Kupi Beungoh

Aceh dan Kepemimpinan Militer (X) - Iskandar Muda: “Imitatio Alexandri”

Keterkaitan antara Iskandar Agung dan Iskandar Muda kembali dipertegas dalam Bustanus Salatin yang ditulis oleh Nuruddin Ar-Raniry.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Ahmad Humam Hamid, Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala. 

Persoalan terjadi ketika Claisthenes mati, sebelum kematian Iskandar Agung.

Kisah itu kemudian dilanjutkan penulisannya oleh anonim, sehingga seringakali penuliasnya disebut sebagai sebagai Pseudo-Callisthenes- “Calisthenes semu”.

Alexander Romance ditulis dalam berbagai versi dengan berbagai imbuhan adaptasi, dan seringkali diasosiasikan dengan raja-penguasa yang memepersonifikasi dirinya dengan Iskandar Agung.

Puluhan bahkan mungkin ratusan versi Alexander Romance yang tersebar mulai dari Eropa, Afrika, Timur Tengah, sampai ke Asia.

Dalam hubungannya dengan Islam, Alexander Romance mengalami metaformosis yang sangat pekat dalam sastra Persia.

Metamorfosis terjadi dalam sebuah evolusi yang membenci Iskandar Agung, karena mengalahkan raja Darius, kemudian mucul versi lainnya yang menyebutkan Iskandar Agung adalah raja Macedonia yang mempunyai ibu berdarah Persia. 

Alexander Romance kemudian “diislamkan”.

Adalah dua penulis hebat yang menulis tentang Iskandar Agung dalam bahasa Persia.

Yang pertama adalah Firdawsi yang hidup pada abad ke 11 dengan judul Shahnama (Stoneman 1991) yang menjelaskan tentang Iskandar Agung sebagai raja Persia yang sah.

Selanjutnya Firdawsi menerangkan Iskandar Agung sebagai Iskandar  Dhul Qarnayn seperti yang tertera dalam Alquran, tepatnya surah al-Kahfi ayat 83-98.

Iskandar Agung Mecedonia kemudian menjadi Iskandar Dhul Qarnayn dalam kepustakaan Islam.

Islamisasi Alexander Romance terus berlanjut satu abad kemudian, ketika sastrawan besar Persia, kelahiran Azebairjan, Nizami yang menulis kisah Iskandarname yang secara komplit mengalami metamorfosa yang luar biasa menjadikan Iskandar Agung sebagai raja yang luar biasa bijaksana, sekaligus nabi.

Puncak kearifan penguasa yang ditulis oleh Nizami sangat berkaitan dengan pendapat filosof Islam terkenal, Al Farabi yang hidup pada abad ke 9 yang mensintesakan tiga kualitas yang mesti dimiliki sang penguasa; komandan tentara dan penguasa politik, mempunyai etika, dan mempunyai misi suci, layaknya seorang nabi.

Darimanakah sumber atau kolam pengetahuan Aceh pada abad ke 16 sehingga seorang raja seperti Al Mukammil mempunyai pengetahuan yang banyak tentang Iskandar Agung?

Tidak hanya itu, ia sendiri mengimpikan bahwa salah satu keturunannya-cucunya kelak akan menyamai Iskandar Agung di kemudian hari.

Sebagai negara kota, City State yang diinisiasi oleh Ali Mughayatsyah dan terus berlanjut pada raja-raja sesudahnya, Aceh menjadi salah satu bandar  perdagagan tersibuk di Asia Tenggara.

Konektivitas maritim dengan kapal laut yang menghubungkan berbagai tempat di Eropa, Timur Tengah, Afrika, India, Melayu Serantau, dan Cina sesungguhya tidak hanya berurusan aliran barang-barang saja.

Ada berbagai aliran informasi dan ilmu pengetahuan, baik dalam bentuk awam maupun akademik yang luar biasa.

Adalah Hamzah Fansuri, ulama juga sastarawan besar yang masa hidupnya diperkirakan pada masa Al Mukammil memerintah, yaitu pada akhir abad ke 16.

Kepustakaan menyebutkan Hamzah Fansuri adalah seorang pengelana, dan pencari ilmu kampiun yang tak pernah berhenti.

Ia belajar ke Mekkah, Madinah, Al Qud-Yerussalm, Suriah, dan bahkan sampai ke Baghdad.

Ia adalah sastrawan dan sufi terbesar pada zamannya, dan bahkan sampai hari ini.

Ia menguasai bahasa Arab, Urdu, dan bahasa Persia.

Jika dikaitkan dengan kesimpulan Teuku Iskandar (1959), bahwa penulis Hikayat Aceh adalah Syamsudin As Sumatrani, yang merupakan murid andalan Hamzah Fansuri, maka kolam pengetahuan Aceh tentang Iskandar Dhul-Qarnayn kini memberikan sebuah indikasi yang jelas.

Ketika al Mukammil mempersiapkan sang cucu sejak kecil, obsesi dan role model yang dicontoh adalah imajinasi tentang kehebatan Iskandar Dhul-Qarnayn.

Sangat mustahil pembelajar dan sastrawan besar sekelas Fansuri tidak membaca Iskandarname yang ditulis oleh sastrawan besar Persia, Nizami  Ganjavi (Marzolph 2010) yang menguraikan tentang raja ideal, bahkan islami seperti Iskandar Agung.

Itu artinya cerita dalam Iskandarname tentang Iskandar Dhul-Qarnayn menjadi salah satu bacaan dan perbincangan tentang capaian dan bentuk ideal kerajaan yang diimpikan.

Cerita itu kemudian mengilhami tidak hanya sang kakek- al Mukammil, akan tetapi juga pemilik nama itu sendiri- Iskandar Muda untuk menjadi personifikasi Iskandar Agung.

Tidak berlebihan untuk disebutkan tentang pengaruh personifikasi Iskandar Muda terhadap Iskandar Dhul-Qarnayn, seakan menjadikan laku Iskandar Agung menjadi  manual, bahkan cetak biru ideal yang dijadikan pedoman oleh Iskandar Muda dalam menjalani takdirnya sebagai raja Aceh pada masa itu.

Sangat berkemungkinan, Al Mukammil mendengar cerita dari berbagai sumber yang pada masa itu memang berkembang di dunia Melayu (Nusantara).

Apa yang menjadi unik tentang kabar Iskandar Dhul-Qarnayn di Aceh adalah, di samping cerita, bahkan Hikayat Iskandar Dhul-Qarnayn, Aceh punya narasumber yang luar biasa, Hamzah Fansuri dan Syamsudin As-Sumatrani.

Proyeksi diri Iskandar Muda untuk menjadi raja berkelas dengan berkaca kepada kehebatan dan kejayaan Iskandar Agung kemungkinan besar mulai terjadi ketika kakeknya memberi perhatian khusus kepadanya.

Itu artinya ada sebuah eskpektasi yang sangat besar tentang masa depan sang cucu.

Ekspektasi itu kemudian terinternalisasi dengan asuhan Syamsudin As-Sumatrani yang pada awalnya adalah pendidik, bahkan guru besar sang raja, dan kemudian menjadi penasihat agung yang melebihi titel qadhi kerajaan.

Proses itu memberi jalan kepada Iskandar Muda untuk “menjiplak”  dalam berperang dan mengurus negara mengikuti napak tilas Iskandar Agung yang oleh banyak penulis diistilahkan dengan “Imitatio Alexandri” (Gruen 1998; Martin 1998; Kühnen 2008).

Jiplakan personifikasi diri seperti itu tidak hanya dilakoni oleh Iskandar Muda.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Sultan Mehmed II, Beyazid I, dan Suliaman Agung, dari kerajaan Ottoman (Su Fang Ng 2019).

Raja Akbar dan Aurungzeb dari Kerajaan Mughal India (Su Fang Ng 2019 ) juga mengikuti pola yang serupa.

Watak yang paling menonjol yang dijadikan pegangan adalah kemampuan militer, dan cetak biru kerajaan yang bersifat kosmopolit.

Yang dimaksud adalah bukan hanya soal penaklukan, tetapi juga menjadikan rakyat di kawasan yang ditaklukkan sebagai ummat universal yang perlu dihormati dan diberi martabat kemanusiaan.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved