Kupi Beungoh

Patahnya Sayap Muhammadiyah di Samalanga

Pelarangan pembangunan Masjid Muhammadiyah di Sangso, Samalanga, adalah salah satu contoh tentang bagaimana program literasi itu tidak berjalan...

Editor: Muhammad Hadi
Dok Pribadi
Khairil Miswar adalah Penulis buku Habis Sesat Terbitlah Stres (2017) 

Oleh: Khairil Miswar *) 

Pada 2016 lalu saya sempat mewawancarai Tgk Bulqaini yang akrab disapa Tu Bulqaini, seorang tokoh dayah di Banda Aceh. Beliau adalah salah seorang tokoh yang cukup vokal memperjuangkan pemikiran Aswaja di Aceh.

Kala itu, saya mewawancari beliau untuk kebutuhan penulisan tesis saya yang bertajuk “Wahhabi dalam Perspektif Himpunan Ulama Dayah Aceh dan Implikasinya terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan di Aceh.”

Ada banyak pertanyaan yang saya ajukan saat itu. Salah satunya soal organisasi Muhammadiyah. Terkait soal Muhammadiyah beliau mengatakan dengan cukup tegas bahwa tidak ada masalah dengan organisasi itu.

Beliau juga menceritakan tentang bagaimana keakraban beliau dengan kader-kader Muhammadiyah di Aceh. Dalam soal agama pun begitu, kata beliau. Hanya ada perbedaan-perbedaan kecil yang masih bisa dimaklumi.

Tidak hanya kepada Tu Bulqaini, pertanyaan serupa juga saya ajukan kepada tokoh-tokoh dayah lainnya. Memang ada beberapa tokoh dayah yang tampak kurang berkenan dengan keberadaan Muhammadiyah, namun secara umum pandangan mereka terhadap Muhammadiyah biasa saja, meskipun mereka mengakui ada beberapa perbedaan dalam tatacara ibadah.

Sementara itu, ada pula sebagian tokoh dayah yang tidak mau mengomentari soal Muhammadiyah dengan alasan tidak memiliki pengetahuan yang cukup terkait organisasi itu.

Baca juga: Transportasi Publik Berkeadilan yang Ramah Disabilitas

Berdasarkan wawancara dengan beberapa tokoh dayah, termasuk Tu Bulqaini, saya tidak menemukan adanya pernyataan yang menyebut Muhammadiyah tidak boleh ada di Aceh.

Lagi pula faktanya, Muhammadiyah memang telah lama melebarkan sayapnya di Aceh – yang bahkan mendahului masuknya organisasi NU dan Perti.

Artinya, dalam konteks organisasi, Muhammadiyah adalah salah satu organisasi tertua yang telah masuk ke Aceh di masa kolonial, jauh sebelum NU dan Perti berkembang.

Namun begitu, kita tidak memungkiri tentang adanya persaingan antara pemikiran-pemikiran yang dibawa Muhammadiyah dengan keyakinan-keyakinan yang dianut dayah di Aceh. Kontestasi otoritas keagamaan antarkeduanya memang telah, masih dan mungkin akan terus terjadi.

Saya melihat ini sebagai fenomena biasa yang juga terjadi di belahan bumi mana pun. Hal-hal semacam ini tentu tidak perlu dikhawatirkan selama kontestasi itu tumbuh dalam diskursus ilmiah, bukan dalam aksi-aksi anarkis.

Pelarangan Masjid Muhammadiyah di Samalanga 

Tentang kontribusi Muhammadiyah di Indonesia, khususnya di Aceh mungkin tidak perlu diuraikan lagi. Penjelasan terkait itu bisa ditemukan dalam banyak buku, majalah dan koran-koran yang menyemak di kedai kopi.

Bila pun dokumen-dokumen itu sulit ditemukan, dengan kecanggihan teknologi informasi saat ini, informasi itu akan dengan sangat mudah dilacak melalui belantara Google yang kemudian akan mengantarkan pembaca kepada artikel-artikel website dan juga jurnal-jurnal ilmiah. Secara khusus, saya juga sudah pernah menulisnya beberapa kali di kolom Opini Harian Serambi Indonesia.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved