Jurnalisme Warga
Wisata Religi ke Makam Tgk Cot Malem di Lubuk Gapuy
Objek yang menarik untuk dikunjungi di Desa Lubuk Gapuy adalah makam ulama Aceh, Teungku Cot Malem, bagian dari wisata religi

OLEH SUYANTI, Guru SMAN 1 Ingin Jaya, Aceh Besar dan Anggota FAMe, melaporkan dari Aceh Besar
LUBUK Gapuy selama ini hanya dikenal sebagai desa pendamping Desa Wisata Lubuk Sukon di Kabupaten Aceh Besar.
Padahal, sebenarnya banyak juga objek yang menarik untuk dikunjungi di Desa Lubuk Gapuy.
Salah satunya adalah makam ulama Aceh, Teungku Cot Malem, bagian dari wisata religi.
Teungku Cot Malem adalah ulama yang berasal dari Baghdad, Irak.
Ia hijrah ke Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda berkuasa.
Ketika itu di Baghdad berkuasa pemimpin yang berbeda pemahaman agama dengannya.
Nama asli Teungku Cot Malem adalah Syekh Zulkarnaini Al-Baghdady, masih ada hubungan kerabat dengan Teungku Chik Tanoh Abee yang sama-sama berasal dari Baghdad.
Karena hubungan kekerabatan itulah cucu keturunan Teungku Chik Tanoh Abee Seulimum setahun sekali rutin menziarahi makam Teungku Cot Malem.
Dikenal dengan nama Teungku Cot Malem karena beliau tinggal di atas bukit dan terkenal dengan kesalehan (malem)-nya dan sakti.
Tidak ada catatan pasti tahun berapa beliau lahir dan tahun berapa meninggal.
Baca juga: Wisata Religi ke Masjid Rahmatullah Lampu’uk
Baca juga: Warga Antusias Kunjungi Masjid Giok, Jadi Objek Wisata Religi di Nagan Raya
Namun, diperkirakan beliau sepantaran dengan Teungku Chik Tanoh Abee yang hidup antara 1810-1894.
Itu artinya, beliau hidup dalam dua situasi Aceh, pra dan periode perang Aceh melawan Belanda sejak tahun 1873.
Menurut sejarah yang diceritakan secara turun-menurun di kampung penulis, melihat keilmuan dan keulamaannya Sultan Iskandar Muda setiap membuat musyawarah ataupun pengajian, tidak akan dimulai sebelum Teungku Cot Malem hadir.
Karena setiap ada masalah yang tidak bisa diputuskan dalam musyawarah ataupun pengajian, selalu Teungku Cot Malem mampu mencari jalan keluar yang berlandaskan nas pada Al-Qur’an dan kitab para ulama, secara tidak tertulis Teungku Cot Malem termasuk dalam syekhul Islam atau penasihat kerajaan seperti juga Teungku Chik Tanoh Abee.
Teman-teman seperjuangan beliau adalah Teungku Chik Eumpe Awee di Blang Bintang; Teungku Chik Glee Inem di Siem, Darussalam; Teungku Chik Diweung di Lambirah, Sibreh; Teungku Syiah Kuala (Abdurrauf As- Singkily); Teungku Abdullah Simpang Kanan, dan Syekh Hamzah Fansyuri.
Sebagian dari mereka ikut memperkuat perjuangan Teungku Chik Di Tiro setelah Sultan Aceh yang terakhir, Muhammad Daud Syah, ditawan Belanda pada 10 Januari 1903 dan kemudian dibuang ke Batavia.
Kekeramatan makam Tgk Cot Malem Menurut saksi mata yang masih hidup, di makam Teungku Cot Malem pengunjung tidak boleh berbuat kemaksiatan ataupun hura-hura karena akan mendapat musibah, bala, ataupun celaka.
Salah satunya adalah munculnya kumpulan ular yang bergelantungan dari atas pohon tua yang menaungi kuburan Teungku Cot Malem.
Jadi, walaupun setiap tahun warga Mukim Lubuk mengadakan khanduri blang (kenduri sawah) di Kompleks Makam Teungku Cot Malem, tetapi semua warga, termasuk anakanak, diimbau dan dijaga agar jangan terlalu euforia.
Juga pernah ada kejadian, saat pascatsunami Kompleks Teungku Cot Malem mendapat dua buah rumah bantuan yang dimaksudkan sebagai Kantor Yayasan Teungku Cot Malem.
Saat itu, bulan puasa Ramadan, tukang yang membuat rumah bantuan tersebut berasal dari Medan, Sumatera Utara.
Ia sudah diingatkan oleh teungku (ulama) setempat agar jangan makan di siang hari dan bersenang-senang di kompleks makam.
Baca juga: Masjid Giok Jadi Objek Wisata Religi, Masih Butuh Rp 58 Miliar
Namun, para tukang dari Medan itu tak mengindahkan peringatan tersebut.
Dengan santainya mereka masak mi pada siang hari dan makan di atas kijing (bingkai) makam.
Tiba-tiba perut dan kaki mereka keras dan kembung.
Satu orang malah tewas dalam perjalanan ke rumah sakit.
Satu orang lagi berhasil diselamatkan setelah dirajah dan dirukyah oleh teungku yang memperingatkan tadi.
Setelah itu, mereka tidak berani melanjutkan pekerjaan dan segera pulang ke kampung halamannya.
Alhasil, penyelesaian pembangunan rumah bantuan dilanjutkan oleh tukang yang berasal dari Aceh.
Kesaktian Teungku Cot Malem Menurut legenda, asal usul dari terbentuknya aliran Sungai (Krueng) Cut di pesisir barat Kota Banda Aceh adalah karena garis yang ditarik menggunakan tongkat oleh Teungku Cot Malem.
Alkisah, pada saat terjadi kemarau panjang, Teungku Cot Malem turun dari kediamannya di Desa Atong, Montasik ke Desa Lambada di pesisir Aceh Besar dan bertanya apakah warga di sini membutuhkan air? Ketika para petani menjawab “Ya”, maka diseret Teungku Cot Malem-lah tongkatnya di atas permukaan tanah yang tadinya kering.
Lalu, keluarlah air mengikuti garisan tongkat tersebut.
Hal itu terus dilakukan Teungku Cot Malem sampai ke Desa Bakhoy, Kecamatan Ingin Jaya.
Saat ia tanyakan pada petani di Bakhoy apakah mereka membutuhkan air, petani di desa itu tidak ada yang menjawab, maka aliran tongkat itu pun diarahkan ke sungai besar, yaitu Krueng Aceh.
Dari sekian banyak desa yang ia lewati, Teungku Cot Malem sangat cinta pada desa di Lubuk Gapuy karena warganya baik dan ramah.
Baca juga: Kemegahan Masjid Agung Baitul Ghafur Abdya, Jadi Destinasi Wisata Religi, Mampu Tampung 4.200 Jamaah
Saat Teungku Cot Malem beristirahat di Bale Inong (sampai sekarang balainya masih ada) masyarakat desa itu dengan murah hati menyuguhkan makanan dan minuman untuk Teungku Cot Malem sehingga ia memutuskan untuk menetap di desa itu dan mendirikan balai pengajian untuk warga desa setempat.
Saat Teungko Cot Malem meninggal, jenazahnya dimakamkan di Desa Lubuk Gapuy, tepatnya di lingkungan balai pengajian yang didirikannya.
Kompleks Makam Teungku Cot Malem ini berada di Desa Lubuk Gapuy, Kemukiman Lubuk, Kecamatan Ingin Jaya.Aceh Besar.
Di tengah areal persawahan yang luas itulah Kompleks Makam Teungku Cot Malem berada.
Letaknya di sebelah timur dan agak naik sedikit ke atas bukit.
Luas kompleks makam ini sekitar 5.238 m2.
Ada juga sebuah sumur yang memang sudah ada sejak didirikannya balai pengajian, airnya jernih dan bersih, tak pernah kering walaupun sumur di rumah warga mengering.
Banyak orang yang datang berikhtiar mencari penyembuhan dan menunaikan hajat dengan berdoa di makam Teungku Cot Malem.
Sayangnya, jasa-jasa Teungku Cot Malem seperti terlupakan.
Belum ada sejarawan yang menulis riwayat tentang ulama sufi itu.
Mungkin reportase saya ini merupakan nukilan literasi yang pertama tentang sejarah Teungku Cot Malem.
Saya coba menggalinya melalui serangkaian wawancara dengan tokoh-tokoh tua di desa ini.
Yang melatarbelakanginya adalah karena saya sendiri yang berasal dari Desa Lubuk Gapuy merasa terusik dan miris jika sejarah ulama besar yang ada di kampung kami tidak ada lagi yang mengenangnya.
Sebagai destinasi wisata religi, ziarah ke makam Teungku Cot Malem adalah pilihan yang menarik dan memperkaya batin.
Selain jaraknya yang dekat dengan Kota Banda Aceh, juga jalan desanya sangatlah mulus.
Saya berharap kepada Disbudpar Aceh Besar maupun Provinsi Aceh untuk memberi perhatian pada objek wisata religi ini yang letaknya di desa pendamping desa wisata.
Misalnya, dengan membangun jalan masuk yang lebih mulus ke kompleks makam dan membuat sebuah tugu sejarah di kompleks makam.
Tujuannya, agar para pengunjung bisa mengetahui tentang sejarah Teungku Cot Malem dan anak cucu generasi kami juga tidak melupakan sejarah kampungnya sendiri. (*)
Baca juga: Wisata Religi ke Makam Habib Bugak
Baca juga: Musalla Cot Panglima, Wisata Religi Baru di Bireuen, Lokasi dan Pemandangan Nan Indah di Atas Bukit