Opini
Zakat Sebagai Pengurang Pajak di Aceh
Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2021 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,503 juta jiwa atau 9,68 Persen dari total penduduk Indonesia
OLEH MUHAMMAD NASHIR, Pegawai Kanwil DJP Aceh, Direktorat Jenderal Pajak
INDONESIA merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam menjamin kesejahteraan masyarakatnya sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2021 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,503 juta jiwa atau 9,68 Persen dari total penduduk Indonesia.
Seiring dengan tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia diperlukan langkah strategis negara dalam meningkatkan perekonomian.
Salah satu langkah tersebut di antaranya adalah dengan bergabungnya Indonesia dalam keanggotaan G20 yang merupakan forum kerja sama ekonomi internasional.
Melalui G20 Indonesia berupaya dalam melakukan pemulihan ekonomi global serta berupaya dalam mencapai Net Zerro Emission tahun 2060.
Salah satu upaya pemerintah dalam mendukung pelaksanan kegiatan tersebut adalah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan sebagai upaya dalam meningkatkan penerimaan perpajakan.
Tingginya angka kemiskinan di Indonesia, begitu juga pentingnya pajak sebagai sumber penerimaan Negara serta rasio pajak (tax ratio) yang masih rendah, maka dibutuhkan suatu langkah yang dapat mendorong penerimaan perpajakan sebagai sumber penerimaan APBN terbesar.
Salah satu langkah tersebut adalah dengan menetapkan zakat sebagai pengurang pajak.
Baca juga: Pemkab Abdya Gelar Apel Aset, Dua Mobil Dinas Hilang BPKB dan Tidak Bayar Pajak
Baca juga: Kenderaan Dinas Pejabat Pemkab Simeulue Banyak yang Belum Bayar Pajak
Mengingat Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh penduduk di Indonesia, mewajibkan pemeluknya untuk membayar zakat.
Posisi Aceh sebagai provinsi yang memiliki otonomi khusus dengan diberikan keistimewaan dalam membuat beberapa kebijakan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001.
Pada provinsi Aceh terdapat suatu kelembagaan yang didirikan sebagai lembaga pemungut zakat yang dikenal dengan Baitul Mal Aceh (BMA) dan Baitul Mal Kabupaten (BMK) untuk mengakomodir amanat dari pasal 192 Undang- Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa “zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terutang Wajib Pajak”.
Dalam UU Pemerintahan Aceh (UU PA) ini, zakat dapat dijadikan sebagai pengurang pajak penghasilan terutang atau dapat dijadikan sebagai kredit pajak (tax credit).
Selain UU No.11 tahun 2006, zakat juga diatur dalam Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2018 tentang Baitul Mal yang kedudukannya dipersamakan dengan peraturan daerah.
Pada pasal 105 disebutkan bahwa zakat yang dibayarkan kepada Badan BMA atau Badan BMK menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan dari wajib pajak yang dapat diartikan bahwasannya zakat dapat dijadikan sebagai pengurang pajak terutang dari Wajib Pajak.
Namun, apa yang tertuang dalam UU PA dan Qanun Aceh tidak sejalan dengan pasal 9 ayat (1) huruf (g) UU No.7 Tahun 2021 dan UU No 23 tahun 2011.
Ketidakselarasan antara UU PA dan UU HPP menimbulkan polemik yang berkepanjangan di provinsi Aceh sampai dengan saat ini karena wajib pajak tidak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 192 UU PA.
Oleh karena itu, dibuatlah kajian ini sebagai gambaran apakah zakat layak dijadikan sebagai pengurang pajak.
Baca juga: Wajib Pajak di Bireuen Manfaatkan Diskon PBB-P2, Realisasi Capai Rp 1,7 Miliar
Berdasarkan hasil survei yang pernah penulis teliti, terdapat temuan bahwa masyarakat dari berbagai tingkat usia, latar belakang pendidikan, dan berbagai jenis pekerjaan lebih memprioritaskan pembayaran zakat dibandingkan pembayaran pajak, dan mereka merasakan adanya beban ganda (double burden) yang harus mereka pikul, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwasanya masih banyak masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomis tapi mengabaikan kewajiban perpajakannya, atau melaksanakan kewajiban perpajakan tapi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya yang sering dikenal dengan istilah penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion).
Dengan adanya regulasi terkait zakat sebagai pengurang pajak, diperkirakan akan meningkatkan kepatuhan dan ketertiban Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya karena masyarakat tidak harus memikul beban besar seperti sebelumnya.
Berdasarkan hasil analisis peraturan Provinsi Aceh yang penulis lakukan, telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk dapat menerapkan konsep zakat sebagai pengurang pajak penghasilan sesuai Pasal 192 UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA).
Penerimaan zakat di Aceh merupakan bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sesuai dengan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 yang merupakan aturan pelaksanaan dari pasal 180 ayat (1) huruf (d) dan pasal 191 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintah Aceh.
Di dalam pasal 97 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 kembali ditegaskan bahwasanya zakat dan/atau infak merupakan sumber Penerimaan Asli Aceh (PAA) khusus yang pemungutan dan penyalurannya dikelola ole BMA, dan sumber Penerimaan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota Khusus yang pemungutan dan pengelolaannya diatur oleh BMK.
Masyarakat Aceh sampai saat ini belum dapat memanfaatkan zakat sebagai pengurang pajak seperti yang diamanatkan pada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 karena ketidakselarasan dengan aturan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, hanya sedikit dari masyarakat yang memanfaatkan dan melaporkan zakat sebagai pengurang pajaknya dalam SPT Tahunan Wajib Pajak.
Berdasarkan data pada Baitul Mal Aceh pada tahun 2018, terdapat 118.275 muzaki yang membayarkan zakat.
Sedangkan yang melaporkan pembayaran zakat pada SPT hanya 916 muzaki atau 0,77 Persen dari total muzaki yang membayarkan zakat melalui BMA dan BMK.
Dan setiap tahunnya pembayaran pajak dan zakat cenderung mengalami peningkatan, tetapi karena tidak memberikan dampak yang signifikan Wajib Pajak tidak melaporkan pada SPT Tahunan dan tidak memanfaatkan zakat sebagai pengurang pajak.
Pendapatan zakat akan masuk dalam kas daerah di Aceh dan terhitung sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan akan berdampak positif baik bagi Aceh.
Baca juga: Pemko Banda Aceh akan Tindak Wajib Pajak Jika Tunggak PAD
Karena pada saatnya akan meningkatkan kedua sumber penerimaan baik zakat maupun pajak di Aceh.
Jika diterapkan zakat sebagai pengurang pajak mungkin akan memberikan dampak kontraksi sementara pada pengurangan penerimaan perpajakan.
Tetapi pada saatnya zakat sebagai pengurang pajak akan meningkatkan investasi di Aceh yang berikutnya akan meningkatkan penerimaan pajak.
Penerapan zakat sebagai pengurang pajak di Aceh akan menarik minat wajib pajak dari luar Aceh dan luar negeri untuk melakukan kegiatan usaha di Aceh.
Dampak dari ini akan mendapatkan fasilitas pengurang pajak sebesar pembayaran zakat.
Pada akhirnya penerapan zakat sebagai pengurang pajak akan berpengaruh pada peningkatan jumlah muzaki dan jumlah wajib pajak yang pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan zakat dan pajak secara nasional.
Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa ketentuan zakat sebagai pengurang pajak dapat diterapkan di Aceh.
Pertanyaan lanjutannya adalah siapkah kita melaksanakannya dengan serius? Let's wait and see. (muhammad.nashir@pajak.go.id)
Baca juga: Warga Banda Aceh Diminta Ikut Awasi Penerimaan PAD dari Sektor Pajak, BPKK: Minta Struk dari Kasir
Baca juga: KPP Pratama Bireuen Gelar Tax Goes To Campus 2022 di UNIKI, Ajak Mahasiswa Sadar Pajak