak terlalu mahal jika dibanding dengan biaya penanganan para penderita talasemia yang berkisar antara 300–400 juta rupiah per tahunnya per penderita.
Biaya pengobatan talasemia merupakan satu dari lima penyakit yang paling menggerogoti pembiayaan BPJS Kesehatan.
Pencegahan penyakit talasemia tidak hanya harus dicegah karena penanganan terkait kesehatan, tetapi juga banyak aspek lainnya.
Seperti dari sisi pendidikan, para penderita talasemia yang berasal dari keluarga kurang mampu terkadang cenderung memilih untuk putus sekolah (drop out).
Sementara dari aspek sosial dan budaya, penyakit talasemia masih dianggap oleh sebagian kecil masyarakat kita sebagai penyakit kutukan atau tumbal sehingga sering tidak diobati secara medis.
Akibatnya, tidak jarang para penderita dikucilkan.
Kondisi ini membuat para penderita talasemia kurang dapat berinteraksi dengan lingkungannya karena mereka tidak memiliki rasa percaya diri.
Oleh karena itu, penting dilakukan tindakan pencegahan sebelum jumlah penderita talasemia bertambah lagi di Aceh.
Dan hal ini tentunya membutuhkan komitmen dari kita semua, tidak hanya kami sebagai pendamping para penderita talasemia, tetapi juga pemerintah dan semua pemangku kepentingan dan juga lembaga-lembaga terkait lainnya.
Kepedulian kita terhadap para penderita talasemia dan pencegahannya harus segera kita wujudkan secara nyata dengan aksi nyata.
‘Screening’ darah bagi para anggota keluarga penderita talasemia dan juga para remaja yang kemungkinan memiliki riwayat keluarga penderita talasemia harus segera dilakukan.
Stop talasemia! (*)
Baca juga: Tekan Angka Stunting, Gampong Pasie Lamgarot Aceh Besar Bentuk Rumah Gizi Gampong
Baca juga: Perbaikan Gizi Bisa Turunkan Stunting