Jurnalisme Warga
Tradisi Memuliakan Orang Meninggal di Aceh
Tanah perkuburan tinggi itu pertanda mulia bahwa yang dikebumikan di situ adalah adalah orang-orang terhormat seperti raja, ulama besar

OLEH T.A. SAKTI, Pensiunan dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie
SEJAK berpulang ke rahmatullah, istri saya Mardhiyah binti Tgk H Harun, di tengah malam tanggal 4 Juli 2022, telah memperkaya khazanah budaya saya mengenai tradisi orang meninggal yang dipraktikkan masyarakat Aceh.
Sumber tradisi itu berkaitan agama dan warisan leluhur.
Informasi mengenai tradisi itu, saya kumpulkan melalui perbincangan dan telepon seluler dari berbagai wilayah Aceh.
Pada intinya semua bentuk tradisi tersebut bermaksud memuliakan orang yang meninggal dunia.
Kematian adalah perpisahan, yaitu ‘peulikot donya peunab akherat’ (membelakangi dunia menuju akhirat).
Dalam perjalanan waktu, tradisi yang bersumber leluhur semakin tergerus dan nyaris tak bersisa.
Sementara yang bersumber agama tetap lestari walaupun telah berubah polanya.
Warisan leluhur Sampai hari ini masih dapat kita saksikan, tanah perkuburan tempo dulu dua macam.
Ada yang berupa tanah rata dan tanah undukan yang tinggi.
Tanah tinggi ini sebagian memang dataran tinggi alias bukit bahkan gunung.
Baca juga: VIDEO Masyarakat Ie Itam Baroh Woyla Aceh Barat Lakukan Tradisi Jelateh dan Tongkat Ijuk
Baca juga: Hadiri Tradisi Yaa Qowiyyu, Airlangga: Berilah Kekuatan Kepada Kami Umat Muslim
Sementara sejenis lagi sengaja dibuat tinggi atau ditimbun secara meuseuraya (gotong royong).
Tanah perkuburan tinggi itu pertanda mulia bahwa yang dikebumikan di situ adalah adalah orang-orang terhormat seperti raja, ulama besar, pejabat tinggi, atau ketua kaum.
Makam Poteumeuruhom Jaya di kabupaten Aceh Jaya tingginya lebih seratusan anak tangga.
Di situ berlangsung upacara “seumuleueng” yang dihadiri ribuan orang setelah Hari Raya Haji (Iduladha).
Kuburan Laksamana Keumala Hayati yang Pahlawan Nasional RI itu, juga tingginya saratusan anak tangga untuk sampai ke sana.
Lokasi kuburan itu berada di puncak bukit sekitar Krueng Raya, Aceh Besar.
Tanah di situ tidak luas, hanya muat dua kubur (Aceh: kubu) dan tanah sempit di sekitarnya.
Demikian penjelasan Dr Husaini Ibrahim MA, arkeolog Universitas Syiah Kuala (USK) sekaligus penulis buku Laksamana Keumala Hayati dan juga keterangan Drs Mohd Kalam Daud MAg, Dosen UIN Ar-Raniry, yang juga penjelajah sejarah dan manuskrip Aceh.
Kubu Poteu Meureuhom di Gampong Kandang, kecamatan Sakti, Pidie, adalah lokasi kenduri blang (kenduri sawah) bagi Mukim Kandang juga berada di perkuburan tinggi yang sengaja dibuat warga pada masa lalu.
Kampung saya, Bucue juga berada dalam Kemukiman Kandang itu.
Kubur Teungku Raja Imum, lokasi ‘khanduri blang’ di kampung saya tanahnya tinggi, yang sengaja ditinggikan masyarakat tempo dulu.
Alkisah, Teungku Raja Imum berasal dari Kerajaan Pasai, Aceh Utara.
Ada pula, gara-gara terdapat satu kuburan bertanah tinggi sampai kampung pun digelari dengan nama Jeurat Manyang (kuburan tinggi).
Baca juga: Jadi Muslim yang Taat, Sadio Mane Tak Mau Ikut-ikutan Tradisi Bayern Muenchen yang Satu Ini
Kampung itu berada di Kecamatan Mutiara, Pidie.
Terdapat beberapa tradisi leluhur terkait orang meninggal di Aceh yang sebagian besarnya telah punah Misalnya, tempo dulu, tikar bekas alas jenazah saat dibawa ke kuburan masih dimuliakan.
Tikar itu tidak diletakkan di sembarang tempat, tapi digantung di dinding rumah dalam bentuk gulungan.
Setiap tiba waktu asar, sebuah wadah berisi kemenyan yang telah dibakar ditaruh di atas tikar.
Bau asap kemenyan menyengat di rumah itu selama 44 hari.
Anak-anak lari ke luar rumah saat mencium bau yang menyeramkan itu.
Begitu, kisah Hajjah Rohani binti Yusuf kepada saya, yang tak lain adalah mertua saya sendiri.
Woebu dan jaga kubur Sekitar seabad lalu, masyarakat Aceh masih mempraktukkan woebu (“pulang untuk makan”) pada orang meninggal.
Seseorang yang taat alias teungku diundang makan malam ke rumah kematian selama 44 malam.
Tugas orang alim ini adalah membaca Al-Qur’an selama yang disanggupinya.
Bila batas waktu sudah cukup, kepada geungku kampung tadi diberikan sedekah uang dan buah tangan yang lumayan.
Bagi yang tidak mempunyai uang (jameun peng that meusaket = tempo dulu uang amat sukar didapat) maka dihadiahkan ‘bungong jaroe’ (tanda kenangan) beragam rupa.
Sampai ada yang memberikan sebatang pohon kelapa yang buahnya halal dipetik sepanjang pohon belum mati.
Pada tanah perkuburan lama hingga sekarang masih dapat kita lihat sebatang pohon asan (angsana) yang besar.
Baca juga: Warga Delima Masih Eksis Gelar Kenduri Blang, Warisan Leluhur Dijadikan Tradisi
Itulah bekas tenda orang menjaga kuburan tempo dulu.
Di bawah tenda itulah orang mengaji Al- Qur’an selama tujuh malam.
Sudah berabad tradisi menjaga kubur lenyap menghilang.
Namun, sekitar sepuluh tahun lalu, reusam ini dipraktikkan lagi dengan beragam cara.
Kuburan istri saya hanya dijaga oleh kedua anak lakilaki saya dengan ditemani anak kerabat lainnya.
Mereka membuat sebuah tenda dan di situlah dibaca Al- Qur’an sebelum tidur.
Menurut informasi, masyarakat Mukim Gapui, Kecamatan Indra Jaya, Pidie, punya tradisi menjaga kuburan secara bergiliran selama tujuh malam.
Pada malam-malam itu dibaca Al-Qur’an di samping makam.
Pihak tuan rumah hanya menyediakan kopi, teh, dan kue.
Reusam dunia Sejak dulu hingga sekarang, kematian seseorang dianggap musibah bersama.
Setelah mendengar pengumuman, masyarakat suatu kampung tumpah ruah berhimpun ke rumah orang yang meninggal.
Tempo dulu, tugas pertama perangkat gampong adalah membeli kain kafan dan papan keranda ke pasar kecamatan.
Sekarang, kesemua barang itu sudah tersedia di kampung masing- masing yang dibeli dengan dana kas gampong.
Mempersiapkan daun inai (on gaca), daun pandan, dan daun jeuraloh atau jaloh (tumbuh di pinggir sungai) dilakukan oleh kaum perempuan.
Daun inai dan jeuraloh disebut daun kayu surga (on kayee syuruga).
Daun ini dimasukkan ke dalam bantal jenazah dan kain kafan.
Baca juga: Lestarikan Warisan Leluhur, Ribuan Warga Delima Gelar Tradisi Khanduri Blang
Setelah semua urusan penguburan selesai, kepada semua yang hadir di pemakaman disajikan kenduri kue apam (sejenis serabi) dengan lauk kukuran kelapa yang ditaburi gula.
Tradisi kenduri apam masih dipraktikkan di sebagian daerah Aceh hingga sekarang.
Malam-malam inti Hitungan hari orang meninggal di Aceh mulai pada malam hari.
Pada malam ke- 7, 30, 44, 90, dan 100 adalah malam pilihan yang banyak tamu diundang kenduri sekaligus membaca doa.
Pada masa kecil saya, para hadirin membaca Qur’an selepas santap kenduri.
Sementara, sekitar 40 tahun lalu hingga sekarang para undangan hanya baca doa “samadiah” paling lama 40 menit.
Sekitar 30 tahun lalu, muncul tradisi samadiah bersama di Kabupaten Pidie.
Selama tujuh malam, perlu minta bantuan rumah famili buat tempat tamu berdoa.
Dalam tradisi orang meninggal di Aceh, hari pertama sampai hari ketujuh, baik siang maupun malam, penuh dengan keramaian.
Para tamu mengalir deras. Pemberitahuan sesama teman, cukup sebagai undangan yang menggerakkan orang untuk berkunjung.
Orang-orang semacam “terhipnotis” segera berhadir.
Padahal, selama hidup boleh jadi kedua orang itu belum pernah kenal.
Tradisi itu terus berkembang dan juga berubah, sementara almarhumah istri saya pada malam Kamis, 13 Oktober 2022/17 Rabiul Awal 1444 H sudah dilaksanakan doa bersama malam ke-100.
Semoga beliau dalam rida dan rahmat Allah Swt di alam barzah.
Amin. (t.abdullahsakti@gmail.com)
Baca juga: Restorative Justice dan Peradilan Adat, Antara Barang Baru dan Tradisi Turun Temurun di Aceh
Baca juga: Mahasiswa Baru Unida Dipeusijuek di Pantai Lhoknga, Presiden Mahasiswa Sebut Sudah Jadi Tradisi