Kupi Beungoh

46 Tahun GAM, Apa yang Berubah?

Pernah suatu ketika saya bertanya kepada seorang teman yang juga mantan kombatan: Apa yang dihasilkan dari perang selama 29 tahun?

Editor: Muhammad Hadi
Dok Pribadi
Khairil Miswar adalah Penulis buku Habis Sesat Terbitlah Stres (2017) dan buku “Demokrasi Kurang Ajar” (Zahir Publishing, 2019) 

Dalam konteks kekinian mungkin pertanyaan ini tidak lagi penting untuk dijawab sebab institusi GAM – meskipun belum dibubarkan, tampak tidak mampu melakukan apa-apa untuk menghadirkan Aceh yang lebih baik pascaperang.

Pernah suatu ketika saya bertanya kepada seorang teman yang juga mantan kombatan: Apa yang dihasilkan dari perang selama 29 tahun?

Dengan spontan dia menjawab: damai! “Perdamaian  yang kita capai hari ini adalah hasil dari perjuangan berdarah-darah selama 29 tahun,” dia mencoba memberikan jawaban lebih lengkap atas pertanyaan yang saya ajukan.

Baca juga: Beredar Undangan Milad GAM Besok Digelar di Blangpadang, Begini Penjelasan KPA dan Kodam IM

Tentu saja saya tidak mengerti dengan jawaban ini, sebab jawaban demikian akan menghadirkan pertanyaan baru. Jika memang damai yang menjadi incaran, kenapa pula memilih jalan perang? Di sinilah kebingungan itu dimulai.

Namun demikian, tentunya saya tidak bisa memaksa si teman untuk menjawab hal-hal yang tidak dipahaminya, lagi pula pascaperang dia telah kembali menjadi masyarakat dengan sejumlah kesulitan hidup yang terus membelit sembari memandang “drama” para elite yang tak pernah usai.

Namun apa pun itu, melalui ijtihad politiknya, GAM telah berupaya memberikan koreksi kepada Republik, bahwa Aceh berhak atas apa yang dimilikinya – bahkan lebih dari itu, berhak mengatur dirinya sendiri.

Massa peringatan 1 Tahun MoU Helsinki di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, 15 Agustus 2006.
Massa peringatan 1 Tahun MoU Helsinki di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, 15 Agustus 2006. (DOK. IRFAN M NUR)

Karena itulah GAM menuntut kemerdekaan melalui jalan perang. Namun apa yang terjadi kemudian, setelah elite-elite GAM berada di tampuk kekuasaan pascadamai?

Sudahkah mimpi-mimpi masa perang itu terwujud? Lagi-lagi pertanyaan ini tidak penting dijawab, sebab pertanyaan demikian tak pernah dirancang di masa masa perang yang penuh dengan imajinasi.

Tidak lama setelah perang usai, yang muncul justru kontestasi berebut kuasa antaranak bangsa yang kemudian berlanjut pada insiden dan kekerasan di pentas politik. Saling dominasi antarsesama terus menghiasi wajah politik Aceh pascaperang.

Baca juga: Mualem Ultimatum Pengganggu Damai, Pulang ke Aceh jangan Cuap-cuap dari Luar Negeri

Sementara cita-cita di masa perang seketika hilang dari perbincangan dan justru terjebak dalam perjuangan terhadap simbol-simbol yang sama sekali tidak membawa dampak apa pun dalam mengubah Aceh menjadi lebih baik.

MoU Helsinki yang telah membuka peluang bagi perubahan-perubahan besar di Aceh dalam faktanya tidak mampu diserap secara maksimal dalam UUPA yang telah dianggap sebagai peta jalan menuju Aceh baru.

Ini adalah salah satu bentuk “kegagalan” yang mestinya disesali oleh elite-elite GAM yang sempat berada di tampuk kekuasaan.

Demikian pula dengan segudang janji-janji politik pascadamai juga tak mampu dihadirkan secara nyata dalam realitas sehingga ia abadi dalam imajinasi dan akan terus diulang-ulang di musim pemilu.

Kondisi demikian dalam faktanya telah membuat simpati terhadap partai politik yang diisi kader-kader GAM kian merosot. Hal ini dibuktikan dengan semakin berkurangnya kursi mereka di parlemen.

Baca juga: Anies ke Aceh: Perdamaian Ditandai Hadirnya Rasa Keadilan Sosial, Bukan Sekadar Tiada Konflik

Kembali menguatnya eksistensi partai nasional dalam beberapa tahun terakhir tentu akan semakin menyulitkan partai-partai “binaan” GAM untuk menguasai perpolitikan Aceh di masa depan.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved