Kupi Beungoh

46 Tahun GAM, Apa yang Berubah?

Pernah suatu ketika saya bertanya kepada seorang teman yang juga mantan kombatan: Apa yang dihasilkan dari perang selama 29 tahun?

Editor: Muhammad Hadi
Dok Pribadi
Khairil Miswar adalah Penulis buku Habis Sesat Terbitlah Stres (2017) dan buku “Demokrasi Kurang Ajar” (Zahir Publishing, 2019) 

Oleh: Khairil Miswar*) 

Setelah pemberontakan Darul Islam berakhir dengan turun gunungnya Teungku Daud Beureueh, Aceh sempat menghirup udara damai untuk beberapa saat, lalu kemudian kembali bergolak setelah Hasan Tiro memproklamirkan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976.

Kemunculan Aceh Merdeka (AM) yang kemudian populer dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menambah rentetan perang dan konflik yang sambung-menyambung di tanah Aceh.

Sejak saat itu pula Aceh kembali mencekam akibat dentuman senapan dari mereka yang bertikai – sehingga orang-orang tak berdosa pun harus menanggung akibat dari pertikaian yang terjadi.

Dalam kondisi demikian, rakyat harus merelakan diri menjadi tumbal dari saudara-saudara mereka sendiri yang menenteng bedil dan juga dari para serdadu Republik yang datang dari seberang.

Perlawanan bersenjata yang dilakukan GAM selama 29 tahun menyisakan banyak cerita tentang bagaimana duka-duka itu dipahat di tanah Aceh.

Penandatanganan perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM (Mou Helsinki), 15 Agustus 2015.
Penandatanganan perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM (Mou Helsinki), 15 Agustus 2015. (DOK SERAMBINEWS.COM)

Perempuan diperkosa, laki-laki disiksa, orang-orang tak berdosa dibunuh dan anak kecil menjadi yatim adalah sedikit dari banyak kisah menyakitkan yang menemani perjalanan Aceh dari 1976 hingga 2005.

Satu fase tragedi yang tidak bisa dilupakan begitu saja dengan kompensasi apa pun. Dendam mungkin bisa diredam, tapi memori tentang tangisan, jeritan dan ratapan akan terus mengapung dalam ingatan.

Kematian-kematian tak terduga terjadi hampir setiap hari. Mereka yang ditembak aparat Republik akan segera mendapat label sebagai “GAM” atawa pemberontak, meski mereka tak tahu menahu tentang perang yang sedang berlangsung.

Baca juga: Mualem Bentuk KPA Luar Negeri, Teuku Emi Syamsyumi Sebagai Ketua, Menetap di Australia

Demikian pula dengan mereka yang dibunuh oleh “saudaranya sendiri” secara spontan dituduh sebagai “Cuw’ak” atawa pengkhianat tanpa proses “peradilan.”

Dalam kondisi demikianlah rakyat menjadi tumbal yang harus menanggung derita dari pertikaian yang tidak mereka mengerti.

Kita tahu bahwa pada awal perang dimaklumkan, dukungan terhadap perjuangan GAM tidak begitu meriah.

Namun aksi kekerasan, status Daerah Operasi Militer (DOM) dan Darurat Militer yang dilancarkan Pemerintah untuk meredam perjuangan GAM telah memantik emosi rakyat Aceh untuk kemudian memberikan dukungan terbuka kepada GAM sebagai simbol perlawanan atas “kekejaman” aparat di masa itu.

Baca juga: Abu Razak: Subtansi Perubahan UUPA Harus Berpegang Pada MoU Helsinki

Hari Minggu, 4 Desember 2022, GAM yang dulunya memaklumkan perang telah berusia genap 46 tahun. Dengan kata lain, perjuangan GAM di Aceh telah berlangsung selama 46 tahun; 29 tahun melalui gerakan bersenjata dan sisanya 17 tahun melalui pentas politik.

Lalu apa yang berubah?

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved