Jurnalisme Warga
Sepak Bola, Antara Hiburan dan Rivalitas 90 Menit
Ada negara yang mati-matian berkorban demi kemajuan sepak bola di tengah ancaman krisis ekonomi seperti Uruguay

OLEH YULIA ERNI, S.Pd, Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Pidie dan Pengurus PBSI Pidie, Aceh, melaporkan dari Sigli
SETELAH melakukan pengamatan dari tahun ke tahun, saya mulai menyimpulkan jika ada ajang pemungutan suara dalam rangka pemilihan cabang olahraga favorit, sepak bola dipastikan olahraga dengan hasil voting terbanyak karena selalu mendominasi olahraga apa pun di belahan benua mana pun.
Bagaimana menurut Anda? Dalam bukunya ‘Homo Deus’, Yuval Noah Harari mengungkapkan sebuah fakta bahwa sepak bola bisa dimainkan di rumput yang dirawat dengan cermat karena diklasifikasikan olahraga sangat penting (asalkan tentu saja punya uang).
Di sana manusia mengidentifikasi halaman rumput sebagai kekuatan, politik, status sosial, dan kemakmuran ekonomi.
Artinya, sepak bola olahraga yang cukup serius diperhitungkan dalam berbagai aspek.
Bisa dilihat dari berbagai perspektif mulai antusiasme, jumlah liga, kasta, maupun anggaran.
Ada negara yang mati-matian berkorban demi kemajuan sepak bola di tengah ancaman krisis ekonomi seperti Uruguay.
Tak hanya itu, keseriusan sepak bola bisa melahirkan rivalitas yang kini dialami Brazil dan Argentina warisan Pele dan Maradona.
Bahkan, ada yang menyeret kedua kubu ke lembah perang seperti Honduras dan El Salvador.
Baca juga: Nestapa Sepak Bola Indonesia, Iwan Fals Rilis Lagu Kanjuruhan
Baca juga: 11 Tragedi Sepak Bola yang Menghilangkan Nyawa Banyak Orang, Laga Arema FC Vs Persebaya Peringkat 2
Mengapa demikian? Ya, eksistensi dan harga diri.
Sepak bola olahraga bergengsi yang mampu mendongkrak popularitas tim (negara) di kancah dunia.
Jadi, siapa saja yang menciptakan kekalahan seolah telah menyisakan aib besar.
Pun sebaliknya, ada kebanggaan tak terhingga saat melihat tim idola bersanding juara.
Bicara olahraga, saya ataupun Anda mungkin menyadari bahwa publik lebih mengakui keberadaan Brazil pemilik lima kali juara dunia dibanding Amerika Serikat 17 kali juara umum Olimpiade.
Padahal, jelas-jelas Piala Dunia hanya memperoleh satu trofi, sedangkan Olimpiade puluhan medali.
Bila dibanding turnamen khusus sepak bola dengan semua cabang olahraga nonsepak bola, poin kedua hampir tidak ada masalah yang berarti di lapangan, baik tingkat daerah maupun dunia.
Mengapa? Kemungkinan besar kurang bergengsi.
Lantas, bagaimana dengan sepak bola? Berangkat dari liga tarkam sampai liga dunia selalu ada cerita tak indah untuk didengar di balik euforia.
Saya masih ingat di pengujung tahun 2019 terjadi aksi brutal suporter yang mengancam keselamatan pemain pada pergelaran Piala KONI Aceh di Lapangan Bandar Baru, Pidie Jaya.
Baru-baru ini kita juga dikejutkan oleh aksi pembakaran yang dilakukan oknum di Stadion Haji Dimurthala Banda Aceh saat debut pertama Persiraja di Liga 2.
Baca juga: Ismed Sofyan, Azhar Ikut Diklat Pelatih Sepak Bola, Anggota DPR RI Nasir Djamil Datang Beri Dukungan
Belum lagi bicara Liga 1 musim lalu yang sarat kontroversi.
Anehnya, cerita serupa tak lagi terdengar aneh.
Mungkin karena fenomena itulah sepak bola mampu menghipnotis berjuta umat.
Banyak pro kontra di baliknya.
Mulai dari hiburan, hobi, candu, fanatisme, hingga rivalitas.
Kedua contoh kasus di lapangan tadi seperti biasa pelan- pelan berakhir samar dan damai.
Kini lagi dan lagi, ada cerita berlanjut pada pekan ke-11 BRI Liga 1 saat klub milik Juragan 99, Gilang Widya Pramana, Arema menjamu Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Kota Malang.
Sebagai pecinta sepak bola, saya turut berduka atas tragedi berdarah yang menimpa 131 korban jiwa dari berbagai kalangan usai tuan rumah Singo Edan menelan kekalahan 3-2 atas Persebaya.
Pemicu insiden beragam kronologi, mulai dari Aremania sebutan lain suporter Arema turun lapangan melakukan protes terhadap pemainnya hingga semprotan gas air mata oleh pihak berwajib yang menurut Undang-Undang FIFA melanggar Pasal 19.
Rivalitas selalu ada di dunia sepak bola.
Bolamania pasti tahu bagaimana panasnya laga Persib dan Persija hingga dijuluki El Clasico Indonesia.
Baca juga: Legenda Sepak Bola Iran Kutuk Kematian Mencurigakan Mahsa Amini di Tangan Polisi, Dukung Demonstrasi
Presiden FIFA, Gianni Infantino, dan segenap negara yang bernaung di bawah FIFA lewat bendera setengah tiang di markas besar induk organisasi sepak bola dunia di Zurich, Swiss, mewakilkan belasungkawanya kepada keluarga korban bertema “Hari Kelam bagi Seluruh Insan Sepak Bola Dunia” yang tercatat kedua terparah setelah tragedi di Peru.
Semoga ini menjadi awal mula reformasi sepak bola tanah air mendatang.
Belajar dari pengalaman Liga Inggris yang berbenah diri menjadi liga terbaik dunia pascatragedi Hillsborough tahun 1989 silam yang memakan 96 korban jiwa.
Pertanyaannya, apakah Indonesia bisa belajar dari semua pengalaman tersebut? Semua sedang menanti apa sanksi yang diberikan FIFA kepada PSSI.
Siapa saja pihak yang harus bertanggung jawab? Sungguh kejam peristiwa setragis ini bila berakhir tanpa usut dan tersangka.
Bayangkan andai isu delapan tahun pembekuan Liga Indonesia oleh FIFA diketuk palu, apakah tidak akan berdampak pada semrawutnya ekonomi? Andai benar bisa berbenah, tentu butuh waktu lama berevolusi, mulai dari kapasitas ilmu pengetahuan, dan paling penting bagaimana berperilaku di lapangan.
Apa arti pengetahuan jika tidak mengubah perilaku, sama saja tidak berguna.
Jangan-jangan selama ini benar anggapan slogan ‘My Game is Fair Play’ lahir karena sepak bola berbasis tidak fair.
Sebab, fair sendiri bermakna adil.
Sekarang coba lihat berapa banyak ketidakadilan di dunia sepak bola? Mulai dari sikap wasit hingga penonton yang harus menanggung aksi bar-barisme spektator.
Baca juga: Saat Pesohor Sepak Bola Berlomba Pakai Gadget Canggih, Eric Cantona Masih Setia Gunakan Nokia Jadul
Sejatinya, sepak bola selalu terlihat benar di mata pemenang dan selalu terlihat salah oleh pihak yang kalah.
Pernahkah Anda melihat jalannya sebuah pertandingan berjalan khidmat tanpa konflik kecil di lapangan? Bertahun-tahun saya menonton, baik langsung maupun di layar kaca, tidak pernah menemukan sepak bola berjalan suci.
Jika karakter lapangan sebagai pemain, manajemen, official, otoritas, dan penonton belum terbentuk mestinya ada opsi kedua semacam mitigasi bencana untuk mengantisipasi kemungkinan hal-hal buruk yang bakal terjadi di lapangan.
Ingat, sepak bola olahraga kontak fisik berlatar latihan ketahanan berat yang rentan terpancing emosi.
Mereka menempuh jarak lari 9-12 kilometer per pertandingan, belum termasuk sesi latihan fisik dan teknik.
Saya pribadi mulai merenung andai benar isu FIFA menjatuhkan sanksi seluruh pertandingan Liga Indonesia dibekukan delapan tahun, keanggotaan Indonesia di FIFA dicabut, status tuan rumah Piala Dunia U-20 di Indonesia musim depan dibatalkan, yang pastinya juga gagal tampil.
Paling sakit, timnas U-19 yang sedang ganasganasnya lolos bersaing di Piala Asia dicoret, apa yang bakal terjadi? Katakanlah masih ada kesempatan, apakah PSSI masih percaya diri menggelar Piala Dunia U-20 musim depan? Terlepas setuju atau tidak, tragedi di Kanjuruhan adalah bukti gagalnya otoritas sepak bola Indonesia di era sepak bola modern karena tragedi Kanjuruhan bukan kecelakaan versi biasa di lapangan.
Bisa-bisa masyarakat ke depan tak lagi melihat sepak bola sebagai ajang hiburan, melainkan pemandangan menakutkan dan sumber horor.
Harapan terakhir dari dari saya, semoga 1 Oktober diabadikan dalam sejarah olahraga Indonesia untuk mengenang peristiwa bersimbah darah yang terkandung makna di dalamnya bahwa rivalitas cukup 90 menit, sisanya mari menjalin solidaritas untuk menciptakan damai sejalan dengan moto olahraga “Menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas.” (yuliaernialaska@ gmail.com)
Baca juga: Beri Rp 500 Juta untuk Timnas Sepak Bola Amputasi, Presiden: Nanti Kalau Pulang Juara, Beda Soal
Baca juga: Pemuda di Sukabumi Ditemukan Tewas Bersimbah Darah, Sempat Pamit Nonton Sepak Bola