Berita Aceh Timur
Harga TBS Sawit di Desa Terisolir Aceh Timur Ini Hanya Rp 400/Kilogram, Sembako untuk Mereka Mahal
Warga di pedalaman Aceh Timur yang terisolir ini susah menjual hasil tani seperti buah kelapa sawit, pinang, kelapa, jengkol, pete, dan lain sebagainy
Penulis: Zubir | Editor: Mursal Ismail
Warga di pedalaman Aceh Timur yang terisolir ini susah menjual hasil tani seperti buah kelapa sawit, pinang, kelapa, jengkol, pete, dan lain sebagainya, karena tidak bisa dikeluarkan dari jalur darat.
Laporan Zubir | Langsa
SERAMBINEWS.COM, LANGSA - Kehidupan masyarakat di Desa Melidi dan tiga desa lainnya di Kecamatan Simpang Jernih, Aceh Timur sangat memprihatinkan dan sangat tertinggal, mereka harus bertahan hidup dengan serba kekurangan.
Warga di pedalaman Aceh Timur yang terisolir ini susah menjual hasil tani seperti buah kelapa sawit, pinang, kelapa, jengkol, pete, dan lain sebagainya, karena tidak bisa dikeluarkan dari jalur darat.
Oleh karena itu, hasil bumi warga di sana harganya sangat murah dibeli agen, sebab agen butuh biaya besar untuk menjangkau daerah itu dengan boat.
Tandan Buah Segar atau TBS kelapa sawit milik petani di sana dibeli Rp 400 per kilogram, sedangkan harga normal sekarang Rp 1.500/kg dan rata-rata harga hasil bumi warga dihargai 30 persen dari harga normal.
Sebaliknya harga sembako untuk mereka di sana mahal, karena sama masalahnya yaitu para pedagang harus mengeluarkan modal tinggi untuk membawanya dari kota ke desa itu dengan boat.
Ongkos boat menuju Tamiang dari Desa Melidi per orang Rp 35 ribu - Rp 50 ribu, termasuk barang bawaan warga per goninya juga ongkosnya dihitung sama dengan orang.

Baca juga: Petani Kembali Bergairah! Harga TBS Sawit di Aceh Selatan Kini di Atas Rp 2.000/Kg, Ini Rinciannya
Derita Warga 4 Desa Terisolir di Simpang Jernih Aceh Timur, Bartaruh Nyawa Lintasi Sungai Batu Katak
Seperti diberitakan Serambinews.com sebelumnya, namanya Desa Melidi, satu desa permukiman penduduk yang jauh di pedalaman wilayah Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur.
Selain Desa Melidi, tiga desa lainnya, yakni Desa Tampur Paloh, Tampur Bor, HTI Ranto Naru, berada di wilayah ujung Pantai Timur Provinsi Aceh, berbatasan dengan Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang, dan Sumatera Utara, ini juga bernasib sama.
Untuk menuju ke wilayah itu, jalur satu-satunya yang bisa ditempuh melalui alur Sungai Tamiang melewati Sungai Batu Katak.
Sungai Batu Katak ini, warga setempat juga menyebutknya "sungai maut" karena banyak warga yang mengalami kecelakaan hingga meninggal di sungai ini.
Sungai Tamiang itu mengaliri air tawar dari daerah pegunungan Aceh Timur dan Lesten Aceh Tenggara yang bermuara akhir ke laut kawasan Kabupaten Aceh Tamiang.
Jika air sungai tidak besar dan tidak hujan, jarak tempuh warga Desa Melidi menuju Babo, Aceh Tamiang antara 1,5 jam - 2 jam dengan menggunakan boat mesin.
Baca juga: Info Harga TBS Sawit Hari Ini, di Abdya Masih Bertahan Rp1.600/Kg, Longsor Pakpak Buat Harga Stagnan

Terkadang, jika musim kemarau air sungai yang menyusut menyebabkan di titik Sungai Batu Katak tak bisa dilalui boat, karena terjadi pendangkalan di daerah bebatuan dan tebing itu.
Kemudian dari Babo, warga Desa Melidi barulah bisa melalui jalur darat menuju daerah perkotaan di Kuala Simpang, Aceh Tamiang.
Sedangkan sebaliknya, warga Melidi yang kembali ke desanya membutuhkan waktu 3 jam karena boat harus melawan arus sungai yang turun ke muara laut Aceh Tamiang itu.
Belum ada jalan
Sementara sampai saat ini belum ada akses jalan darat permanen yang bisa dilalui masyarakat Desa Melidi, Tampur Bor, Tampur Paloh, HTI Ranto Naro, untuk menuju ke daerah Babo atau ke kawasan perkotaan.
Pemerintah Aceh Timur maupun Provinsi Aceh belum membangun jalan bagi masyarakat di sana, padahal jika jalan tembus dibangun, hanya butuh waktu 1 jam menuju Babo Aceh Tamiang dengan sepeda motor.
Seorang ibu menggendong bayinya harus naik ke darat saat boat yang ia tumpangi kandas di Sungai Batu Katak disaat volume air sungai menyusut beberapa waktu lalu (Kiriman Keuchik Desa Melidi)
Baca juga: VIDEO - Offroader AFX IX 2022 Menembus Melidi Desa Terisolir di Pedalaman Aceh Timur
Selama ini menurut warga di sana, sudah sering terjadi kecelakaan boat yang terbalik di sungai Batu Katak, hingga memakan korban nyawa dan harta benda milik warga yang hanyut ke sungai.
Bahkan berapa tahun silam, seorang guru desa terpencil asal Bandung, Jawa Barat, yang bertugas di desa pedalaman Aceh Timur ini merenggang nyawa, karena boat ia tumpangi terbalik di Sungai Batu Katak.
Meski air sungai kencang dan tinggi, warga di sana tetap harus mengarungi sungai tersebut, karena tidak ada cara lain untuk membeli stok kebutuhan makanan untuk rumah tangga mereka.

Baca juga: Jadi Satu-satunya Akses ke Sumut, Jalan Rusak di Pakpak Bharat Buat TBS Sawit Barsela Turun Harga
Listrik padam berhari-hari
Listrik ke daerah ini tersambung dari Peunaron Aceh Timur, jika listrik padam bisa sampai berhari-hari, karena akses laporan ke petugas sulit sebab susahnya sinyal handphone yang nyaris belum ada sinyal di daerah itu.
Namun baru sebulan terakhir ini, di Desa Melidi ini sudah terpasang internet Telkomsel tembak, supaya mereka bisa berkomunikasi via medsos seperti WhatsApp dan lainnya.
Untuk menyambung hidup terutama menjual hasil bumi dan membeli sembako, selama ini penduduk Desa Melidi dan 3 desa lainnya di daerah padalaman paling timur Provinsi Aceh ini (Aceh Timur) harus mengarungi Sungai Batu Katak atau 'Sungai Maut' begitu sebutan warga di sana.
Tidak ada akses jalan darat bagi mereka untuk menuju Aceh Tamiang yang merupakan kawasan terdekat untuk mereka jangkau, karena wilayah itu dikelilingi sungai serta banyak aliran anak sungai dan bukit hutan belantara.
Karena tak adanya akses darat dan harus melalui sungai Batu Katak itulah, maka penduduk di sana kerap terisolir terutama pada waktu tibanya musim penghujan.
Baca juga: Dari Langsa, Puluhan Offroader AFX Tiga Hari Menembus Melidi, Desa Terisolir di Pedalaman Aceh Timur

Sampai sekarang, Pemkab Aceh Timur dan Provinsi Aceh belum menyediakan fasilitas jalan serta jembatan bagi masyarakat Aceh yang tinggal di kawasan pedalaman di Aceh Timur itu.
"Selama ini kami di Desa Melidi tidak bisa berbuat banyak, kami belum ada jalan darat, hanya itu kami butuh di sini," keluh Keuchik Desa Melidi, Zainlani, kepada Serambinews.com yang berapa hari lalu masuk ke Desa Melidi dengan puluhan offroader Aceh Forest Xplorer (AFX) Ke-9 Tahun 2022.
Selama ini, kata Zailani, warga di sana harus naik boat dan bertaruh nyawa menuju perkotaan, sudah banyak warga yang meninggal kecelakaan di Sungai Batu Katak ini.
"Hasil tani kami dibeli murah karena agen harus mengeluarkan banyak biaya menuju kemari melalui jalur sungai, seperti buah kelapa sawit saja di sini hanya Rp 400 perak per kilonya," sebutnya.
Akibat murahnya harga hasil tani, masyarakat di sana seperti tak memiliki semangat untuk mengembangkan pertaniannya, padahal potensi pertanian di sana sangat bagus.
Keuchik Zailani menambahkan, belum lagi harga bahan pokok makanan mereka juga sulit terutama di musim penghujan karena besarnya air di sungai.
"Bahkan anak-anak kami sulit dapat pendidikan tingkat atas (SMA), karena di sana tidak ada SMA. Selama ini supaya bisa sekolah SMA, anak kami harus ngekos ke Babo, Kuala Simpang, Langsa," ujarnya.
Kemudian yang sulitnya lagi, jika warga hendak mengurus administrasi kependudukan harus menuju Idi, Aceh Timur.
Butuh waktu berhari-hari warga menyelesaikannya, karena warga harus menuju Pusat Ibu Kota Aceh Timur tersebut.
"Sekarang ada warga saya mau nikah belum bisa, karena mereka belum ada KTP.
Untuk mengurus KTP harus ke Idi, warga di sini kondisi keuangnya pas-pasan, butuh berhari-hari untuk mengurusnya ke Idi.
Syarat keluar buku nikah harus ada KTP, karena data indetitasnya harus tercatat di data kependudukan," paparnya lagi.
Sementara itu pemerintah hingga kini ini belum membangun akses jalan darat dan jembatan bagi warga Desa Melidi agar bisa menuju Babo, karena aksesnya lebih dekat dan cepat.
Padahal jika akses jalan tembus ke Simpang Jengkol daerah Babo Aceh Tamiang dibuka, hanya berjarak sekitar 20 km saja dan hanya memakan waktu 30 menit perjalanan.
Namun selama ini karena melalui sungai besar dan harus melewati Batu Katak yang berjarak sekitar 50 km, butuh waktu 1,5 jam - 2 jam jam pergi ke kota, dan pulangnya sampai 3 jam lebih.
"Usulan pembangunan jalan darat ini sudah lama kampi suarakam dan sampaikan ke Pemkab Aceh Timur, tapai sampai sekarang belum ada tanggapannya," terang Zailani.
Masyarakat di sana sangat berharap Pemerintah Aceh Timur atau Pemerintah Provinsi Aceh maupun Pemerintah Pusat, segera membangun jalan tembus bagi mereka, supaya warga di sana memiliki akses jalan darat.
Sedangkan Dana Desa yang dimiliki Desa Melidi saat ini yang tidak seberapa, tak memungkinkan dipakai membangun jalan tembus dan jembatan tersebut.
Pemerintah harus merespon serius apa yang dibutuhkan masyarakat di desa pedalaman Aceh Timur itu yang selama ini kerap terisolir ini, terutama saat tibanya musim penghujan.
Karena arus dan volume air sungai daerah tersebut sangat kencang dan besar, sehingga otomatis sangat membahayakan dilalui boat.
Terutama di tikungan alur sungai Batu Katak yang terdapat dua bongkahan batu besar yang menyebabkan terjadinya penyempitan alur sungai di Batu Katak tersebut. (*)