Jurnalisme Warga

Secuil Kisah tentang RSUD Tgk Abdullah Syafii

Saat awal pembangunan, terjadi beberapa kendala, intimidasi, dan ancaman karena saat pelaksanaan situasi dan kondisi daerah masih dilanda konflik

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Secuil Kisah tentang RSUD Tgk Abdullah Syafii
FOR SERAMBINEWS.COM
ZULKIFLI, M.Kom, Anggota FAMe Chapter Bireuen dan mantan ketua Karang Taruna Bireuen, melaporkan dari Mutiara Timur, Pidie

OLEH ZULKIFLI, M.Kom, Anggota FAMe Chapter Bireuen dan mantan ketua Karang Taruna Bireuen, melaporkan dari Mutiara Timur, Pidie

Tulisan ini merupakan lanjutan reportase yang pernah saya tulis tentang proses awal pembangunan Rumah Sakit Tgk Abdullah Syafie yang berlokasi di Gampong Lada, Kota Mini Beureunuen, Kecamatan Mutiara Timur, Pidie.

Tulisan pertama berisi cerita awal dan suka duka dalam pengadaan tanah dan proses pembangunan rumah sakit di masa konflik.

Tulisan kedua ini saya berkisah tentang proses pengoperasian rumah sakit dan upaya mendapatkan nomor kode rumah sakit dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Modal awal pembangunan RSUD dimulai berupa tanah yang dikelola kujreun blang/kantor camat di Gampong Lada seluas 8 aree (± 1.250 m2).

Kerja keras dan bantuan berbagai pihak, termasuk tambahan pembebasan lahan dan penukaran beberapa petak tanah lainnya, sehingga terbangunlah cikal bakal bangunan rumah sakit.

Menurut Keuchik Gampong Lada, Tgk Razali, saat ini luas tanah yang telah dibebaskan dan berdiri bangunan ± 3 hektare (ha).

Sesuai masterplan, akan dibebaskan 3 ha lagi tanah milik masyarakat Gampong Lada.

Saat awal pembangunan, terjadi beberapa kendala, intimidasi, dan ancaman karena saat pelaksanaan situasi dan kondisi daerah masih dilanda konflik.

Apalagi saat penerapan Darurat Militer yang bersambung dengan Darurat Sipil.

Bahkan kami (Zulkifli, Aslim Affan, dan Mukim Razali Badal) sempat disebut “gila”, karena membangun rumah sakit di tengah sawah, luas, tapi anggaran terbatas, lokasinya pun di kawasan rawan konflik.

Apalagi saat pembangunan awal, belum jelas klasifikasi jenis rumah sakit yang dibangun: rumah sakit umum atau rumah sakit jiwa.

Baca juga: Sempat di RS Arun, 18 Karyawan RSUD Langsa yang Kecelakaan di Gunung Salak Dirawat di RSUD Langsa

Baca juga: RSUD dr. Zainoel Abidin turut Berduka Cita atas Meninggalnya Abu Tumin Blang Bladeh

Pernah jadi perbincangan di warkop bahwa kami membangun rumah sakit jiwa.

Masyarakat berpikir, karena kondisi daerah konflik, banyak warga yang terganggu psikis (jiwa)-nya.

Jadi, perlu dibangun rumah sakit jiwa di daerah.

Tapi alhamdulillah, berkat kesabaran dan tawakal kepada Allah, doa dukungan semua pihak, akhirnya cita-cita lahirnya rumah sakit di Beureunuen pun terwujud.

Tahun 2005, bangunan baru siap dua gedung, satu berlantai dua, satu lagi hanya satu lantai, tapi belum bisa digunakan.

Seratus hari pascatsunami, saat masa rehab rekon, NGO dari Prancis, Medecins Sans Frontieres (MSF), memanfaatkan satu bangunan sebagai layanan kesehatan masyarakat, mereka memanfaatkan bangunan satu lantai, dengan lima ruangan, dan sepuluh tempat tidur.

Layanan kesehatan tersebut dilayani satu orang dokter NGO, dr Soros dari Iran, dua perawat, yaitu Azades dari Iran, Megan dari Australia, dan dibantu tiga dokter plus 24 perawat dari Dinkes Pidie.

Dokter dan perawat sebagian dialihkan dari Puskesmas Mutiara.

Mereka memberi layanan sekelas rumah sakit, baik di IGD maupun di tempat rawatan.

Selama dalam rawatan, pasien dan pendamping disediakan makan gratis tiga kali sehari.

Pemanfaatan oleh NGO lebih kurang satu tahun, tahun 2005 bangunan tersebut diambil alih oleh Dinkes Pidie dan pelan-pelan difungsikan jadi rumah sakit.

Saat awal peralihan menjadi rumah sakit, banyak kekurangan dan kendala, baik SDM, perlengkapan, laboratorium, peralatan, maupun administrasi, termasuk belum adanya nomor kode rumah sakit (registrasi) bukti pengakuan dari Kemenkes RI.

Baca juga: Warga Lammeu Pidie Sudah 7 Bulan Terbaring, Luka di Dada & Kaki, Akhirnya Dibawa Lembaga KP2 ke RSUD

Nomor kode rumah sakit merupakan nomor kode pengenal/identitas setiap rumah sakit secara nasional.

Kode pengenal bisa merupakan pencatatan data dasar rumah sakit (RS) dan pelaporan pada Kemenkes, juga untuk mempermudah bentuk pembinaan dan pengawasan pelayanan kesehatan oleh pemerintah.

Sejak dioperasikan sebagai rumah sakit, hampir empat tahun, status rumah sakit belum ada nomor kode rumah sakit.

Saat itu, dokter dan perawat yang berdinas di rumah sakit tersebut sempat mengalami kecemasan karena belum terdaftarnya institusi di Kemenkes.

Mereka mengira, kalau rumah sakit belum terdaftar (registrasi) di Kemenkes, suatu saat terancam perjalanan kariernya dan bisa-bisa operasional rumah sakit ditutup.

Selama tdak ada registrasi, tentunya juga mengalami kendala alokasi anggaran pengembangan rumah sakit, baik dana alokasi khusus (DAK) maupun bantuan lainnya dari pemerintah.

Selama empat tahun, Pemkab Pidie hanya mengalokasikan dana pengoperasian dan bantuan rumah sakit tersebut melalui APBK via SKPK Dinkes Pidie.

Kalau tidak ada registrasi, bantuan hanya sebatas alokasi dana melalui Dinkes dan tentu tidak akan maksimal.

Begitu juga hal bergabung dokter spesialis di rumah sakit ini tentu ada hambatan.

Adanya registrasi, selain tercatat di Kemenkes, juga memudahkan proses mendapatkan alokasi dana bantuan pemerintah dan bisa langsung mengelola melalui SKPK secara mandiri dan otonom.

Hal ini tentu juga akan berimbas, maksimalnya operasionalisasi rumah sakit.

Untuk menghilangkan kecemasan berbagai pihak dan kendala bagi manajemen rumah sakit, direktur rumah sakit beserta jajaran serta Dinkes Pidie saat itu terus melakukan berbagai upaya mendapatkan nomor kode rumah sakit.

Baca juga: Dokter RSUD Simeulue Hentikan Mogok Kerja, Pelayanan Poli RSUD Kembali Dibuka

Tahun 2009, saat direktur rumah sakit dijabat dr Elfina Rachmi dan Kadiskes dijabat dr Abdul Hamid MSi, diutus Kepala Tata Usaha (KTU) Rumah Sakit, Basri SKM ke Jakarta untuk membawa surat permohonan dari Dinkes Pidie.

Di Jakarta, Basri ditemani Samsul, menjumpai Prof Syamsuddin Mahmud (saat itu Gubernur Aceh), kemudian beliau menelepon langsung dr Mulya Hasjmy (putra almarhum Ali Hasjmy) yang saat itu berdinas di Kemenkes RI.

Setelah itu, Basri menjumpai M Nasir Djamil (Anggota DPR RI asal Aceh) di Gedung DPR RI Senayan.

Setelah melapor keperluan kepada Nasir Djamil di Senayan, Basri dan Nasir berangkat ke Kantor Departemen Kesehatan untuk menjumpai Pak Mulya Hasjmy.

“Ya, ditemani Nasir Djamil dalam guyuran hujan lebat, kami ke Depkes berjumpa dr Mulya Hasjmy,” kenang Basri saat itu.

Tk sampai dua bulan setelah dimasukkan persyaratan, dengan pengawalan Nasir Djamil di Kemenkes, dibantu sejumlah pihak, akhirnya pada 23 Juni 2009 nomor kode rumah sakit tersebut keluar, yakni 1109027, ditandatangani Sekretaris Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, dr Mulya A Hasjmy SpB, MKes.

Setelah adanya nomor kode registrasi, tahun 2009 untuk pertama sekali rumah sakit tersebut mendapatkan alokasi dana DAK Pidie, bantuan langsung dikelola manajemen rumah sakit.

Selain itu, rumah sakit juga mendapat sejumlah bantuan lainnya yang bersumber dari APBA dan APBN tanpa harus melalui SKPK Dinkes.

Setelah peresmian, nama rumah sakit ini beberapa kali berubah.

Pernah bernama RSU Beureunuen, Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA), dan terakhir RSU Tgk Abdullah Syafi’i.

Sejak 2019, RS ini pun menjadi badan layanan umum daerah (BLUD).

Alhamdulillah, RS ini sudah terakreditasi jadi BLUD tipe C.

Baca juga: Pelayanan Poli RSUD Simeulue Lumpuh Akibat Dokter Mogok Kerja

Perkembangannya sangat pesat, SDM, dan aneka fasilitasnya pun lumayan memadai dan membanggakan, bahkan telah menjadi rujukan beberapa puskesmas.

Dalam proses pembangunan dan perkembangan RS ini tentunya tidak bisa kita lupakan peran sejumlah pihak, seperti Kadinkes dr Abdul Hamid MSi, drg Mohd Riza Faisal MARS, DPRK Pidie, dan sejumlah pihak lainnya.

Termasuk sejumlah direktur yang pernah memimpin rumah sakit tersebut: dr Fahrul, dr Subkhan, dr Elfina Rahmi, dr Firman, Basri SKM, dr Kamaruzzaman MKes, dan dr Aci Erfia.

Semoga reportase ini bisa menambah lengkap khazanah literasi sejarah pembangunan Rumah Sakit BLUD Tgk Abdullah Syafiie yang kita bangggakan, juga sebagai bentuk penghormatan bagi yang berhak. (zulladasicupak@gmail.com)

Baca juga: RSUD Meuraxa Miliki 4 Dokter Spesialis Baru, Direktur: Demi Pelayanan yang Prima Terhadap Pasien

Baca juga: Ketua AJI Bireuen Umaruddin Sakit, Dirawat di RSUD dr Fauziah

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved