Kupi Beungoh
Orang Aceh, Antara Fanatisme dan Histeria
SEBAGIAN besar orang Aceh sepertinya tidak akan membantah apabila disebut fanatik, sebab sikap tersebut telah mendarah daging sejak lama,
Oleh: Khairil Miswar *)
SEBAGIAN besar orang Aceh sepertinya tidak akan membantah apabila disebut fanatik, sebab sikap tersebut telah mendarah daging sejak lama, bahkan sebelum kata fanatik itu ada.
Sikap yang diawali oleh kesadaran ini kemudian menjelma dalam bentuk yang lebih kompleks, yaitu fanatisme – kecintaan berlebihan yang terkadang bertentangan dengan nalar. Hal ini dapat dilihat dari cara sebagian orang Aceh memandang sesuatu.
Fanatisme terhadap agama, tokoh agama, tokoh sejarah dan tokoh politik adalah beberapa contoh tentang bagaimana rasa itu bergelayut dalam benak sebagian orang Aceh.
Berbeda dengan fanatisme yang telah dianggap sebagai bagian dari gaya hidup, orang Aceh sepertinya akan terkejut-kejut dan tersinggung apabila disebut mengidap histeria – sikap unik lainnya yang tidak jauh berbeda dengan fanatisme, di mana keduanya sama-sama dipecut oleh ledakan psikologis yang tak terkendali.
Bedanya, fanatisme dilandasi oleh kesadaran yang kemudian termanifestasi dalam kecintaan buta, sementara histeria berangkat dari keterkejutan yang kemudian bertransformasi menjadi kecintaan tiba-tiba. Dua fragmen ini saling mengisi dan melengkapi kehidupan orang Aceh.
Fanatisme
Fanatisme sebagian orang Aceh dalam beragama dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, di mana fanatisme ini tidak hanya tumbuh dalam ritual-ritual yang memiliki landasan teologis, tapi juga pada hal-hal sekular yang kemudian dianggap sebagai bagian dari agama. Hal-hal yang kemudian dipertahankan dengan segenap jiwa.
Dalam banyak kasus fanatisme yang bergerak liar ini terkadang juga berbuah anarki. Banyak bermunculan “polisi-polisi moral” yang melakukan penindakan terhadap hal-hal yang dianggap bertentangan agama dengan cara-cara yang justru dilarang oleh agama.
Baca juga: Kualitas dan Kesejahteraan Guru di Era Otonomi
Baca juga: Patahnya Sayap Muhammadiyah di Samalanga
Kita tentu masih ingat dengan aksi sekelompok orang yang melakukan razia, mengecat, menyemprot dan bahkan menggunting celana perempuan yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama. Sebagian orang menganggap perbuatan ini sebagai jihad dan bentuk kecintaannya kepada agama.
Demikian pula dengan fanatisme kepada tokoh agama juga memiliki keunikan tersendiri di kalangan orang Aceh. Kita mungkin masih ingat ketika Covid-19 melanda, protokol kesehatan menjadi tidak penting setelah ada tokoh agama yang mengatakan cukup membaca doa-doa sembari mempertegas virus itu hanya ditujukan kepada kafir.
Fanatisme kepada kelompok-kelompok politik pun begitu. Ketika awal mula partai-partai lokal muncul di Aceh, ada partai yang mencoba melakukan dominasi dengan menyebut partai-partai lain sebagai pengkhianat, lhab darah, pueblo nanggroe dan semacamnya. Akhirnya teror dan intimidasi pun menghiasi perpolitikan kita. Demikianlah fanatisme tumbuh, bergerak dan menemani kehidupan kita di Aceh.
Histeria
Pada 2015 kita mungkin masih ingat dengan kemunculan seorang penceramah dadakan yang mengaku sebagai mantan pendeta dan presiden misionaris Asia. Kehadirannya yang membawa informasi-informasi mencengangkan disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat Aceh kala itu.
Saat itu sebagian masyarakat Aceh menghancurkan produk Tupperwere setelah mendengar “fatwa” dari si penceramah yang menyebut produk itu bagian dari misionaris.
Ketika itu tidak ada yang berani membantah si penceramah yang tak jelas asal-usulnya tersebut karena takut dianggap murtad. Uniknya si penceramah yang kemudian terbongkar sebagai penipu dan provokator ini juga berhasil menyebarkan kebohongan yang dibungkus dengan kesan religius di kampus-kampus.
Setelah kebohongannya terbongkar barulah kemudian sebagian orang Aceh mengutuk si penceramah yang dulunya disanjung dipuja.