Opini

Lahan untuk Sarjana Pertanian

Secara gamblang Jokowi menyebut alumni IPB banyak yang bekerja di Bank, lantas yang menjadi petani siapa?

Editor: bakri
FOR SERAMBINEWS.COM
Dr MUHAMMAD YASAR STP MSc, Dosen Teknik Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Ketua Masika ICMI Provinsi Aceh 2022-2025 

OLEH Dr MUHAMMAD YASAR STP MSc, Dosen Teknik Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Ketua Masika ICMI Provinsi Aceh 2022-2025

PRESIDEN Jokowi pernah mengkritik IPB bahwa alumninya semua bisa kecuali bertani.

Hal itu disinggung Jokowi saat menyambangi kampus pertanian ternama di Indonesia tersebut dalam rangka Dies Natalis ke 54 pada 2017 yang lalu.

Secara gamblang Jokowi menyebut alumni IPB banyak yang bekerja di Bank, lantas yang menjadi petani siapa? Sebetulnya yang disampaikan Jokowi itu memang sangat menggelitik bagi siapapun yang mendengar.

Karena sejatinya sebagai kampus yang spesifik dengan ilmu di bidang pertanian pasti akan melahirkan generasi petani yang tentunya lebih modern dan update dengan perkembangan teknologi yang ada.

Namun realitasnya justru sangat minim ketertarikan para alumni tersebut ke sektor yang didalaminya selama kuliah.

Hal ini berlaku sama di semua universitas dan Institut yang memiliki fakultas pertanian, Sekolah Tinggi, Politeknik, dan Akademi yang mempunyai program studi pertanian, atau bahkan sekolah kejuruan di bidang pertanian.

Semua alumnusnya gamang memasuki dunia pertanian secara totalitas.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan sektor pertanian kurang diminati oleh generasi muda bahkan dari yang berlatar pendidikan pertanian sekalipun.

Maka jangan heran, saat ini petani rata-rata berumur 50 tahun ke atas.

Baca juga: Dinas Pertanian dan Babinsa Peragakan Mesin Tanam Padi di Alue Nibong Aceh Timur

Baca juga: Wamen Dukung Tamiang Kembangkan Jagung, Benahi Seluruh Komoditas Pertanian

Penyebab pertama adalah profesi sebagai petani dianggap tidak prospektif dengan masa depan yang tidak jelas, tidak pasti dan tidak menentu.

Petani sangat sering diidentikkan dengan kaum miskin yang kumuh, wong deso dan melarat.

Bahkan angka kemiskinan tertinggi disinyalir merupakan sumbangan kaum tani.

Komunitas petani dituding sebagai salah satu sarang kemiskinan di negara kita.

Data BPS (2019) menyebutkan 49 persen rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya di sektor pertanian.

Kedua, petani selalu berhadapan dengan resiko.

Terlalu besar kendala, rintangan, tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh sektor ini mulai dari dampak cuaca hingga jaminan pasar selalu menghantui proses produksi.

Cuaca ekstrem dapat menyebabkan gagal panen baik oleh banjir maupun kekeringan.

Belum lagi serangan wabah hama dan penyakit yang dapat merusak tanaman sehingga tidak mampu tumbuh dan berproduksi sebagaimana mestinya.

Namun diantara itu yang paling menyedihkan adalah ketiadaan jaminan terhadap kestabilan harga saat panen tiba sehingga walaupun hasil taninya melimpah tetap saja tidak membuat petani bisa menikmati hasil jerih payahnya dengan baik, merasakan untung dari penjualan produk penjualannya.

Bagaimana tidak, fluktuasi harga sering sekali menyebabkan ketidaksesuaian antara biaya produksi dengan harga pasar.

Baca juga: TTG ke-23 di Subulussalam, Aceh Besar Perkenalkan Drone Pertanian Ababil-12 dan Skywalker X8

Ketiga, minimnya akses lahan.

Sebagian besar sarjana pertanian tidak memiliki lahan yang memadai untuk bertani.

Sama halnya dengan petani itu sendiri, Kepemilikan lahan pada mayoritas petani di Indonesia sangatlah kecil, rata-rata di bawah 0,3 hektare.

Sementara sebagai negara yang agraris kita selalu mengklaim memiliki lahan yang sangat luas dan itu diakui dunia.

Jika dilihat berdasarkan luas negara, kita mempunyai luas daratan sebesar 190,5 Juta Hektar.

Porsi yang diperuntukkan sebagai lahan sawah (wet land) yang khusus menangani pangan pokok hanya 7,46 juta hektar atau hanya 3,9 persen saja sedangkan untuk lahan pertanian kering (dry land) sebesar 63,4 juta ha atau sekitar 33,7 persen dari total luas Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa lahan masih menjadi kebutuhan mutlak di sektor pertanian.

Walaupun dengan perkembangan teknologi di sektor ini telah mampu menyiasatinya dengan berbagai teknik budidaya tanpa lahan yang luas, namun belum didukung dengan kesediaan membayar lebih atas efek introduksi dan aplikasi teknologinya.

Sebut saja penerapan konsep hidroponik, akuaponik, aeroponik, vertikultur, tabulampot dan sejenisnya.

Kesemuanya ini memiliki konsekuensi logis terhadap kenaikan harga komoditi yang dibudidayakan.

Sementara jangkauan daya beli masyarakat kita terhadap produk pertanian masih sangat rendah.

Baca juga: Dosen dan Mahasiswa Pertanian Umuslim Dampingi Petambak Udang Vaname di Jangka, Pakai Teknologi Ini

Lihat saja fenomena kenaikan harga bahan makanan pokok, pasti akan diikuti dengan protes sana-sini yang akhirnya berbuntut aksi operasi pasar oleh pemerintah atas dalil menstabilkan harga.

Oleh sebab itu penyediaan lahan terutama bagi petani pemula khususnya yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengetahuan di bidang pertanian adalah solusi bijak.

Solusi ini memiliki multiplayer efek yang besar terhadap pembangunan bangsa.

Bukan hanya sekedar menyelamatkan muka kita sebagai negara agraris yang besar namun tanahnya tidak tergarap maksimal untuk kesejahteraan warganya tetapi juga mampu menunaikan komitmen internasional dalam SDGs untuk mengentaskan kemiskinan di masing-masing negara yang tergabung.

Lewat penyediaan lahan pertanian untuk sarjana, di samping menjaga keberlanjutan generasi petani, menjamin kedaulatan pangan, juga diyakini dapat mendongkrak kemajuan teknologi pertanian itu sendiri.

Para sarjana pertanian harus diberi tantangan berupa kesempatan menggarap lahan full teknologi.

Segenap potensi keilmuan yang diserap di bangku pendidikan berpeluang diimplementasikan secara komprehensif.

Lewat tradisi riset dan pengembangan (R & D) dipastikan pertanian di Indonesia akan maju berpuluh-puluh langkah untuk menyamai bahkan melampaui negara-negara maju.

Dan bukanlah sebuah hal yang mustahil Indonesia segera bermetamorfosis menjadi negara agraris raksasa di dunia.

Lantas bagaimana skema program yang dapat ditawarkan? Menurut hemat penulis sangatlah sederhana, tinggal saja political will pemerintah.

Pengalaman ke belakang di era Orde Baru ada program pemerintah membagi-bagi lahan dalam bentuk kegiatan transmigrasi.

Baca juga: Pejuang Pertanian Aceh Barat Panen Raya Dipersawahan Bubon

Tujuan utamanya adalah pemindahan penduduk dari pulau Jawa yang padat ke pulau-pulau lain yang lebih jarang penduduknya tidak terkecuali di Aceh.

Target utamanya adalah agar terjadi pemerataan penduduk dengan menghindari konsentrasi penduduk yang berlebihan pada satu-satu tempat.

Meski istilah tersebut masih tetap berlaku hingga sekarang namun tidaklah sehebat gaung dimasanya.

Lalu di era reformasi secara khusus di Aceh terdapat juga program bagi-bagi lahan yakni penyediaan lahan terhadap mantan eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Program ini menghendaki para mantan pejuang GAM bisa beralih profesi atau melanjutkan dan mendalami kembali profesinya sebagai petani.

Tujuan mulianya adalah untuk menyediakan lapangan kerja yang layak sehingga kesejahteraan mereka dapat ditingkatkan hingga kembali loyal terhadap NKRI.

Contoh program di atas hanyalah analogi betapa mudahnya pemerintah menelurkan kebijakan seperti itu jika dikehendaki.

Dan sangat tidak rasional jika program pembagian lahan untuk para sarjana lebih sulit untuk diperjuangkan hingga direalisasikan.

Pada program transmigrasi maupun program eks kombatan, tujuan sasarannya bisa jadi tidak menyentuh individu yang berbasis pertanian secara menyeluruh.

Sementara program ini yang disasar justru para ekspertis yang tentunya memiliki peluang daya keberhasilan yang lebih tinggi dalam memajukan dunia pertanian kita.

Pola pembagian bisa saja membidik kawasan lahanlahan terlantar atau cabut saja lahan HGU yang kurang produktif dalam menyumbang pendapatan negara.

Konsep yang diterapkan bisa saja bersifat sekadar hak pengelolaan pinjam pakai atau memang diserahkan menjadi hak milik bersertifikat dengan komitmen yang jelas dan tegas yakni dikelola untuk kepentingan sektor pertanian.

Lahan-lahan inilah yang selanjutnya perlu diabadikan secara permanen lewat UU No 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Pasti tidak akan ada penolakan dari pemilik lahan yang tibatiba merasa dirugikan karena lahannya sudah tidak bebas digunakan atau dikonversikan kepada keperluan diluar sektor pertanian akibat dikavling sebagai kawasan LP2B.

Jika ini dapat direalisasikan maka Presiden Jokowi pasti akan tersenyum melihat bagaimana output dunia pendidikan bidang pertanian mendatangkan outcome yang sesuai ekspektasi.

Setelah merayakan hari kemerdekaan kita yang ke 77 tahun ini, sesuai tagline-nya “pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat”, bukan tidak mungkin untuk langsung action, dan Aceh berpeluang kembali menjadi pioner dalam memajukan bangsa ini dengan mencoba program perdana pilot project pemberian lahan satu hektare satu sarjana lewat tangan dingin sang Pj Gubernur.

Kemerdekaan kita pun semakin hakiki, menjadi diri sendiri sesuai jati diri bangsa Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur.

Menjadi raksasa agraris di dunia? Siapa takut! (yasar@unsyiah.ac.id) 

Baca juga: Realisasi Dana Kredit Usaha Rakyat Bidang Pertanian Sangat Rendah

Baca juga: Minta Tambah Pupuk, Muhammad Iswanto Datangi Kementerian Pertanian

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved