Kupi Beungoh

Aceh dan Kepemimpinan Militer (X) - Iskandar Muda: “Imitatio Alexandri”

Keterkaitan antara Iskandar Agung dan Iskandar Muda kembali dipertegas dalam Bustanus Salatin yang ditulis oleh Nuruddin Ar-Raniry.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Ahmad Humam Hamid, Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

PENELUSURAN sejarah, terutama sejarah klasik, memberikan indikasi ada sebuah benang merah sejarah yang dimiliki oleh Iskandar Muda yang membawanya jauh ke belakang, bahkan sampai hampir tiga ratus tahun sebelum Masehi.

Banyak sekali buku sejarah klasik, menerangkan tentang seorang raja, kaisar hebat, Alexander the Great- Iskandar Agung yang memerintah kerajaan Macedonia tiga ratus tahun sebelum Masehi.

Kepustakaan klasik dan kontemporer menguraikan cukup banyak raja dan penakluk besar dunia yang mengasosiasikan dirinya dengan Iskandar Agung, dan salah satunya adalah Iskandar Muda (Braginsky 2006; Andaya 2008; Jelani 2009; Su Fang Ng 2019).

Menjadi raja pada umur dua puluhan, mampu menundukkan super power dunia pada masanya, yaitu raja Darius Parsia, mampu mempersatukan wilayah di tiga benua (Eropa, Asia, dan Afrika), adalah prestasi Iskandar Agung yang tak ada duanya dalam sejarah dunia hingga saat ini.

Cakupan kerajaannya mulai  dari Macedonia, Yunani, Balkan, Turki, Syiria, Iran, Irak, Mesir, Libya, Afghanistan, sebagian negara Asia Tengah hari ini, Pakistan, dan India yang dipersatukan dalam waktu 10 tahun adalah capaian yang tak terbayangkan.

Kemampuan penaklukan, penghormatan terhadap tradisi lokal, pemerintahan, dan menjadikan berbagai bangsa sebagai sebuah kesatuan yang universal.

“Negara” Alexander bahkan dijadikan sebagai sebuah model ideal penyatuan Barat-Timur klasik yang diimpikan oleh raja-raja besar penakluk setelahnya.

Ia dikenal sebagai pemimpin kosmopolit global pertama di dunia.

Uniknya, warna kosmopolit yang dibangun Iskandar Agung dimulai dengan sebuah penaklukan yang cepat dan dahsyat dengan pengerahan kekuatan militer yang canggih dan digdaya.

Namun segera setelahnya, ia membangun strategi asimilasi antara penakluk dan yang ditaklukkan dengan sangat terstruktur, baik melalui perkawinan, maupun melalui adopsi nilai-nilai dan praktik kehidupan antara masyarakat setempat dengan nilai-nilai Macedonia Yunani, tempat dia berasal.

Ada deretan para raja-raja besar penakluk yang mengasosiasikan dirinya dengan Iskandar Agung.

Sejarawan klasik, pengajar di Unversitas Texas, Austin, Peter Green (2017) membedakan mereka dengan menggunakan kata latin eumilatio- menyamakan, imitatio- meniru, dan comparatio-membandingkan, semuanya dengan Iskandar Agung.

Menyebutkan beberapa di antaranya, Julius Cesar dan Caligula (keduanya kaisar Romawi),  Jenderal hebat Romawi, Pompey Agung, Raja Inggris -Scotland, James I, tiga Sultan Ottoman, yaitu Mehmed II, Beyazid I, dan Sulaimaan Agung, hingga Kaisar Perancis terhebat yang menggoncang Eropa pada masanya, Nepoleon Bonaparte.

Di India, Akbar dan Jahangir dua raja Kerajaan Moghul juga mejadikan Iskandar Agusng sebagai role model mereka dalam memerintah.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (IX) - Iskandar Muda: Angkatan Perang, “Mercineries”, dan “Raja Toke”

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VII) Al Mukammil: Hard Power dan Shock Therapy

Dua Iskandar di Nusantara

Su Fang (2019) bahkan mengklaim hampir semua raja-raja Islam Nusantara dalam satu dan lain hal mengasosiasikan dirinya dengan Iskandar Agung, baik dari prinsip mememerintah, melanjutkan kepeloporan, bahkan tak kurang megklaim dirinya mempunyai tali darah dengan Iskandar Agung

Iskandar Syah, raja Melaka, dan Iskandar Muda, raja Aceh, adalah dua raja yang terang-terangan disebutkan memiliki hubungan darah dengan Iskandar Agung.

Apa yang menjadi unik tentang Iskandar Muda adalah berkebalikan dengan “raja militer” yang menonjol yang berkuasa sebelumnya, yaitu Ali Mughayatsyah, Al Qahhar, dan Almukammil.

Jika ketiga mereka menjadi kepala negara sekaligus panglima perang yang hebat, Iskandar Muda memang dimpikan dan dipersiapkan untuk menjadi militer tangguh oleh kakeknya Alaudin Riayatsyah Al Mukammil.

Sang kakek mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap sang cucu, Iskandar Muda - ketika lahir bernama Perkasa Alam, ketika menjadi raja digelar Iskandar Muda.

Bukti nyata dari role model Iskandar Agung atau Iskandar Zulkarnain, terhadap Iskandar Muda ditemui dari dokumen tertulis yang dengan sangat gamblang mengambarkan asosiasi itu.

Hikayat Aceh dengan pengarang anonim - Teuku Iskandar (1959) menyebutkan kemungkinan besar Syamsudin As Sumatrani - menerangkan tentang fakta dan epik, bahkan mitos tentang Iskandar Muda

Setidaknya ada dua bagian penting yang menjelaskan tentang asosiasi itu.

Keterkaitan antara Iskandarmuda dengan Iskandar Zulkarnain, ditemui dalam Hikayat Aceh yang menerangkan tentang geneology Iskandar Muda

Kalimat itu berbunyi “Adapun Raja Munawwar Syah yang raja di negeri Lamri . . . daripada anak cucu Raja Iskandar Dhul Qarnayn seperti riwayat yang telah tersebut itu.”

Seperti diketahui Iskandar Muda adalah anak dari Syah Alam Puteri Indra Bangsa, anak perempuan dari Sultan Al Mukammil yang bersuamikan Sultan Mansursyah.

Sedangkan Al Mukammil sendiri adalaah buyut Raja Munawarsyah.

Sampai di sini dengan jelas klaim keterhubungan zuriat Iskandar Muda dengan Iskandar Agung.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VI) - Sultan Al Mukammil, "Repertoar Raja Boneka”

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (V) - Alaiddin Riayat Syah, Sulaiman Agung, dan Laksamana Kortuglu

Dipertegas dalam Bustanus Salatin

Keterkaitan antara Iskandar Agung dan Iskandar Muda kembali dipertegas dalam Bustanus Salatin yang ditulis oleh Nuruddin Ar-Raniry pada masa Iskandar Thani.

Dalam Bustanus Salatin (Jelani 2009) geneology Sultan Aceh Iskandar Muda ditarik jauh ke belakang, terhubung dengan Raja Delhi, dinasti Abassiyah, Arab, Mesir, dan bahkan bertautan dengan Yunani dan Roma.

Keterkaitan itu bersinggungan dengan raja-raja Persia, Iskandar Agung, dan berketerusan dengan turunnya Nabi Adam AS ke muka  bumi.

Bagian akhir dari hikayat Aceh menegaskan kesamaan Iskandar Muda dengan Iskandar Agung, tidak dari kacamata Aceh, namun dengan menggunakan narasi utusan Sultan Ottoman yang berkunjung ke Aceh, Celebi Ahmad dan Celebi Ridwan.

Kutipan hikayat iu berbunyi respons Sultan Ottoman-Selim I tentang Iskandar Muda dan Aceh yang berbunyi:

“Hai kamu segala wazir, pada bicaraku pada zaman dahulu kala jua dijadikan Allah Taʿala dua orang raja Islam yang amat besar dalam dunia ini, seorang Nabi Allah Sulaiman, seorang Raja Iskandar juga, seperti sembah Celebi Ahmad dan Celebi Ridwan ini.

Maka pada zaman kita sekarang ini pun ada jua dijadikan Allah Taʿala dua orang raja yang amat besar dalam ʿalam dunia ini. Maka yang daripada pihak maghrib kitalah raja yang besar, dan daripada pihak masyrik itu Seri Sultan Perkasa ʿAlam raja yang besar dan raja yang mengeraskan agama Allah dan agama Rasul Allah”.

Terhadap dua uraian dalam Hikayat Aceh itu, baik tentang keterkaitan darah, maupun komparasi kehebatan kerajaan klasik kuno, Raja-Nabi Sulaiman dan Iskandar Agung dengan Ottoman dan Aceh memperlihatkan tentang betapa Iskandar Muda, menempatkan siapa dirinya.

Tidak hanya itu, walaupun dalam koresponden dengan kerajaan Ottoman ia menyebutkan ia rela Aceh menjadi negara vassal- protektorat dan bahagian dari imperium Ottoman.

Namun di dalam Hikayat Aceh gambaran itu terbalik seratus delapan puluh derajat.

Dalam versi hikayat Aceh, Aceh setara dengan Ottoman, dengan menggunakan statemen raja Ottoman itu sendiri.

Pertanyaan besar yang layak diajukan adalah bagaimana asal muasal sehingga Iskandar Muda diasosiasikan atau bahkan mengasosiasikan dirinya dengan Iskandar Dhul Qarnayn.

Seperti diketahui semua asosiasi dengan Iskandar Agung, baik imitatio- menjiplak, eumulatio- menyamakan, atau comparatio-membandingkan pada umumnya ditemui dalam kisah epik sastrawi yang mengagabungkan antara fakta daam bentuk narasi sejarah yang bercampur dengan epik, dan mitos atau legenda.

Uraian sastrawi pertama tentang Iskandar Agung- Alexander Romance, awalnya ditulis dalam bahasa Yunani oleh sejarawan-sastrawan kerajaan pada masa itu, Callisthenes yang sekaligus keponakan Arostoteles.

Seperti diketahui Aristoteles sendiri diceritakan adalah guru Iskandar Agung pada umur 12 tahun.

Persoalan terjadi ketika Claisthenes mati, sebelum kematian Iskandar Agung.

Kisah itu kemudian dilanjutkan penulisannya oleh anonim, sehingga seringakali penuliasnya disebut sebagai sebagai Pseudo-Callisthenes- “Calisthenes semu”.

Alexander Romance ditulis dalam berbagai versi dengan berbagai imbuhan adaptasi, dan seringkali diasosiasikan dengan raja-penguasa yang memepersonifikasi dirinya dengan Iskandar Agung.

Puluhan bahkan mungkin ratusan versi Alexander Romance yang tersebar mulai dari Eropa, Afrika, Timur Tengah, sampai ke Asia.

Dalam hubungannya dengan Islam, Alexander Romance mengalami metaformosis yang sangat pekat dalam sastra Persia.

Metamorfosis terjadi dalam sebuah evolusi yang membenci Iskandar Agung, karena mengalahkan raja Darius, kemudian mucul versi lainnya yang menyebutkan Iskandar Agung adalah raja Macedonia yang mempunyai ibu berdarah Persia. 

Alexander Romance kemudian “diislamkan”.

Adalah dua penulis hebat yang menulis tentang Iskandar Agung dalam bahasa Persia.

Yang pertama adalah Firdawsi yang hidup pada abad ke 11 dengan judul Shahnama (Stoneman 1991) yang menjelaskan tentang Iskandar Agung sebagai raja Persia yang sah.

Selanjutnya Firdawsi menerangkan Iskandar Agung sebagai Iskandar  Dhul Qarnayn seperti yang tertera dalam Alquran, tepatnya surah al-Kahfi ayat 83-98.

Iskandar Agung Mecedonia kemudian menjadi Iskandar Dhul Qarnayn dalam kepustakaan Islam.

Islamisasi Alexander Romance terus berlanjut satu abad kemudian, ketika sastrawan besar Persia, kelahiran Azebairjan, Nizami yang menulis kisah Iskandarname yang secara komplit mengalami metamorfosa yang luar biasa menjadikan Iskandar Agung sebagai raja yang luar biasa bijaksana, sekaligus nabi.

Puncak kearifan penguasa yang ditulis oleh Nizami sangat berkaitan dengan pendapat filosof Islam terkenal, Al Farabi yang hidup pada abad ke 9 yang mensintesakan tiga kualitas yang mesti dimiliki sang penguasa; komandan tentara dan penguasa politik, mempunyai etika, dan mempunyai misi suci, layaknya seorang nabi.

Darimanakah sumber atau kolam pengetahuan Aceh pada abad ke 16 sehingga seorang raja seperti Al Mukammil mempunyai pengetahuan yang banyak tentang Iskandar Agung?

Tidak hanya itu, ia sendiri mengimpikan bahwa salah satu keturunannya-cucunya kelak akan menyamai Iskandar Agung di kemudian hari.

Sebagai negara kota, City State yang diinisiasi oleh Ali Mughayatsyah dan terus berlanjut pada raja-raja sesudahnya, Aceh menjadi salah satu bandar  perdagagan tersibuk di Asia Tenggara.

Konektivitas maritim dengan kapal laut yang menghubungkan berbagai tempat di Eropa, Timur Tengah, Afrika, India, Melayu Serantau, dan Cina sesungguhya tidak hanya berurusan aliran barang-barang saja.

Ada berbagai aliran informasi dan ilmu pengetahuan, baik dalam bentuk awam maupun akademik yang luar biasa.

Adalah Hamzah Fansuri, ulama juga sastarawan besar yang masa hidupnya diperkirakan pada masa Al Mukammil memerintah, yaitu pada akhir abad ke 16.

Kepustakaan menyebutkan Hamzah Fansuri adalah seorang pengelana, dan pencari ilmu kampiun yang tak pernah berhenti.

Ia belajar ke Mekkah, Madinah, Al Qud-Yerussalm, Suriah, dan bahkan sampai ke Baghdad.

Ia adalah sastrawan dan sufi terbesar pada zamannya, dan bahkan sampai hari ini.

Ia menguasai bahasa Arab, Urdu, dan bahasa Persia.

Jika dikaitkan dengan kesimpulan Teuku Iskandar (1959), bahwa penulis Hikayat Aceh adalah Syamsudin As Sumatrani, yang merupakan murid andalan Hamzah Fansuri, maka kolam pengetahuan Aceh tentang Iskandar Dhul-Qarnayn kini memberikan sebuah indikasi yang jelas.

Ketika al Mukammil mempersiapkan sang cucu sejak kecil, obsesi dan role model yang dicontoh adalah imajinasi tentang kehebatan Iskandar Dhul-Qarnayn.

Sangat mustahil pembelajar dan sastrawan besar sekelas Fansuri tidak membaca Iskandarname yang ditulis oleh sastrawan besar Persia, Nizami  Ganjavi (Marzolph 2010) yang menguraikan tentang raja ideal, bahkan islami seperti Iskandar Agung.

Itu artinya cerita dalam Iskandarname tentang Iskandar Dhul-Qarnayn menjadi salah satu bacaan dan perbincangan tentang capaian dan bentuk ideal kerajaan yang diimpikan.

Cerita itu kemudian mengilhami tidak hanya sang kakek- al Mukammil, akan tetapi juga pemilik nama itu sendiri- Iskandar Muda untuk menjadi personifikasi Iskandar Agung.

Tidak berlebihan untuk disebutkan tentang pengaruh personifikasi Iskandar Muda terhadap Iskandar Dhul-Qarnayn, seakan menjadikan laku Iskandar Agung menjadi  manual, bahkan cetak biru ideal yang dijadikan pedoman oleh Iskandar Muda dalam menjalani takdirnya sebagai raja Aceh pada masa itu.

Sangat berkemungkinan, Al Mukammil mendengar cerita dari berbagai sumber yang pada masa itu memang berkembang di dunia Melayu (Nusantara).

Apa yang menjadi unik tentang kabar Iskandar Dhul-Qarnayn di Aceh adalah, di samping cerita, bahkan Hikayat Iskandar Dhul-Qarnayn, Aceh punya narasumber yang luar biasa, Hamzah Fansuri dan Syamsudin As-Sumatrani.

Proyeksi diri Iskandar Muda untuk menjadi raja berkelas dengan berkaca kepada kehebatan dan kejayaan Iskandar Agung kemungkinan besar mulai terjadi ketika kakeknya memberi perhatian khusus kepadanya.

Itu artinya ada sebuah eskpektasi yang sangat besar tentang masa depan sang cucu.

Ekspektasi itu kemudian terinternalisasi dengan asuhan Syamsudin As-Sumatrani yang pada awalnya adalah pendidik, bahkan guru besar sang raja, dan kemudian menjadi penasihat agung yang melebihi titel qadhi kerajaan.

Proses itu memberi jalan kepada Iskandar Muda untuk “menjiplak”  dalam berperang dan mengurus negara mengikuti napak tilas Iskandar Agung yang oleh banyak penulis diistilahkan dengan “Imitatio Alexandri” (Gruen 1998; Martin 1998; Kühnen 2008).

Jiplakan personifikasi diri seperti itu tidak hanya dilakoni oleh Iskandar Muda.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Sultan Mehmed II, Beyazid I, dan Suliaman Agung, dari kerajaan Ottoman (Su Fang Ng 2019).

Raja Akbar dan Aurungzeb dari Kerajaan Mughal India (Su Fang Ng 2019 ) juga mengikuti pola yang serupa.

Watak yang paling menonjol yang dijadikan pegangan adalah kemampuan militer, dan cetak biru kerajaan yang bersifat kosmopolit.

Yang dimaksud adalah bukan hanya soal penaklukan, tetapi juga menjadikan rakyat di kawasan yang ditaklukkan sebagai ummat universal yang perlu dihormati dan diberi martabat kemanusiaan.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved