Internasional
Pandemi Covid-19 Picu Lonjakan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Perceraian
Sejumlah negara di seluruh dunia melaporkan lonjakan kekerasan dalam rumah tangga selama pandemi Cocid-19, termasuk Lebanon.
SERAMBINEWS.COM, BEIRUT - Sejumlah negara di seluruh dunia melaporkan lonjakan kekerasan dalam rumah tangga selama pandemi Cocid-19, termasuk Lebanon.
Kesengsaraan ekonomi negara dan gangguan terhadap prosedur pengadilan selama krisis kesehatan tampaknya memperburuk keadaan.
KAFA, sebuah organisasi non-pemerintah Lebanon yang didirikan pada tahun 2005 untuk berkampanye melawan kekerasan dalam rumah tangga, memperingatkan dampak berbahaya dari runtuhnya institusi keamanan sosial dan keluarga di Lebanon.
“Penangguhan layanan hakim di Lebanon akan berdampak negatif pada perempuan dan anak-anak yang menderita kekerasan dalam rumah tangga,” katanya.
Organisasi tersebut menyoroti kekerasan dalam rumah tangga dan meningkatnya tingkat insiden kekerasan yang menargetkan wanita.
Bahkan, telah menyebabkan pembunuhan tiga wanita dalam satu minggu.
Baca juga: Cegah Kekerasan Seksual di Kampus, STIAPEN Nagan Raya Bentuk Satgas
Angka perceraian di Lebanon mungkin agak miring dengan meningkatnya penggunaan pernikahan sebagai sarana untuk mendapatkan kewarganegaraan di negara lain.
Gelombang anak muda pindah ke luar negeri untuk mencari peluang yang lebih baik juga menjadi pemicu perceraian.
“Ada perceraian bagi mereka yang pernikahannya didasarkan pada kenyamanan,” kata KAFA.
“Misalnya, suami yang pindah ke luar negeri dan ingin menikahi wanita asing harus membuktikan tidak menikah di negara asalnya," tambahnya.
Dikatakan, sang suami akan memperoleh kewarganegaraan dari negara istri baru mereka.
“Setelah memperoleh kewarganegaraan baru, mereka menikah lagi dengan istri asli mereka, yang mereka ceraikan di negara asal mereka," ujar kelompok itu.
Baca juga: Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Disarankan Hukum Rajam, Ini Kasus di Aceh Hingga Juli 2022
Lebanon merupakan negara multi-pengakuan.
Setelah perang saudara 1975-1990, komunitas agama di negara itu setuju berbagi kekuasaan melalui pembagian otoritas yang kompleks.
Bahkan, institusi terpisah yang mengatur masalah komunitas, termasuk pernikahan dan perceraian.