Berita Banda Aceh

DPRA Jaring Pendapat Terkait Revisi UUPA

DPRA rapat sharing lendapat atau jajak pendapat terkait rencana revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA)

Editor: bakri
HUMAS DPRA
Sejumlah pihak dari berbagai unsur mengikuti rapat sharing pendapat dalam rangka revisi UUPA di Gedung DPRA, Selasa (8/11/2022). 

BANDA ACEH - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) rapat sharing lendapat atau jajak pendapat terkait rencana revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) di ruang sidang utama DPRA di Banda Aceh, Selasa (8/11/2022).

Kegiatan itu dipimpin Ketua DPRA Saiful Bahri (Pon Yaya) dan diikuti perwakilan elemen sipil, akademisi dan para politisi yang ada di Aceh.

Turut serta Wakil Ketua DPRA Hendra Budian dan Safaruddin, Ketua Banleg Mawardi (Teungku Adek), dan sejumlah anggota dewan lainnya.

Hadir juga Wakil Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Kamaruddin Abubakar atau akrab disapa Abu Razak.

Dalam rapat tersebut, Ketua DPRA Saiful Bahri mengajak semua elemen sipil, akademisi dan juga politisi di Aceh untuk seiya sekata dalam revisi UUPA.

“DPR terus berbenah untuk membuka ruang bagi segenap masyarakat, tokoh-tokoh intelektual, dan semua yang merasa berkepentingan untuk mengatur Pemerintahan Aceh ke arah lebih di masa hadapan, inilah cara kami untuk melibatkan semua,” kata Saiful Bahri.

Ia juga meminta persetujuan para peserta diskusi untuk ikut merevisi UUPA.

“Kita akan meminta persetujuan, supaya kami bisa mengambil keputusan, apakah revisi ini kita lanjutkan atau tidak?” tanya Saiful Bahri kepada para peserta diskusi.

Mayoritas peserta diskusi menyatakan sepakat untuk merevisi UUPA.

Sekedar informasi, saat ini Rancangan Perubahan UUPA sudah masuk dalam prolegnas perioritas Banleg DPR RI tahun 2023.

Sebelumnya dalam diskusi jajak pendapat tersebut sempat mencuat beberapa kekhawatiran terkait wacana revisi UUPA.

Baca juga: DPRA Terima Naskah Akademik Draf Revisi UUPA dari Tim USK

Baca juga: DPRA Diminta Bergerak Cepat Susun Draf Revisi UUPA

Hal ini merujuk pada pengalaman implementasi UUPA yang telah berjalan 16 tahun dengan terganjalnya beberapa kewenangan Aceh.

“Saya sepakat revisi UUPA secara terbatas, kita kawal secara terbatas.

Kalau secara umum (UUPA) yang direvisi secara keseluruhan ini tipis kemungkinan tidak terjadi masalah di kemudian hari,” ujar anggota DPRA, Ridwan Yunus.

Rasa khawatir juga disuarakan oleh Abu Razak yang menilai bahwa implementasi UUPA hingga saat ini belum berjalan optimal.

Abu Razak mencontohkan perihal pembagian lahan bagi mantan kombatan GAM dan tapol serta korban konflik di Aceh yang belum tuntas sampai saat ini.

“Tanah (anggota) KPA saja (seluas) dua hektare (untuk) 3.000-6.000 anggota (mantan kombatan) saja belum jelas sampai hari ini,” kata Abu Razak.

Padahal, menurut Abu Razak, lahan di Aceh masih sangat luas untuk diberikan kepada mantan kombatan GAM seperti bunyi nota damai yang disepakati di Helsinki.

Ia mengaku kesal lantaran isu pemberian lahan untuk mantan kombatan kerap kali dibenturkan dengan isu-isu lingkungan.

“Kalau untuk transmigrasi, 15 hari sudah diberikan,” tandas Abu Razak.

Pun demikian, Abu Razak sepakat jika memang revisi UUPA tetap dilakukan, maka wajib melibatkan seluruh elemen rakyat Aceh.

“Poin apa saja yang direvisi? Apa saja yang direvisi? Jangan sampai nggak sanggup kita kontrol.

Jadi saya harap seluruh elemen sipil di Aceh satu suara dalam hal ini, kalau memang kita (rakyat Aceh) sudah sepakat, kami (KPA) ada bersama kalian,” ujar Abu Razak.

Dalam diskusi tersebut, Wakil Ketua DPRA Hendra Budian sepakat dengan kekhawatiran yang disampaikan KPA dan beberapa elemen sipil lainnya.

Menurutnya, ini merupakan momentum membangun kembali spirit keacehan.

“Kami di DPRA yang kami butuhkan adalah semacam legitimasi politik keacehan dalam menjalankan revisi UUPA ini,” kata politikus Partai Golkar ini.

Hendra mengatakan sebagai anggota DPRA kembali merasa percaya diri dengan wacana revisi UUPA tersebut setelah adanya kesepakatan bersama yang dibangun.

Namun ia menekankan tidak semua generasi muda di Aceh memahami tentang sejarah Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, peristiwa KKA dan sejarah konflik di Aceh.

Inilah yang menurutnya penting melakukan politik keacehan kepada mahasiswa di Aceh.

“Itu kepentingan politik kita di Aceh.

Bagi kami di DPR Aceh, dukungan dan konsolidasi politik keacehan menjadi amunisi tempur dalam berhadapan dengan pemerintah Pusat,” pungkas Hendra Budian.

Rasa optimis juga disampaikan oleh Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh, Syakya Meirizal.

Ia berharap rakyat Aceh tidak menganggap semua pihak yang ada di pusat sebagai “hantu”.

Syakya menepis anggapan yang menyatakan implementasi UUPA sampai saat ini belum maksimal.

“Banyak yang belum diimplementa-sikan, benar,” kata Syakya.

“Kekhawatiran itu penting, tetapi jangan sampai kekhawatiran itu menguasai segala lini.

Kita harus membaca potensi kita,” tambah Syakya lagi.

Menurutnya, semangat melakukan revisi UUPA harus berangkat dari banyaknya permasalahan selama ini.

Revisi ini sendiri betujuan agar memudahkan bagi Aceh memasukkan klausul-klausul MoU Helsinki yang selama ini dianggap belum masuk dalam UUPA.

“Yang konteksnya revisi UUPA adalah penguatan,” kata Syakya.

“Jika Jakarta berniat mau melemahkan (UUPA), maka mau tidak mau ya dilawan, spirit keacehan itu harus kita bangun,” lanjut Syakya.

Syakya sepakat jika masyarakat Aceh wajib satu suara dalam melakukan revisi UUPA.

Namun ia berharap kewenangan Aceh tidak ada yang mundur setelah revisi tersebut diakomodir oleh pusat.

“Sekali layar berkembang, pantang kita mundur,” tutup Syakya. (*)

Baca juga: Masyarakat Sipil Minta DPRA Gerak Cepat Susun Draf Revisi UUPA, Safaruddin: Kita Pasti Support

Baca juga: Abu Razak: Subtansi Perubahan UUPA Harus Berpegang Pada MoU Helsinki

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved