KUPI beungoh
Sakralisasi Qanun-Qanun Syariat
Sayangnya, di sini Taufiqul Hadi tidak secara tegas menyebutkan kekosongan apa ia maksud sehingga pernyataannya dianggap bias dan mengada-ada.
Komentar-komentar serupa juga datang netizen kita yang sebagiannya berada pada maqam “netizen tanpa kuota” yang tampak bersemangat memberi komentar, tanpa membaca berita.
Baca juga: Agama dan Perdukunan
Nah, terlepas dari pro-kontra yang terjadi, apa yang disampaikan oleh Taufiqul Hadi pada prinsipnya hanyalah sebuah pendapat yang tentunya dilatari oleh alasan-alasan tertentu. Bisa jadi pernyataan itu juga aspirasi dari sebagian masyarakat Aceh yang selama ini merasa kesulitan akibat kaburnya bank konvensional.
Bukan tidak mungkin pendapat itu juga senada dengan aspirasi kita sendiri yang mungkin tidak berani kita ungkapkan secara terbuka sehingga harus menumpang pada keberanian orang lain – yang kemudian secara oportunis kita hujat beramai-ramai.
Sakralisasi Qanun
Kita boleh saja tidak sependapat dengan orang lain, tapi yang pastinya kita tidak bisa melarang orang lain untuk berpendapat.
Komentar-komentar miring yang menyebut pernyataan Taufiqul Hadi sebagai “anti syariat” karena dianggap bertentangan dengan Qanun Lembaga Keuangan Syriah bukan saja lebay, tapi juga menjadi potret ketidaksiapan kita dalam menghargai pendapat orang lain.
Sikap semacam ini tentunya sangat memalukan, apalagi jika pernyataan itu keluar dari mulut-mulut orang terdidik.
Pada prinsipnya, permintaan agar bank konvensional kembali beroperasi dan juga kritik terhadap bank syariah adalah wajar belaka.
Kita juga mesti sadar bahwa kritik terhadap qanun syariat tidak bisa dimaknai sebagai kritik terhadap syariat sehingga tanpa ba bi bu kita menuduh orang lain sebagai anti syariat, sebab qanun syariat bukanlah syariat.
Baca juga: Kualitas dan Kesejahteraan Guru di Era Otonomi
Syariat sebagai teks suci yang datang dari Tuhan memang tidak bisa dikritik sebab ia sakral dan berada pada domain keimanan.
Berbeda dengan qanun syariat yang berada dalam wilayah profan sebab ia disusun oleh akademisi dan politisi dan kemudian disahkan melalui ketukan palu yang tentunya tidak terlepas dengan kepentingan politik.
Dalam konteks ini, qanun syariat Islam bukan saja boleh dikritik, tapi boleh direvisi, ditambah, dikurangi atau mungkin dibatalkan sama sekali.
Hal ini dimaksudkan agar qanun syariat Islam yang notabene buatan manusia itu dapat terus disempurnakan sehingga ia bisa menjadi lebih dekat lagi dengan substansi syariat yang suci itu.
Intinya, kritik terhadap qanun tidak secara otomatis dapat dimaknai sebagai kebencian, tapi justru kecintaan agar qanun tersebut benar-benar mewakili syariat sekaligus menampung kebutuhan publik.
Demikian pula kritik terhadap pelayanan bank syariah di Aceh saat ini yang belum sepenuhnya “sesuai syariah” juga mesti dilihat sebagai daya dorong agar bank-bank itu bisa terus berbenah dan mampu menjawab segala persoalan dan kebutuhan keseluruhan publik, bukan hanya segelintir.
Karena itu, permintaan Taufiqul Hadi agar bank konvensional kembali hadir di Aceh harus dipahami dalam konteks ini.
Baca juga: Patahnya Sayap Muhammadiyah di Samalanga